Thursday, September 20, 2012

Selayang Pandang Kepulauan Riau




Letak Provinsi Kepulauan Riau
Ketika berada di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain, mungkin sebagai anak rantau kita bisa lupa dengan tanah kelahiran sendiri. Tidak semua sih, tapi terkadang hal itu benar. Bahkan secara bahasapun kadang lupa, kecuali yang memang pergaulannya masih sesama anak rantau dari daerah yang sama. Sederhananya, cara berbicara... jujur saja dari kampungku kalau berbicara sehari-hari menggunakan bahasa ”aku dan engkau/engko”. Tapi, ketika sampai di Jakarta, tak sedikit juga yang lupa dengan kata itu jadi berganti ”elo dan gue”. Nah, ini dia fenomena yang sering kali terjadi. Itu sebabnya, saya tak pernah merubah cara memanggil yaitu dengan ”aku” atau menyebut nama sendiri dan memanggil ”kamu” dengan kata ”kamu”. Rasa-rasanya tak sesuai menggunakan ”elo dan gue”. Lebih sering lagi, menggunakan kata saya, apalagi untuk berbicara dengan orang yang lebih tua. Begitulah penulis mengartikan falsafah ”Tak Melayu Hilang di Bumi”. Artinya, ke mana saja pergi, budaya ini terus harus dibawa. Apalagi, katanya bahasa Melayu itu adalah bahasa yang kemudian lahir sebagai bahasa nasional, alias bahasa Indonesia. Tapi, sayangnya tak banyak yang sadar dengan hal itu. Bisa jadi, bahasa Melayu hilang ditelan zaman dan diganti dengan bahasa ”gaul” atau lebih sering dikenal bahasa ”alay”. Contohnya ”cemungudh eaaa kakaaaa...hehehe”. Wallahu’alam.
Berbicara tentang tanah kelahiran, saya ingin sekali mengenalkan kamu tentang tanah tempat saya dibesarkan, yaitu di semenanjung Malaya sana. Bisa jadi, kali ini berbicaranya sedikit kedaerahan. Tapi, tak bermaksud untuk menonjolkan daerah sendiri, hanya saja kamu perlu tau bahwa Indonesia itu sangat kaya akan budaya dan suku bangsa. Bahkan, Indonesia itu diakui sebagai ”homeland  dari generasi muda keturunan asli Indonesia di tanah semenanjung sana. Misalnya saja di Malaysia, Thailand, atau Singapura, bahkan juga Filiphina banyak juga keturunan asal Indonesia. Jadi, berbanggalah dengan bangsa sendiri. Artinya, bangsa Indonesia itu sukses untuk adaptasi dan survive dengan bermigrasi ke daerah baru sekalipun-yang saat ini adalah Negara yang berbeda-. Kembali ke tanah tempat saya dibesarkan, kenapa dibesarkan? Pasalnya, saya memang dilahirkan di sebuah perkampungan kecil di tanah Johor, Malaysia. Tapi, sejak usia 6 tahun berimigrasi ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Karena orangtua inginnya saya tetap memiliki status WNI. Yah, mungkin ada hikmahnya. 
Salah satu seni musik Melayu Kepulauan Riau
Nyatanya, sekarang saya mengabdi untuk NKRI. Ceritanya, di sana itu (baca: Tanjungpinang, Pulau Bintan) mayoritas adalah keturunan Melayu. Karena dulunya, wilayah ini adalah bagian dari pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga-Johor. Bicara sejarah memang sangat panjang, singkatnya wilayah ini adalah tempat di mana orang-orang Melayu dibesarkan. Selidik punya selidik, ternyata saya juga bukan asli berdarah Melayu. Alias keturunan Sunda, perpaduan keturunan asal Tasikmalaya dan Cianjur. Nah... itu dia yang jadi pertanyaan. Lantas, siapa saya yang mengaku anak Melayu? Hehe, orang bilang Tak Melayu Hilang di Bumi. Sejak fase pendidikan dasar, alias saatnya pembentukan karakter hingga proses pendewasaan usia 6 hingga 18 tahun, saya berdomisili di sana. Tempat saya belajar seni dan sastra, serta adat Melayu. Ingat sekali sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana memiliki etika selayaknya bangsa Melayu, yang santun dan ramah. Bagaimana tatacara berbahasa dan bersikap, hingga mempelajari adat perkawinan, masakan khas Melayu, dan  segala hal tentang Melayu itu sendiri. Akhirnya, di situlah jatidiri saya ditemukan. Ya, saya bagian dari Melayu dan “Takkan Melayu Hilang di Bumi”. Bagaimana dengan kamu? Ceritamu tentang daerahmu?
Kembali ke ceritaku, kali ini ingin memperkenalkan sebuah provinsi di perbatasan sana. Antara Indonesia-Singapura-Malaysia, kotaku berdiri kokoh. Hm, lebih tepatnya berdaulat kokoh di bawah naungan NKRI. Kalau melihat secara perundang-undangan Provinsi Kepulauan Riau itu, terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002, yang notabenenya Provinsi ke-32 di Indonesia. Kami memiliki 2 kota dan 5 kabupaten, yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Anambas, dan Kabupaten Lingga. Secara administratif, terdapat lebih dari 40 Kecamatan serta 300an Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil di mana 40% belum bernama dan berpenduduk. Sedangkan luas wilayahnya, sebesar 252.601 Km2, di mana 95%-nya merupakan lautan dan hanya 5% merupakan wilayah daratan. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya bergerak di bidang Kelautan, karena alasan ini, saya dibesarkan di tempat yang dikelilingi oleh laut. Wow, maka tak heran dengan keindahan panorama pantai, mangrove, terumbu karang, lamun, dan hamparan langit luas di atas birunya laut. Bagaimana dengan daerahmu?
 Kalau berpikir dari segi perbatasan, kenapa disebut perbatasan? Bisa dicek juga di peta, provinsi Kepulauan Riau berbatasan langsung dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah Utara, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau.

Wisata Bahari Kabupaten Anambas
Sebelah timur berbatasan dengan Malaysia, Brunei Darussalam, dan Provinsi Kalimantan Barat. Hanya sebelah selatan yang berbatasan dengan provinsi di NKRI, yaitu Bangka Belitung dan Jambi. Wilayah ini berada di lintas batas perdagangan internasional, dengan letak geografis yang strategis (antara Laut Cina Selatan, Selat Malaka dengan Selat Karimata).
Pantai Trikora Bintan, Tanjungpinang
Wah, maka tak heran Provinsi Kepulauan Riau dimungkinkan untuk menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi bagi Republik Indonesia di masa depan (mungkin sudah dimulai saat ini). Apalagi saat ini pada beberapa daerah di Kepulauan Riau (Batam, Bintan, dan Karimun) tengah diupayakan sebagai pilot project pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui kerjasama dengan Pemerintah Singapura dan Malaysia.
Penerapan kebijakan KEK di Batam-Bintan-Karimun, merupakan bentuk kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan partisipasi dunia usaha. KEK ini nantinya merupakan simpul-simpul dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya, akan memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktik-praktik terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik. Itulah kenapa banyak barang-barang yang dijual bebas tanpa bea cukai di daerah saya dengan istilah Black Market
Jembatan Barelang, Kota Batam

Bukan berarti barangnya tidak legal dan tidak original/berkualitas, akan tetapi memang tidak ada bea cukai yang dibebankan untuk memperdagangkan barang-barang itu. Misal, banyak dikenal dengan barang elektronik BM. Tak perlu khawatir jika membeli produk di tempat saya, (edisi promosi... hehe). Ini memang keistimewaan Kawasan Ekonomi Khusus. Alhasil, segala kebutuhan di sini pun harganya bergantung naik-turunnya kurs dollar Singapura ataupun ringgit Malaysia. Jadi, tak heran untuk biaya hidup di sini sedikit lebih mahal dibandingkan kota-kota lain di Indonesia.
Tepi Laut Kota Tanjungpinang
Hm, ibukota Provinsi Kepulauan Riau adalah Tanjungpinang. Sebuah kota di ujung selatan Pulau Bintan dan berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan kapal laut dari singapura dan 3 jam dari Johor-Malaysia. Kota yang sarat akan sejarah, budaya dan adat istiadat Melayu. Kondisi Geografisnya yang terdiri dari beberapa pulau merupakan keistimewaan tersendiri bagi Kota Tanjungpinang. 
 Salah satu pulau yang sarat dengan sejarah adalah Pulau Penyengat, Pulau ini tidak terlalu besar, hanya 3.5 Km2, akan tetapi di Pulau ini terdapat banyak peninggalan berupa potensi cagar budaya sejarah kerajaan Melayu Riau-Lingga, dengan wujud bangunan-bangunan arsitektural, makam, dan situs lain. Di sisi lain Pulau Penyengat adalah tempat kelahiran Pahlawan Nasional, pelopor Bahasa Indonesia, yaitu Raja Ali Haji yang terkenal dengan karya Gurindam 12-nya. Pulau Penyengat ini terletak pada lokasi yang sangat startegis yaitu berada di sebelah barat Kota Tanjungpinang dan untuk ke sana dapat dilewati dengan jalur transportasi laut, serupa perahu kayu bermotor atau ”pompong” tak lebih dari 15 menit.
Masjida Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Sri Inderasakti
 Dahulu Pulau yang berhadapan dengan Kuala Sungai Riau ini selalu menjadi tempat pemberhentian para pelaut yang lewat di kawasan ini terutama untuk mengambil air tawar. Di salah satu sisi Pulau terdapat sumur air tawar yang tidak pernah kering dan terletak hanya berjarak 10 meter dari laut. Sumur itu masih ada hingga sekarang, dan selalu saya jadikan air minum atau untuk berwudhu jika berkunjung ke sana. Konon, air itu dianggap membawa keberkahan dan ketenangan bagi siapapun yang meminumnya. Konon juga, suatu ketika para pelaut yang sedang mengambil air tawar di sana, diserang oleh sejenis lebah yang disebut Penyengat. Akibat serangan lebah itu, jatuh korban jiwa dari pelaut. Penyengat itu dianggap sangat sakti karena dapat melumpuhkan musuh. Sejak saat itulah pulau ini dinamakan Penyengat Indera Sakti dan selanjutnya lebih dikenal dengan Pulau Penyengat sampai sekarang. Karena letaknya yang cukup strategis bagi pertahanan, Pulau Penyengat dijadikan Pusat Kubu pertahanan Kerajaan Riau oleh Raja Haji yang Dipertuan Muda Riau IV (termasyhur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah/Marhum Teluk Ketapang) ketika melawan Belanda pada tahun 1782-1784.
Pintu selamat datang di Pulau Penyengat
Sedikit bicara sejarah lagi, pada tahun 1803 Pulau Penyengat yang telah dibina dari dari sebuah pusat pertahanan menjadi negeri dengan segala fasilitas yang memadai, dijadikan mahar/maskawin dari Baginda Raja Sultan Mahmud kepada Raja Hamidah atau Engku Puteri, anak seorang yang dipertuan Riau yang terkemuka yaitu Raja Haji Fisabilillah atau Marhum Teluk Ketapang. Selanjutnya pulau Penyengat menjadi tempat kediaman resmi Para Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, sementara Sultan (Yang Dipertuan Besar) berkedudukan di Daik-Lingga.
Diantara beberapa peniggalan Sultan Riau yang terdapat di Pulau Penyengat sebagai bukti sejarah pada masa lampau yaitu : Masjid Agung Sultan Riau, Empat buah komplek makam Raja, Dua buah bekas istana dan beberapa gedung lama, termasuk gedung mesiu, dan meriam-meriam tua, dan Benteng pertahanan, sumur dan taman.

Kompleks Makam Raja Ali Haji pengarang Gurindam Dua Belas
 Kota Tanjungpinang dan semua wilayah Provinsi Kepulauan Riau, posisinya terlindung dari pengaruh cuaca buruk dan alur laut yang cukup dalam, merupakan tempat yang ideal bagi armada pelayaran untuk berlindung dari serangan badai, atau untuk berlabuh sementara mengambil air dan perbekalan. Menjelang berdirinya Kerajaan Riau (1722), Tanjungpinang telah menjadi kubu pertahanan Raja Kechik dalam perang saudara merebutkan tahta Kerajaan Johor melawan Tengku Sulaiman dan sekutunya. Setelah berdiri kerajaan Riau, kedudukan Tanjungpinang sebagai pusat pertahanan makin jelas ketika Riau bersiap menghadapi perang melawan Belanda (VOC) antara tahun 1782-1784. Benteng Riau di Tanjungpinang dan sekitarnya sangat berjasa dalam menahan serbuan armada Belanda ke pusat kerajaan Riau dan memaksa Belanda mundur ke Malaka.
Rumah Panggong Melayu
 Semenjak tahun 1784, Tanjungpinang mulai tumbuh sebagai sebuah tempat pemukiman dan kemudian menjadi sebuah kota yang juga berperan sebagai bandar atau pusat perdagangan. Fungsi dan kedudukan sebagai pusat perdagangan menjadikan Tanjungpinang sebagai kota penting di Sumatra bagian Timur sesudah Medan dan Palembang. Selain Tanjungpinang ditetapkan sebagai ibukota keresidenan Belanda untuk wilayah yang cukup luas, yaitu sampai kesebagian Sumatra bagian Tengah dan sebagian Sumatra bagian Utara. Pada tahun 1983, sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 31 tahun 1983 tanggal 18 Oktober 1983 telah dibentuk Kota Administratif Tanjungpinang yang membawahi kecamatan Tanjungpinang Timur dan Tanjungpinang Barat. Selanjutnya pada tahun 2001 sesuai dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001, kota Administratif Tanjungpinang menjadi kota Tanjungpinang dengan membawahi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kecamatan Tanjungpinang Barat, Kecamatan Bukit Bestari dan Kecamatan Tanjungpinang Timur. Inilah sedikit sejarah Kota Tanjunpinang, tempat saya dibesarkan dan dididik menjadi seorang nasionalis dari perbatasan. Idealis ya ^,^.


Tugu Raja Haji Fisabilillah di Tepi Laut Tangjungpinang
Nah, bagaimana dengan budaya di sana? Dalam tradisi Melayu, ada semacam ungkapan "Adat Bersendikan Syarak, dan Syarak Bersendikan Kitabullah". Hal ini menyiratkan bahwa secara langsung atau tidak tradisi kebudayaan melayu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam. Adat dalam Melayu sangat diutamakan dan menjadi ukuran derajat seseorang. Orang yang tidak tahu adat atau kurang mengerti adat dianggap sangat memalukan dan dapat dikucilkan dari kelompok masyarakat. Ungkapan atau cap kepada mereka yang "tak tabu adat" atau "tak beradat". Begitu pentingnya sehingga timbul ungkapan lain, "Biar mati Anak, jangan mati Adat". Ungkapan lainnya adalah: "Biar mati Istri, jangan mati Adat". Semua ungkapan ini Menunjukan betapa adat-istiadat dalam masyarakat Melayu sangat dijunjung tinggi. "Tak kan Melayu hilang di bumi", adalah keyakinan masyarakat Melayu Riau akan tradisi dan budayanya. Kalimat ini diucapkan secara turun-temurun dan telah mendarah-daging bagi orang Melayu. Sedikit dijelaskan, Riau dan Kepulauan Riau kini menjadi dua wilayah yang terpisah secara administratif. Tapi, kedua provinsi ini memiliki kesamaan sejarah dan berkembang mandiri (alias pemekaran). Maka tak heran, mayoritas pendudukpun memiliki adat dan budaya yang sama. Hanya saja, dalam perkembangannya, di Kepulauan Riau lebih dekat dengan orang-orang Melayu Johor.
Sifat masyarakat Melayu yang terbuka menyebabkan terbentuknya tradisi yang majemuk. Tradisi luar masuk ke Kepulauan Riau sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, saat mana budaya Melayu Kuno telah bercampur dengan tradisi Hindu dan Budha. Akibat perdagangan antar daerah yang berlangsung selama puluhan tahun, masuk pula tradisi Bugis, Banjar, Minang, Jawa dan lain-lain. Semasa masuknya Portugis ke Melaka, datang pula tradisi Sunda mewarnai tradisi Melayu Riau. Jadi, bisa dibilang Kepulauan Riau sudah sangat terbuka dengan budaya selain Melayu. Dan perbedaan yang ada itu menjadi indah saat ini, karena semua suku hidup berdampingan dengan rukun.
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan Melayu yang paling menonjol, meliputi seni sastra, seni tari, seni suara, seni musik, seni rupa dan seni teater. Seni sastranya terdiri dari sastra tulis (berupa syair, hikayat, kesejarahan, kesatraan, adat istiadat dan lain-lain) dan sastra ligan seperti pantun (pepatah, petitih, peribahasa, bidal, perumpamaan dan lain-lain), mantra cerita rakyat, koba, kayat dan nyanyi panjang. Karya seni sastra paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas hasil karya Raja Ali Haji.
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk adalah bahasa Melayu, yang pada hakikatnya merupakan akar bahasa Indonesia. Sehingga siapa saja yang bisa berbahasa Indonesia dapat berkomunikasi dengan orang Kepulauan Riau. Namun, di sini juga terdapat suku asli, yang dikenal dengan suku laut orang sampan. Yang memang tinggal di atas sampan/perahu kayu selama hidupnya. Bahasa yang digunakan sedikit berbeda dari bahasa Melayu yang dikenal. Begitu juga dengan beberapa Pulau seperti Natuna, Anambas, dan Lingga sendiri memiliki dialek yang berbeda meski sama-sama berdasarkan bahasa Melayu.
Nah, tertarik untuk mengunjungi daerah saya? Siapa tau memiliki rezeki lebih, nantinya kita bisa back-packeran bareng ke sana ^,^.

Tuesday, September 18, 2012

Lyani, Kuputuskan untuk Menutup Rapat Hati ini


Hari ini, tepat lima tahun usia pernikahan kami. Aku bahagia, akhirnya bisa menikah dengan pangeranku. Orang yang kerap kali datang menghampiri setiap mimpiku dan malam-malam sepiku. Yusuf, aku bahagia bisa menjadi istri yang kau harapkan. Aku percaya keyakinanmu suatu saat akan sosok pendampingmu itu akan datang padaku. Dan aku ingin menjalani dengan ikhlas, rasa cinta ini. Apa adanya hanya untukmu. Allah punya rahasia untuk kita, lima tahun yang lalu... tak kusangka tiba-tiba kau akan datang melamarku. Padahal sekian tahun kau meninggalkanku tanpa pesan, yang kusangka kau telah memilih perempuan lain yang lebih layak untukmu. Kemudian, kau membawaku ke istana pernikahan kita. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa selain bersyukur.
Aku tak pernah menyesal meninggalkan karierku di Indonesia, hanya untuk menjagamu di luar sana. Aku tak pernah mau menyusahkan kau mencari nafkah hingga semua kebutuhanmu terlupakan. Aku bahagia bisa menjadi makmum bagimu. Aku bahagia bisa membuatkan sarapan untukmu. Aku bahagia bisa mencuci dan menyeterika pakaianmu. Aku bahagia bisa mendengarkan tausiyahmu setiap Subuh. Aku bahagia bisa mengurusi rumah tangga kita, kau bilang akulah manajer di rumah. Aku bahagia bisa mengandung anakmu, meskipun akhirnya kita harus kehilangannya karena penyakitku ini. Sejujurnya, ini yang paling aku sesali dalam hidup. Allah begitu menyayangiku sehingga aku diberikan sakit seperti ini. Dan besok, aku harus menjalani kemoterapi ke sekian kali. Selama bertahun-tahun, aku tak pernah bisa jujur denganmu karena menderita sakit ini. Apalagi ini sangat tak terlihat, bahkan ketika peristiwa keguguran itu, dokter sama sekali tak melihat diagnosa kankerku itu. Sampai akhirnya, aku memutuskan aku harus mulai menjauh darimu sayang. Maafkan aku, karena aku tak mau menyusahkan hatimu. Tak ada yang boleh tau aku menderita penyakit ini, kecuali ibuku dan ibu mertuaku, ibumu Yusuf. Ibulah yang selalu menyemangatiku, menuntun aku hidup lebih baik. Dia sengaja ingin aku berkarier di sini, agar aku dapat melupakan apa yang sedang aku alami saat ini. Aku ingin lebih jauh darimu, agar kau tenang dan selalu ikhlas menjagaku dengan do’amu dari sana. Bagiku, kini ibuku dan ibumu yang lebih pantas untuk menjagaku, sementara aku mempersiapkan diri menuju singgahsana yang paling indah di sisi Allah SWT. Kenapa harus mereka berdua?
Kau tahu tidak, aku senang mengamati wajah ibuku di saat ia tertidur. Ia layaknya seorang puteri yang tercantik di alam ini. Begitu juga di saat ibumu tertidur. Wajah-wajah mereka tampak begitu bercahaya di kala tidur. Begitu tenang dan aku bisa melihat seisi dunia takluk dengan kehebatan mereka. Dunia ada di bawah telapak kaki mereka, apalagi surga. Bahkan, aku takut untuk mencium kening mereka. Karena mereka terlalu cantik, aku takut kecantikan mereka justru rusak karena sentuhanku. Bahkan, mungkin aku lebih mencintai kecantikan mereka, bukan cinta mereka. Ibuku dan ibumu memang berbeda, tapi mereka berdua sama-sama bidadari tercantik, yang pernah aku jumpai di jagad raya. Mungkin, tanpa memintapun mereka akan dengan tulus mencintai dan menjagaku. Meski dalam sakitku. Sisa waktuku, sepenuhnya untuk mengabdi. Pada Allah, pemilik sejati raga dan jiwa ini. Melalui kau, ibuku, dan ibumu.
Sayang, selama hidup denganmu aku tak pernah bercerita tentang masa laluku. Dan mungkin kau juga tak pernah mau tahu, mungkin juga tak butuh tahu. Tapi, kali ini izinkan aku menyampaikan sedikit cerita. Agar hatiku bisa tenang menghadapi sisa-sisa kejujuran dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Aku harus memulai dari mana ya? Kau pasti tahu, betapa aku seorang introvert yang menyenangkan. Dan kali ini, aku mencoba menceritakan semuanya. Dan kau pasti akan menceritakan pada anak-anak, cucu-cucu, keponakan-keponakan, dan juga orang lain, saudara kita seagama, sebangsa, dan setanah air. Aku mau ceritaku bisa membuat orang lain lebih bersyukur atas anugerah dalam hidup mereka. Begitu juga kau, bahkan saat aku tak di sampingmu nanti. Kalau kau setuju, dengarkan ceritaku ya. Masa-masa sulit yang akhirnya membuat aku merdeka. Merdeka dengan rasa syukur karena Allah selalu menemani dan memudahkan setiap jalanku. Catatan ini kubuat saat aku milad ke-23 tahun. Saat itu, kau belum menjadi pendampingku bukan? Dan kau tak pernah menanyakan apa yang telah kutuangkan di dalamnya. Saatnya aku ingin mnyampaikan rahasia kecil ini padamu.
Masih di sudut ruang baca, 24 Oktober. Rabb, yang aku inginkan adalah membuat mereka tersenyum. Kadang aku bingung dengan segala realitas hidup. Aku tak pernah sekalipun terpikirkan untuk membelakangi garis takdir ini. Tapi kadang juga aku takut dengan realitas hidup, yang meyakinkan bahwa aku tak pernah sanggup memangku lagi semua rasa yang ada di hati ini. Kadang aku juga tak bisa membedakan yang mana kasih sayang dan yang mana kebencian. Semua terlihat berbeda tipis. Hanya tinggal sebuah tanya yang akan terus kusisipkan tanpa ada yang memahami. Dialah sebuah pencarian, yang akan kutekuni hingga mati. Mungkin orang-orang akan selalu bertanya hingga aku membongkar semua rahasia yang terpendam. Tapi, aku pastikan folder itu akan selalu terkunci dengan aman. Biarkan aku saja yang tahu apa isinya. Akan kuubah dunia dengan isi folder itu. Folder yang selama ini terkunci, hingga aku mati.
Secuplik harapan yang tersimpan, kini terasa akan semakin jauh. Betapa aku akan menghadapi hujanan airmata, yang bertubi-tubi di saat ini. Ada sebuah rahasia yang harus kutukarkan dengan harga diri. Ah, tapi apa artinya harga diri ketika perjuangan yang kutempuh tak lagi dianggap sebuah arti. Akhirnya, tiba di ujung perjuangan kala aku tak mampu lagi menatap ke depan seorang sendiri dan berjuang seperti dulu.
Sebuah realitas hidup. Aku sang bungsu yang hidup di antara kerumitan persaudaraan. Kisah kedua orang tua yang melankolis sejak dulu. Aku bahkan tak pernah melihat senyum di bibir mereka. Ayahku, seorang kuli yang hidup hanya untuk sesuap nasi. Penghasilan ayah tak lebih dari 20 ribu sehari, dengan pendamping nya, ibu yang seorang pejuang rumah tangga sekaligus seorang binatu. Ibu melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka dengan mempertaruhkan nyawa. Harganya sebuah perjuangan tak pernah dibayar, hingga mereka tua renta. Mereka tak lelah mengkais rezeki, daripada hidup berkalung pasrah dan mengemis dengan mimik memelas yang lebih hina.
“Rabb… berikan aku hidup lebih lama,
Sampai hati tak berkalang noda dan perih
Sampai nyawa tak bertabur dusta dan hina
Karna matipun aku segan, bercermin diri yang penuh dosa
Rabb... biarkan aku bersanding di samping-Mu nanti saat waktunya tepat”
Dan aku, hanya anak manusia yang kala itu lahir di sore hari. Bertepatan 10 Dzulhijjah dan azan Ashar. Aku tak tahu makna hikmah ini, yang kutahu adalah aku lahir atas ketetapanNya. Dari ayah seorang buruh bangunan, yang sudah dibuang keluarganya dan dari seorang ibu yang tangguh dan tegar karna hidup di atas derita ayah dan ibu tirinya. Aku tak pernah berpikir bahwa aku dilahirkan sia-sia dan untuk ditelantarkan, seperti kata mereka—saudara sekandungku—yang tak lagi melihat kebaikan dari sisi ayah dan ibu. Aku tak tahu apa makna jalan ini, yang kutahu aku hidup karna Rabb menginginkanku memperbaiki nasib ayah dan ibu.
Saat ini, hampir 23 tahun aku hidup. Bak mimpi di pagi hari, aku bangun dari ketidakmungkinan. Aku sudah sebesar ini. Tumbuh menjadi wanita tegar, penuh kerelaan dan perjuangan. Aku ini ibarat kartini kecil yang dulu memperjuangkan emansipasi, bedanya kali ini aku memperjuangkan keadilan atas hidup kedua orang tuaku yang kini didustai oleh anak-anak mereka, yang kini dijajah oleh kenistaan anak-anak mereka, yang kini tak mngenal arti tersenyum dan ibadah karena anak-anak mereka, dan yang kini berharap penuh bahwa aku akan pulang membawa kebahagiaan untuk mereka. Aku percaya Rabb punya jalan lain untuk mereka, mungkin melalui aku. Tapi, aku tak sanggup melihat duka dan airmata selalu tersimpan dalam setiap peluh, tatapan, dan hembusan napas lelah, yang tersengal-sengal ketika ayah pulang dari menarik ojek atau memikul batu dan tanah. Aku tak tahan melihat goresan lelah dan sedih di balik keriput wajah ibu karena mencuci dan menyeterika di rumah orang. Aku tak bisa melihat dunia seperti ini, aku harus berlari, dan berlari menemukan cahaya yang dititipkan itu, menemukan jalan pulang yang baik untuk ayah dan ibu, menemukan gudang keberkahan yang pantas dan layak untuk ayah dan ibu, dan menemukan semangat hidup yang hampir hilang untuk ayah dan ibu.
Sebuah realitas hidup, aku sang bungsu yang sejak kecil hanya bisa terbata-bata mengeja semua gejala kehidupan sendiri. Sejak kecil aku merasakan di perantauan, ditinggal ayah dan ibu, yang bekerja sebagai TKI saat di negeri jiran. Saban hari, kulepaskan kerinduan dengan bermain bersama teman lelaki-lelaki kecil. Aku bahagia memanjat pohon dan tebing, bersepeda, memancing, dan bertukar seragam senyuman dengan hari yang terik. Aku hanya tahu bahwa hidup itu adalah kekosongan yang harus kuisi dengan ceria dan senyuman. Aku hanya berteman dengan seekor kucing kecil, yang bisa membuat aku lupa bahwa hari itu aku tak bisa makan apa-apa. Ketika saat teman-teman pergi ke bangku sekolah, aku hanya bisa mengikuti dari belakang. Dan, kukayuh sepeda kencang-kencang sambil mengendap ke mana mereka pergi. Ternyata, ke sebuah sekolah kebangsaan. Ya... mereka belajar mengeja dan menulis, bermain, dan ceria. Sedangkan aku, hanya bisa mengintip di balik jendela yang tinggi. Sesaat, sang cikgu menoleh, aku ketakutan dan membalikkan badan, kemudian berlari sekencang mungkin, bersepeda, dan berusaha mencapai jalan menuju rumah. Degup kencang rasa bersalah, aku telah merusak pemandangan sekolah kebangsaan hari itu. Ah, betapa kecilnya diri ini.
Aku harusnya sadar bahwa aku bukanlah orang yang tepat untuk berada di sana. Aku tak pernah akan mampu untuk duduk di kursi pendidikan seperti itu. Akhirnya, aku memasuki rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Entah ke mana sepeda yang kupakai tadi. Segera kulempar badanku ke arah pembaringan di dapur rumah. Kemudian memeluk kakiku rapat-rapat. Aku menangis dan menangis.
Aku tak pernah berpikir, sampai kapan aku harus menanggung semua perih, yang kupikir hanya mengembalikan senyum merekah di wajah mereka. Tanpa bicara, aku melangkah setapak demi setapak, mencari ilmu di balik gunung yang megah. Tanpa bekal, uang, apalagi kemewahan. Akhirnya aku bisa sekolah saat pulang ke Indonesia. Tapi, aku cuma bisa belajar dari buku-buku usang yang kupinjam dari perpustakaan. Setiap hari tanpa jajan dan tanpa makan enak. Makanku cuma sekali sehari di kala lapar, makanan yang tersisa, itupun kalau aku berani. Karena pada saat itu aku tinggal bersama kakakku, yang cukup makan hanya untuk keluarganya saja. Itu terus berjalan hingga akhirnya aku menempuh ujian akhir sekolah dasar. Tanpa sadar sudah 6 tahun di sekolah dasar, aku berjuang mendapatkan keadilan. Saat lulus, aku menjadi lulusan terbaik dan berprestasi di sekolah itu. Ayah dan ibu tersenyum sambil menangis, aku tak dapat melanjutkan sekolah.
Aku tak boleh menyerah, kurogoh sakuku yang kusam dan kulihat sekeping uang lima ratusan, lalu kulayangkan ke udara dan akhirnya kudapatkan genggamanku melihat garuda yang mengepakkan sayap. Ya, aku mendapatkan beasiswa itu, saat masuk SMP, dengan semangat aku berlari membawa map merah berisi ijazah dan formulir, hujan, dan dingin seakan tak terasa. Akhirnya kudapatkan seragam biru-putih itu. Tak putus sampai di situ, ujianku di akhir tahun mendapat penghargaan yang cukup bagus, hingga aku lupa bahwa tak ada lagi kesempatan berlena-lena dengan waktu. Aku tumbuh menjadi belia yang tak tahu pergaulan karena setiap hari berjibaku dengan buku dan kompetisi. Cukup tahu bahwa aku hidup di kota kecil yang tenang, tapi aku tak tahu bahwa teman-temanku punya segudang teman bergaul, sedangkan aku? Setiap detik berkutat dengan ilmu dan membantu ibu. Tapi, tak apa… hidupku masih panjang, tak perlu berleha-leha kalau aku punya sejuta impian. Akhirnya, kujejakkan kaki di SMA. Dengan modal pas-pasan, pinjaman baju, dan uang pendaftaran, aku nekad memasuki sebuah sekolah terkenal dan hebat. Kemudian, aku tumbuh besar dan dewasa dengan segala kemandirian. Aku pantang membayar sekolah, karena senang berburu beasiswa dengan potensi yang aku punya. Setiap ada kesempatan, aku selalu mengikuti lomba untuk mendapatkan uang. Dan uang itu yang kupakai untuk sekolahku. Karena cukuplah ayah dan ibu hanya menanggung makanku saja di rumah. 
Sebuah relitas hidup, aku sang bungsu yang dikatakan sangat beruntung hidup sebagai anak terkahir, disebut-sebut menjadi kesayangan orang tua, tak pernah takut untuk sengsara dan bertungkus lumus memamah berjuta asam-garam hidup. Seperti yang dirasakan mereka, kakak-kakakku. Ya, mereka yang katanya tak mampu dibiayai sekolah sejak dini, mereka yang hanya bisa menjadi kuli, supir, tukang kebun, TKW, dan pedagang pecel yang kerap kali menjadi pengangguran lantaran tak berijazah sekolah formal. Hingga suatu ketika kehidupan baru menjemput mereka, bersama suami dan istri mereka, pergi meninggalkan rentanya orang tua, beralasan bahwa "sudah tak saatnya lagi membantu orang tua, telah cukup sudah!". Faktanya, aku mandiri. Aku mampu menyelesaikan sekolah dengan kemauan dan tekadku yang keras. Ayah dan ibu hanya bermodal gratisan, yaitu do’a. Sudah cukup buatku do’a mereka sebagai motivasi terbesar untuk sukses.
Sampai akhirnya, aku berhasil menembus perguruan tinggi negeri ternama sebagai mahasiswa undangan. Dengan jerih payahku mengumpulkan prestasi meski terbatas secara ekonomi. Kini, aku satu-satunya sarjana di keluargaku. Akulah yang memikul tanggungjawab besar untuk perubahan nasib keluarga ini. Karena aku yakin, Allah Maha Adil dan akan memberikan kemudahan bagi hambanya yang mau merubah diri menjadi lebih baik. Dengan butiran airmata yang tercucur saat mengantar hidupku, hanya ada satu kalimat yang aku ingat dan aku tanam dalam-dalam hingga tubuh ini tak mampu lagi menghadapi dunia. Aku akan menghadap Rabb dengan berujar harapan bahwa manusia yang diutusNya itu akan selalu ada dan diiringi do’a orangtua, untuk bahagia di dunia maupun akhir nanti. “Semoga tercapai cita-citamu, lulus dengan nilai terbaik, dan bisa sukses di masa depan nak!”.
Saat aku menulis untaian kalimat ini, aku tak mampu menahan rasa haru yang membiru karena restu orangtuakulah yang membawa aku ke jalan ini, jalan Allah. Tak hanya di jiwa tapi juga di setiap lintasan sinyal, yang melewati saraf hingga jauh membentang di sekujur tubuh. Aku mengaku bahwa aku bukan apa-apa tanpa do’a dan airmata mereka. Entah yang ke-berapa kali, tapi kalimat ini tak pernah dan tak akan pernah membosankan untuk kudengar dan kuresapi dalam hati. Lantas, sejenak aku menangis sembari memeluk erat hati dan jiwa ini, meluluhlantakkan semua kenakalan, yang dari dulu pernah aku perlihatkan pada mereka. Aku tak pantas melihat mata mereka yang tulus, aku juga tak perlu merias wajah mereka. Wajah yang kusam dan keriput dimakan usia untuk mengayomiku. Aku bahkan tak tahu betapa deritanya menusuk tulang ketika aku pernah membentak mereka. Aku tak pernah sadar betapa inginnya mereka melihatku menggapai bintang. Meskipun saat itu masih menjadi mimpi di kala aku ada dalam kehangatan pelukan mereka.
Aku juga tak pernah berpikir bahwa dunia mereka tak seindah yang kualami saat ini. Mungkin kini aku bisa tertawa karena Allah SWT memberiku kesempatan untuk itu, tapi ketika aku bertanya kepada ayah dan ibu. Mereka tak pernah lepaskan genggaman tangannya di sarung. Sarung yang dikenakan saat bertutur sembari menghadapkan wajahnya jauh beberapa radius kilometer di depan sana. Cerita yang kudengar tak mampu menahan airmata dan hati yang meringis karena terlalu sulit untuk aku membayangkan hidup seperti itu.
Ibuku, sejak kecil aku selalu di sampingnya, tapi dia tak pernah merasakan hangatnya cinta dari orang yang melahirkannya. Ketika aku berangkat ke sekolah dengan seragam kebanggaan, dia mengantarkanku ke depan pintu, berharap tak turun hujan yang dapat membasahi lantas membuatku sakit karenanya. Tapi, aku melihat ke dalam matanya betapa inginnya dia memakai seragam kebanggaan ini untuk meraih masa depannya dulu. Hanya saja, keberuntungan tak berpihak padanya karena tak ada pembimbing yang jelas untuk mengantarkannya ke dunia pendidikan. Saban hari dia hanya berjibaku dengan tangisan kelima adiknya.
Akhhhh….aku tak sanggup melanjutkan ini, betapa perih kurasakan ketika aku menulis tiap penderitaannya, meski di secarik kertas mahal sekalipun. Aku hanya pengecut yang tak tahu makna kehidupan. Aku terlalu cengeng, lemah, dan haus akan iba dari orang lain. Sementara dia, dia tak pernah mau mengharap iba dari siapapun meski deritanya adalah derita orang-orang yang mencintainya. Yang dia tahu, Allah Maha Pengasih dan Penyayang dan ia selalu ingat akan Innallahama’asshoobiriin. Apa rasanya dunia tanpanya, dan kuyakini diri sejak ini bahwa aku akan menanamkan sebuah ungkapan cinta dan do’a untukmu Ibu.
Kala itu, pernah suatu hari di awal perkuliahan. Sudah jam 7, aku segera bangkit dan membenahi diri untuk rapat pagi itu. Ibu, do'amu adalah kemudahan perjalanan bagiku. Subhanallah... ketika aku keluar dari asrama, kutemui langit yang masih memerah dengan cahaya yang indah. Wajahku yang tadi dibasahi peluh karena menuruni tangga dari lantai empat, kini hilang termakan angin sepoi yang bertiup. Lantas kujejakkan kaki di bis kuning dan bis itupun melaju... melaju sederas darahku yang harus semangat untuk menghadapi hari ini, esok dan seterusnya. Ibu... hari itu sebenarnya aku tak sanggup lagi menyimpan segala perih yang selama ini kusembunyikan. Aku lupa kapan terakhir kali aku menangis. Aku cuma ingat hari itu adalah hari tanpa kata-kata yang akan kusuguhkan untuk dunia hari ini! Pasalnya, kemarin... aku berangkat ke kampus perjuangan dengan penuh semangat, berharap hari itu tak ada hujan. Alhamdulillah bu, hujan tidak ada, yang ada hanya hujan harapan.

Aku tiba dengan pikiran kosong tanpa jadwal yang jelas di hari itu. Dengan terengah-engah sehabis mencuci tadi pagi, aku turun dari bis dan sampai di lantai dasar dengan keadaan perut kosong. Hm.. ternyata aku berpacu dengan waktu, dan akhirnya menang. Itu hal pertama yang membuat aku menangis.
Lalu, kutekan beberapa kali keypad handpone lamaku untuk mengirim pesan singkat. Kutitipkan beberapa file yang diwariskan untuk adik asuhku. Dan kala aku memberinya, kudapati cahaya mata yang berterima kasih kepadaku. Tapi, itu tak pernah kuanggap lebih, karena memang tugasku sebagai khalifah yang harus tahu hutang dan budi. Adik kelasku itu berterima kasih bu, UTS-nya akan lebih semangat minggu depan.
Lalu, aku berpesan layaknya hari akan terus hilang dan usia akan terus melayang. Dan.. tiba saat itu, aku pergi menuju ruangan yang sarat formalin karena awetan hewan-hewan percobaan. Miris, tapi aku senang berada di ruangan itu, aku bertanya kepada asisten laboratorium, aku berdiskusi tentang spesimen yang indah nan ajaib itu. Dan aku sekali lagi bersyukur, bahwa Allah memberikan kehidupan untukku menatap hewan-hewan unik yang beranekaragam. Sekali lagi, hatiku menangis. Ya Rabb, akankah hidupku selalu indah seperti ini? Dan ketika aku keluar dari ruangan, aku mendapati senyum dan sapaan dari penjuru teman. Kabar besok adalah UTS, tapi tak apa... aku masih punya semangat! Ibu, kau tahu, ketika siang itu aku bingung ada asistensi, tapi aku harus mengajar adik-adik di bimbel. Mereka sudah mau ujian nasional beberapa bulan lagi. Aku harus mencerahkan hari-hari belajar mereka. Lantas, kuputuskan meninggalkan kampus untuk mengajar pada hari itu.
Ibu, kau tahu, aku hampir terhempas bis ketika menyebrang jalan. Sekali lagi, Rabb membantu mencari kehati-hatian untukku meraba dan merangkak di tengah keganasan jalan raya di kota Jakarta. Tak pantang menyerah, kulanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan kota yang panas, berdesakan, penuh peluh, lelah, dan rasa mengantuk membaur. Ibarat gado-gado hidup yang akan segera disantap oleh segala keganasan kota yang asing ini. Ibu, aku ingin menangis hari itu, karena semua berhasil kulewati dan sampai di tempatku mengajar dengan letih tapi masih ada sebuah semangat.  Hingga pukul 10 malam, aku baru sampai di kamarku, kemudian tertidur dan lelah. Ibu, aku lelah, lelah, dan ingin menangis melihat perjalananku hari ini. Dan itu terus berjalan di hari-hari berikutnya. Karena aku harus membiayai hidup selama kuliah.
Hingga hari ini kembali, aku ingin menangisi hidupku yang entah untuk keberapa kali merasa kesunyian, lalu kusibukkan dengan beragam aktivitas. Tapi, aku kering, hampa, dan tak mampu menahan airmata. Ibu, aku ingin menangis atas kesendirianku, hidupku, perjuanganku di sini, hanya ikhlas untuk membantumu tersenyum. Aku akan sangat menangis, ketika ku tahu dalam segala lelah dan sepiku, ternyata buah perjuanganku yang dulu tidak pernah disadari oleh kakak-kakaku. Aku serasa tak berharga di mata dunia, kali ini, semangatku tersisa hanya untukmu, Ibu. Begitu juga ayah, biarkan aku menangis sebentar hari ini saja.

Aku juga pada akhirnya, tak mampu berkata bahwa aku sedang sakit, yang kurasakan hanya tulang-belulang yang sengal-sengal dan rapuh, setiap urat kaki dan tanganku kaku, tak mampu bergerak. Terasa nyeri di bagian rusuk dan tulang belakang. Aku tak pernah berani memeriksanya ke dokter, aku masih takut menghadapi kenyataan bahwa aku tak lagi bisa beraktivitas seperti saat ini.
Dan sekali lagi aku berbohong atas segala kondisiku kepada ayah dan ibu. Rabb, salahkah ini.
"Ya... sehat-sehat aja kan sayang, tetap diminum ya obatnya. Maaf ibugak bisa ngasih apa-apa selain do'a, semoga sukses ya nak... uang makan gimana? Masih dapat kan beasiswanya?", tanya ibu penuh harap.
"Iya Bu... Insyaallah... lumayan masih dapat 800 ribu per bulan. Mudah-mudahan masih berlanjut sampai selesai kuliah. Ibu dan ayah jangan mikirin adek ya, Alhamdulillah adek juga udah ngajar di bimbel, lumayan buat nambah uang makan dan beli buku".
"Alhamdulillah... berusaha ya Nak, Ibu dan Bapak minta maaf, gak bisa ngasih yang terbaik buat kamu. Do'a dan kerelaan kami yang bisa diberikan untukmu, semoga kamu berhasil ya Nak".
Aku terisak saat itu, dan dengan suara lirih sambil menahan sakit ini, aku bersyukur dan mengucapkan terima kasih banyak untukmu Ayah dan Ibu. Relakan anakmu berbakti pada-Nya, pada bangsa dan negara ini. Kali ini, aku tak peduli ada penyakit apa di badanku, yang kusadari hanyalah aku ingin membuat orangtuaku tetap terseyum. Aku ingin mengembalikan senyuman indah orang tuaku yang selama ini dibungkam oleh keputusasaan karena ketidakberdayaan.
Rabb, aku cuma bisa memberikan pengabdian, hanya Kau yang bisa mengabulkan. Aku terenyuh dengan kata-kata ibuku dan ingin rasanya aku segera wisuda, bekerja, dan membangun rumah impian untuk Ayah dan Ibu. Rumah yang berisi kenyamanan dan kaharmonisan. Rumah yang akan indah dengan ayat-ayat Allah SWT. Rumah yang penuh berkah karena akan ada malaikat di sekelilingnya. Rabb, saat ini, aku hanya bisa menahan segala sakit, sedih, perih dan lirih sendiri. Aku ingin keikhlasan ini membuat semua orang yang ada di sekitarku tersenyum.
Dan, sang bungsu kini mulai letih. Sampai akhirnya menyelesaikan kuliah S1 dengan segala bentuk perjuangan besar. Semua karena tangan-tangan Allah. Tinggal meraih mimpi di depan, yaitu mengabdi, seperti pesan Ayah dan Ibu. Aku mengayuh secerca harapan yang dulu mereka bina. Sejak kecil, sebuah semangat sejak mendaftar di bangku sekolah dasar, dengan bermodal beasiswa 60 ribu rupiah sebagai motivasi, aku harus bisa sukses menjadi apa yang aku inginkan, dengan peluh dan darahku sendiri. Hingga, aku harus membanting segenap raga, demi mengenyam pendidikan dalam sgala keterbatasan garis takdir ini. Kata Allah, aku harus bisa meluahkan semangat hanya untuk satu tujuan: bisa mengembalikan senyum di kedua bibir Ayah dan ibuku.***
Rabb, hamba tau bahwa kondisi manusia itu memang rumit. Rumit untuk dipahami, di bawah nalar dan rasional sekalipun. Manusia, aku yang hina dina hanya sebatang kayu, kemudian menyatu dengan kayu lainnya kemudian menghasilkan api, dan api itu akan menyala... itulah kehidupanku. Tetapi, nyala itu hanya sementara lalu mati. Begitupun, kasih sayangku. Jika memang aku intan, maka hanya Kau yang berhak memberikanku intan. Agar kelak nyala api itu dapat membawaku dan dirinya bersama ke surga. Biarkan aku menjaga hati, entah sampai kapan menutupnya rapat-rapat hanya untuk zaujihku, suamiku, yang hanya mencintaiku karena-Mu. Itulah yang menunjukkan arah menuju kekekalanMu. Hingga pada akhirnya kau datang suamiku. Kaulah suamiku, pendamping yang kuharapkan di dunia dan akhirat.
Masih banyak cita-cita yang belum aku tunaikan di dunia ini. Tak kusangka waktuku ternyata lebih dari sepuluh tahun. Dan kau tau, itu karena semangat dirimu yang kerap kali mendorongku untuk hidup lebih baik. Kau memang utusan Allah yang dapat menjagaku. Teman setiaku. Namun, masih banyak cita-cita yang belum aku tunaikan untuk negara ini. Bahkan melanjutkan generasimu dari rahimku pun aku tak sanggup. Aku bukan perempuan yang sempurna. Semoga umurku bisa panjang dan selalu mendampingimu. Dan kau tak menolak itu.
**
Aku tak bisa mengatakan apa-apa Lyani. Lidahku teramat kelu dan dingin. Sebentar lagi aku landing, Ah... apa artinya semua kesuksesan ini tanpamu Lyani. Aku tak mau dikenal sebagai Yusuf yang keji karena tidak memahami kehidupan pendampingku sendiri. Aku terlalu jahat Lyani, jahat. Aku cuma bisa meminta maaf sebesar-besarnya sayang. Setelah konferensi ini selesai, aku akan langsung pulang ke Indonesia. Tujuan pertamaku adalah membawakan bunga ke pusaramu, sayang.
Aku kagum dengan dirimu, hatimu, jiwamu, dan seluruh yang kau punya. Kau benar-benar tegar, berjiwa kebangsaan, mandiri, dan satu hal yang aku sangat bangga padamu, yaitu kau selalu bersyukur atas apa yang kau punya. Itu yang membuat wajahmu sangat cantik. Bukan hanya cantik secara fisik, tapi juga rohanimu. Kau memang terlihat sangat cantik, apalagi di kala tidur. Benar, kau juga seperti ibuku dan ibumu. Kalian terlihat cantik di kala tidur, dengan seluruh ketulusan dan kesucian yang tampak dari dalam jiwa. Aku memang melihat dunia di bawah telapak kakimu. Aku bahkan tak sanggup untuk menatap wajahmu cepat-cepat. Aku ingin terus menatap wajahmu tanpa henti. Tapi, itu tinggal sebuah harapan semu di dunia ini. Aku harap, Allah mengizinkanku, nanti suatu saat berada di sampingmu di surga. Karena kaulah bidadari dengan kayu dari langitmu.
Lyani kau tahu, diary ini layak kuabadikan sebagai sebuah buku kenangan paling indah yang pernah kumiliki. Dan aku berjanji akan menerbitkannya hingga semua orang bisa tau tentang duniamu, semangatmu, cita-citamu, dan cerita kita. Lyani, aku juga sangat menyayangimu. Kau adalah intan bagiku. Hari ini, aku putuskan untuk menutup rapat-rapat hati ini, karena aku menghargai dirimu yang selalu ikhlas menungguku dan mencintaiku apa adanya. Lyani, aku sangat menyayangimu, aku akan melanjutkan perjuanganmu sayang. Aku akan meneruskan cita-citamu untuk memperbaiki bangsa ini hingga akhir nafasku.

Lyani, Bagaimana Hidupmu Tanpa Cinta?


         Sabtu, pukul. 06.16 WIB. Terjaga dari mimpi indah, terbang di pagi hari laksana embun yang kemudian jatuh ke bumi. Dan aku bukanlah siapa-siapa. Begitu juga dia, yang tak kunjung memahami bahwa kekuatan ini adalah miliknya. Sejenak, aku berpikir bahwa setiap kasih sayang sifatnya memang sementara. Sama seperti api-api yang menyala dalam dingin. Hidup, redup, dan memudar kemudian mati. Tapi, untukku... tidak. Ketika aku baru saja tersadar bahwa mimpiku adalah menggapai indahnya surga bersamanya. Namun, jika Dia tidak menghendaki, aku tak bisa berbuat apa-apa karena sejatinya aku mencintainya apa-adanya. Suatu ketika aku bermimpi mencintai seseorang karena Allah, maka dia adalah jawabannya.
Dan lima tahun kemudian... cerita itupun tak berlanjut. Tak kutemukan sepucuk suratpun di dalam kotak surat. Yang tersisa hanya sebuah email. Ketika kubuka... hatiku sama hancurnya dengan isi email itu. Laksana rempah-rempah yang hancur tergiling untuk memberikan sedapnya rasa suatu masakan. Itulah yang bisa aku analogikan dengan setiap-kata-kata yang tersurat di dalam email itu. Memberikan rasa yang luar biasa membuat hidup jauh lebih berwarna. Kali ini warnanya keabu-abuan, mungkin lebih tepat disebut hitam. Karena tak sedikitpun rasa itu menghidupkan cahaya dalam hati. Cuma tinggal satu kata yang pantas terucap, IKHLAS. Ya, aku harus mengikhlaskannya.
Ahad, pukul 13.31 WIB. Aku selalu mencoba memahami kenapa aku merasakan hampa, meskipun aku sadar bahwa cinta sejatiku hanya milik Allah SWT. Hampa itu hadir setelah kuterima email itu. Memaksaku membolak-balikkan pikiran menjadi pikiran positif, akhirnya menjadi sesuatu yang membuncah. Ah, rasanya ingin kunyalakan lentera di balik gulita dalam hati. Seharusnya dari dulu, aku tau bahwa dia tidak pernah memilihku. Bahwa dia hanya pandai berkata-kata yang membuat aku terkagum. Jalan Allah itu begitu indah, aku sangat mengharapkannya menjadi imam bagiku dan calon anak-anakku kelak. Aku ingin sekali berkata bahwa "Kau tau, sejak terakhir kita bicara dan berencana tentang masa depan, kuyakinkan 100% dalam setiap sujudku untuk menunggumu, menunggumu membawaku shalat fardhu berjamaah, berjamaah ke jalan yang diridhoi Allah bersama keluarga kecil kita nanti". Entah kenapa, aku mencoba ikhlas, tetapi hati ini menangis dalam, hingga airmata tak dapat tumpah kembali ke bumi. Aku semakin sadar, bahwa aku cuma sebatang kayu yang jatuh dari langit. Bukan bidadari yang engkau harapkan.
Ketika Adzan...14 Juli. Pkl. 18.11 WIB: Sejenak, aku hanya terdiam di bawah jajaran planet yang berbaris lurus. Tampak indah di awal-awal tahun kabisat. tapi, mungkin tak seindah dan tak selurus niat dan hati ini. Kala sebuah mimpi yang tak kunjung datang. Hampir, setiap malam-malam menjadi seperti siang hari, tanpa bintang. cuma ada seonggok matahari yang panas dan kemudian redup termakan mendung. Ah, aku tak seharusnya berharap pada mimpi. Karena aku hidup untuk membuktikan!

I once explained all about my dream, but up to now there has been no realization indeed proving it. I don't have a strong commitment to make them become real. Whereas, i believe my dream is the means of their lives. God, give me your hands.

WHEN YOU BELIEVE

Many nights we've prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hopeful song
We barely understood
Now we are not afraid
Although we know there's much to fear
We were moving mountains long
Before we knew we could

There can be miracles
When you believe
Though hope is frail
It's hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe
Somehow you will
You will when you believe

In this time of fear
When prayer so often proves in vain
Hope seems like the summer birds
Too swiftly flown away
Yet now i'm standing here
My heart's so full, i can't explain
Seeking faith and speaking words
I never thought i'd say

They don't always happen when you ask
And it's easy to give in to your fears
But when you're blinded by your faith
Can't see your way through the rain
Honesty will reveal all
When hope is very near

Penyair ini benar. Perjalanan yang aku tempuh, bukanlah perjalanan yang biasa. Aku tak pernah sekalipun mengharapkan keajaiban datang dalam setiap detik-detik perjuangan ini. Tak mudah memang, ketika pencarianku hampir dapat, seketika ia hilang. Itu yang membuatku takut untuk kehilangan karena belum memiliki. Tak ada keyakinan. Maka dari itu, aku tak pernah mencoba untuk memiliki sesuatu yang menurutku tak mungkin aku dapatkan. Apakah artinya aku terlalu takut? Takut untuk mendapatkan kebahagiaan di balik penderitaan orang lain? Aku selalu takut untuk bahagia. Karena biasanya kebahagiaanku justru akan membuat orang lain merasa sedih. Aku terlalu iba jika menghadapi persoalan seperti itu. Apakah ini manusiawi, sementara orang lain selalu berusaha menggapai apa yang mereka inginkan meskipun kerap kali menyakiti bahkan membunuh perasaan orang lain. Ah, aku terlalu polos mungkin. Aku tak mengerti mengapa bisa menjadi manusia yang berpikir seperti ini. Apakah karena aku berharap ada kemuliaan di sisiku? Tapi, bukankah justru itu yang membuat aku kehilangan banyak kesempatan untuk berlari kencang.
Kali ini kau akan menemukan sosok yang aneh dalam diriku. Aku tak pernah bermimpi menjadi manusia yang layak. Aku tak pernah memikirkan untuk menjadi orang lain. Kebahagiaanku ada di tanganku sendiri. Kau pasti setuju itu. Akan lebih tajam dalam setiap nafasmu. Aku akan lebih memiliki sesuatu yang benar-benar melesat jauh dari apa yang kau pikirkan saat ini. Lihat. Aku menatap sebuah cermin. Lensa mataku terlihat lebih bening dari sebelumnya. Warnanya kecokelatan dan aku ingin kau tatap mata ini dalam-dalam. Pahami setiap rahasia yang ada di dalamnya. Aku ingin menjadi yang paling misterius dalam hatimu.
Terus kutatap wajah suamiku itu, tapi aku hanya diam. Dia terus menanyakan kenapa aku menatapnya seperti itu. Aku tetap diam. Pohon sakura ini, menjadi saksi bahwa kita sudah bersatu tapi hati kita seolah masih terpisah. Saat kita bertemu kembali, di tempat yang berbeda, negara yang berbeda, dan musim yang berbeda. Kau tiga tahun lalu baru kukenal, kemudian kita terpisah. Karena kita cukup menjadi teman setia dan sahabat karib. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa aku jatuh cinta denganmu karena Allah. Aku memutuskan unuk menjauh dan kini kau benar-benar ada di depanku. Kau menjadi suamiku kini, kita sudah hampir sebulan menikah. Dan hari ini, adalah hari wisuda S2 ku artinya, beberapa hari lagi aku akan mengikuti saranmu untuk masa depanku.
Selama sebulan, kau menjadi suami yang paling romantis dan baik hati. Kau ajarkan banyak hal tentang kesuksesan dan bagaimana memahami dunia. Kini, aku ada di hatimu dan kita pasti akan terus bersama. Aku memutuskan sejak hari ini, sebelum kembali ke Indonesia, aku ingin mendampingimu ke manapun kau pergi. Kau memang seorang diploma yang handal dan pintar. Aku selalu tak ingin jauh darimu. Aku masih tak percaya, kalimat ini benar-benar terwujud. People come and go, but memory always stays.  Let it gone, because I believe. Sampai akhirnya kau kembali dan meanrik semua perkataanmy bahwa kita adalah teman. Aku tak tau, apa yang membuat pikiranmu berputar 360 derajat. Tapi, yang aku tau sekarang kau menjadi orang yang paling berharga setelah ayah dan ibu. Aku tak menyesal meninggalkan Indonesia dan kini bersamamu.
***
Seandainya bisa meminta terus, aku tak ingin berada dalam sakit ini. Hanya membuatku semakin sakit karena aku harus segera meninggalkan kehidupanku di dunia fana ini. Aku tak sanggup memperlihatkan ini kepadamu suamiku. Aku harus kembali ke Indonesia. Setelah bertahun-tahun ini aku hidup mendampingimu, aku tak sanggup melukaimu jika kau tau tentang penyakitku. Bahkan saat aku keguguran anak pertama kita. Ada satu hal dalam hidup, yang tak pernah bisa dimengerti oleh orang lain, yaitu sulitnya memahami orang lain. Kau tak akan mengenalku lagi untuk pikiran ini. Bisa saja, orang-orang datang untuk mengenal kita lebih jauh atau sebaliknya... justru menjauh karena memahami sisi yang lain. Tapi, tidak untukku... aku berusaha memikirkan half full half empty... berpikir secara moderat.
Menurut Buddha, tak ada yang abadi di dunia ini. Hidup laksana api yang dihasilkan dengan menggosokkan dua potong kayu. bersinar sementara, lalu mati. Kita tidak tahu sumber maupun tujuannya. The Blind Owl Sadeq Hedayat benar-benar membuka mataku bahwa kondisi manusia itu rumit. Rumit untuk dipahami, di bawah nalar dan rasional sekalipun. Manusia adalah sebatang kayu, kemudian menyatu dengan kayu lainnya. Menghasilkan api, dan api itu akan menyala... itulah kehidupan. tetapi, nyala itu hanya sementara lalu mati. Begitupun, kasih sayang sesama insan. Jika memang ia intan dan mendapatkan intan.. kemudian nyala api itu membawanya bersama ke surga, itulah yang menunjukkan arah menuju kekekalan... Alam Baqa'. Wallahu'alam.
Dalam penat.... aku mengingat sebuah retorika singkat. Cita-cita luhur aku dan sahabatku, keluargaku yang hingga saat ini tak pernah terlupakan, meskipun kami berada di antara lintas pulau. Kelak kami merupakan agen yang tak lagi bisa merubah dunia. Kenapa? Seberapa pantas kami disebut sebagai agen perubahan? Seberapa besar keikhlasan kami disebut sebagai semangat yang mendasari keinginan untuk bersatu dalam perbedaan yang ada di keluarga kita?
Sebuah kisah di balik perjalanan keluarga kita tahun ini, kalimat-kalimat ini muncul begitu saja, ingat sekali saat itu di awal-awal kenapa tema air yang ingin diangkat di acara kita  Selain wajah-wajah semangat itu, sangat termotivasi dengan kalimat-kalimat di bawah ini,, begitupun dengan ayat Al Quran yang kemudian kubaca.
 “Air yang mengalir itu akan bertemu di muara dan berkumpul di laut. Menyucikan diri saja, kita harus menggunakan air yang mengalir, karena dengan itu kita akan menyucikan lahir dan bathin. Semoga apa menyucikan diri mengantarkan kita pada berkumpulnya para malaikat untuk mendo’akan bahwa Allah akan memberkahi kita dan mendekatkan kita pada kekasihNya. Subhanallah.. benar-benar perjalanan rohani manusia menuju TuhanNya itu sangat indah”, lantas aku tertegun membaca uraian yang kira-kira begini bunyinya.
“Sucikan segala ucapanmu, memberikan kekuatan jasmani untuk beribadah,
Sucikan penciumanmu dan kau bersihkan segala penyakit hati,
Sucikan wajahmu, dan mohonlah ampun untuk segala penglihatan agar cahayaNya melekat di wajahmu nan bersih,
Sucikan tanganmu, kelak kau akan menerima rapor kebaikan,
Sucikan rambutmu, dan kau akan mencium harumnya surga,
Sucikan telingamu, dan kau akan mendengarkan suara malaikat di alam barzah,
Sucikan tengkukmu, dan kau akan terbebaskan dari belenggu An Naar
Sucikan kedua kakimu agar kelak langkahmu dimudahkan melewati jembatan mustaqim”

Begitu sekilas kenapa akhirnya kisah air yang membuat aku sangat memantapkan hati di sini. Beberapa hari kemudian, kudengar keluh kesahmu,
“Dalam senyum keindahan, menatap kesunyian malam, pesona malam alamku, dalam riak, aktifitas adam dan hawa dengan iring-iringan mimpi penuh pengharapan demi hari esok yang lebih cerah, mencerahkan hitamnya kehidupan hari ini. Semoga belum terlalu tua untuk berbuat banyak untuk negeri  ini.”
Aku semakin yakin, mereka di sini bukanlah sekedar berangan-angan tapi ada sejuta alasan untuk bersemangat dalam mengantarkan mimpi kita untuk memajukan negeri. Suamiku, “kedekatan sebagai seorang sahabat, seperti para Nabi memuliakan para sahabatnya, lebih baik untuk rekan seperjuangan”, mereka lah yang membuat aku bertahan. Bertahan dengan segala keterbatasan, tidak boleh mengeluh dan harus selalu sehat, sampai keluar kata-kata menggelikan seperti ini, “Menurut Masaru Emoto San dalam bukunya (efek kesehatan dari pikiran negatif): jika sering membiarkan diri kita stress, maka kita akan mengalai gangguan pencernaan. Jika sering khawatir, kita bisa mengalami sakit punggung. Jika mudah tersinggung, maka kita akan terkena penyakit ginjal. Jika suka marah bisa hepatitis. Jika apatis sama lingkungan, maka vitalitas melemah. Jika sering tidak sabar, maka bisa diabetes. Jika sering merasa kesepian dan sedih bisa demensia senelis dan leukimia. Hm, maka dari itu pelihara hati dan jangan cepat stres”  hingga suatu saat, “Sesampainya  di laut, kukabarkan semuanya, kepada karang kepada ombak kepada matahari. Tetapi semua diam tetapi bisu, tinggal aku sendiri terpaku menatap langit, barangkali di sana ada jawabnya”  Iya, jawabannya di sana di mana langit dijunjung oleh kita. Kadang tak mampu meredam semangat yang akan selalu runtuh dalam keterbatasan.  Aku kecewa dengan segala pelik di sini, tapi, aku yakin... betapapun kita sering disalahkan atau menyalahkan orang lain, kita tak akan pernah lepas dari tanggungjawab untuk memperbaiki hal yang disalahkan itu.
Berapa aksarapun yang dituliskan, tetap menjadi sebuah semangat yang besar, apabila kita bisa meredam egoisme diri untuk menyatukan hati dengan orang lain. Meskipun kepala sama hitam, tak mudah untuk bersatu dalam perbedaan.. ya... itu benar, akan tetapi kita harus ingat bahwa perbedaan pula yang membawa bangsa ini bisa menuju demokrasi, perbedaan pula yang memberikan semangat perjuangan bagi generasi Bung Tomo, Bung Karno, Bung Hatta, dan segenap pejuang lain di kala kemerdekaan belum kita capai. Tantangannya adalah sejauh mana kita mampu memaksimalkan potensi perbedaan itu untuk berjalan ke arah yang positif demi perubahan bangsa.
Bukanlah suatu kebaikan untuk meneruskan perjuangan tanpa kesatuan hati. Memang ini adalah pilihan, sejauh mana pilihan ini tepat untuk kita dan orang-orang yang menyayangi kita. Sebuah cerita perjalanan singkat dari seorang teman, ia selalu bercerita tentang perjalanannya, pernah waktu itu dia bilang,
”Sewaktu aku berjalan langkah demi langkah, tanpa terasa akhirnya aku tertarik dengan sekuntum bunga aster di tepi jalan, lalu aku bertanya wahai bunga... kenapa engkau memilih hidup di tepian jalan? Karna Tuhan telah memerintahku seperti itu, kenapa pula warnamu seindah itu? Indahku mewakili hati seorang pecinta ilahi yang terpinggirkan demi rasa cintaNya. Lalu aku melangkah terharu mendengar ceritanya. Tak jauh dari sana, aku melangkah dan bertemu bunga mawar, kemudian aku bertanya kembali, duhai bunga mawar apakah nasehat yang bisa engkau sampaikan? Kenapa engkau selalu menghadap matahari? Aku adalah cermin jiwa yang selalu rindu cintaNya dan bau harumku mewakili niat ikhlasku memberikan cinta kasih kepada sesama.” Ya... sekelumit perjalanan yang harus mulai disadari oleh kita. Bukan hanya sekedar berbicara tentang kesuksesan, tapi niat yang lahir dari hati dan keikhlasan paling dalamlah yang menjadi penyatu dalam semua perbedaan. Termasuk bagaimana akhirnya kau mau mengizinkan aku untuk jauh darimu sayang.