Wednesday, August 24, 2011

Aksaramu


Aku merangkai aksara, kata-demi kata kehidupan. Merenungkan tentang kau. Kau wanita yang tak pernah takut dengan muntahan kata tragis bahkan dentuman nuklir sekalipun. Berjuta angkatan bersenjata mencuatkan peluru dan basoka, tidak membuat kau mengingat orang-orang yang jauh dan lupa dengan jasamu. Kau tak pernah gentar menghadapi debu dan perasaan yang mati sekalipun. Kadang emosi selalu membakarmu, tapi kau masih mampu meredam dengan kedinginan hati dan jiwa mengalahmu. Kau wanita yang tegar dengan sejuta impian. Sisi keibuanmu kadang meluluhlantakkan negeri yang sudah gersang. Tapi, kau juga kadang meledakkan mimpi berjuta orang karena kerasnya hatimu.
Kau terlihat menyembunyikan banyak rahasia. Hingga kini, dalam sakitmu, hanya tersisa sebuah derita kecil yang terlihat dari fisik. Mungkin jiwamu menyimpan banyak hal, yang aku tau, kau takkan mau menceritakan kelemahan hatimu kepada orang lain. Tapi, aku yakin kau punya niat baik untuk itu, betapa sempurna hatimu. Kau hanya ingin belajar menanggung akibat sendiri dari keputusanmu. Karena pada akhirnya segala bentuk dosa dan pemikiran adalah milikmu sendiri, dan kau tanggungjawabkan itu di hadapan sang Khalik. Entah sampai kapan, tapi aku yakin kau akan selalu mengenang jasa dan kebaikan orang lain dalam air sungai pengalaman ini. Kau tak akan pernah menghilangkan cinta dan rasa ceria orang lain dalam banyak hal. Sayangku, hanya berbeda dalam pemikiran, aku ingin berbagai cerita kau sampaikan kepada mereka yang melupakanmu. Sayangku, selamat beristirahat. Aku tahu gubug ini tak cukup membuatmu nyaman. Aku di sini, setiap detik menuliskan aksara namamu pada puisi, pada cerita pendek, bahkan pada novel yang tak kunjung rampung dan tak mampu membendung matamu.

” Kini aku merenung seperti bukit, menghayati riak bagai laut, menyapa angin seperti pepohonan, menunggu detik-detik senja dengan segala kepenatan matahari, lalu tenggelam di saat malam”




Aksaramu, Mulyani Hassan
Di laboratorium taksonomi hewan
Pkl. 10.16 WIB, 25 Maret 2011

Idealisme saya, idealisme aktivis low profile


Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat”, Antonio Gramsci (1891-1937)

Gerakan reformasi mahasiswa yang memelopori era orde baru, yang dulu mewujudkan citra pahlawan bagi mahasiswa, kini terungkap sebagai sebuah anarkisme (meskipun hanya karena ulah beberapa oknum mahasiswa).   Reputasi kepahlawanan berubah signifikan bagi pejuang pergerakan mahasiswa, yang kini dikatakan hampir mati suri.  Decak kekaguman mulai luntur, ketika mahasiswa berpekik kemerdekaan, sementara pengguna jalan memekikkan “mahasiswa pembuat macet jalanan”.  Alarm inilah yang harus diwaspadai oleh mahasiswa masa kini.  Agaknya, diperlukan suatu upaya lebih untuk membangkitkan kembali euphoria aksi cinta bangsa dengan cara yang lebih sederhana, rapi, dan elegan.
Ya, itu yang saya maksud.  Sebuah aksi yang justru harus memberikan harga lebih tinggi untuk Indonesia, di mata dunia.  Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjadi manusia berperestasi dan unggul untuk negeri ini.  Kata prestasi, tak selalu identik dengan adanya bukti piagam penghargaan.  Akan tetapi, prestasi yang saya maksudkan adalah apabila seseorang mampu memberikan “sesuatu”, membawa perubahan yang lebih signifikan untuk orang lain dan dirinya sendiri.  Hal tersebut dapat diwujudkan dengan menjadi aktivis yang low profile.  Itulah saya, dengan penuh kepercayaan diri, menawarkan sebuah gelar baru “aktivis low profile”.
Satu kenyataan bahwa banyak aktivis yang mengaku dirinya memiliki idealisme.  Hal tersebut belum bisa terbukti, apabila ia belum bisa menunjukkan pengabdiannya kepada masyarakat dan Negara. Banyak aktivis mahasiswa yang berbenturan dengan masalah akademik dan prestasi (misalnya, DO).  Maka, bagaimana idealisme mahasiswa-nya tidak dapat terbantahkan? Hanya sebuah omong kosong dengan teriakan idealisme di jalanan, apabila tidak ada kekuatan untuk para aktivis mempertahankan keseimbangan kehidupan. Tantangan inilah yang harus saya jawab.  Dengan memanfaatkan semua potensi menyongsong prestasi gemilang untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara.
Alangkah baik, apabila saya menjadi macan di segala bidang. Tak hanya menjadi orator, legislator, ataupun eksekutor, tetapi juga menjadi akademisi yang memberikan pengetahuan dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri sendiri dan orang banyak.  Saya memang aktif dalam lembaga kemahasiswaan dan ekstrakurikuler, baik di dalam maupun luar kampus.  Saya juga aktif sebagai pejuang lingkungan “lepas”.  Akan tetapi, saya juga belum pantas mendapatkan gelar “aktivis” karena saya belum bisa memberikan arti lebih untuk almamater dan bangsa.  Gelar tersebut sama tarafnya dengan gelar kebangsawanan, dan belum bisa saya pakai untuk seragam ini.
Akan tetapi, justru gelar yang saya kejar menjadi suatu kebanggaan ketika saya bisa mengharumkan nama orang tua dan bangsa.  Meskipun lahir dari rahim seorang ibu yang hanya ibu rumah tangga dan ayah seorang buruh, tapi saya yakin bisa membangun bangsa ini. Berasal dari sebuah gubuk  pinggiran kota kecil di tanah melayu, Bintan, Kepulauan Riau, saya menginjakkan kaki di Jakarta, tepat 15 Mei 2008, dengan bekal potensi berprestasi dan tak bermodal materi.  Saya terus melangkah mewujudkan mimpi sebagai seorang pemimpin dunia.  Seorang saintis yang menghargai perubahan sumber daya lingkungan sebagai suatu bencana yang akan memporak-porandakan dunia.  Seorang saintis yang dapat menghargai alam untuk dijaga demi generasi masa depan, agar masih terlihat ketersediaan air bersih, pangan, pepohonan, dan keindahan.  Saya yang kini, belajar penuh dari ambisi, kegagalan, kesedihan, dan kesendirian untuk mendapatkan gelar S.Si (sarjana sains), dengan penuh keterbatasan materi.  Tantangan untuk sukses dengan segala keterbatasan adalah takdir, takdir yang harus diubah menjadi secarik kertas yang penuh goresan kesuksesan. Karena saya yakin, status sosial, maupun ketidakmampuan finansial hanya sebuah aral kecil yang mampu saya patahkan dengan semangat dan tekad.  Belajar keras dengan memanfaatkan potensi diri, mengejar ketersediaan beasiswa, memiliki jaringan luas dengan berbagai kepanitiaan dan reputasi, cukup bisa diandalkan dan membuat diri ini dikenal oleh banyak orang. Semua harus saya lakukan, menghilangkan semua keterbatasan dan berucap satu kalimat, “Tidak ada kata menyerah dan pasrah dengan takdir!”
Hingga saat itu tiba, sebuah target kelulusan di 2011, untuk lulus tiga setengah tahun, akan saya gulirkan semangat ini hingga ke negeri Sakura untuk menuntut ilmu. Kelak, akan saya bangun sebuah Lembaga Swadaya Saintis, laboratorium Alam dan Pusat Konservasi yang dapat menyumbang saintis berkualitas internasional untuk memberikan pelayanan dan ilmu bermanfaat agar Negara menjadi lebih baik, sehingga kesejahteraan, kejujuran, kedamaian, dan kebaikan tumbuh dengan subur di Negara ini.  Agaknya, terlalu berlebih dengan semua impian itu, akan tetapi, saya yakin, KETIKA SAINTIS JADI PEMIMPIN, Indonesia akan menjadi lebih baik.  Semoga… aktivis low profile ini dapat memberikan yang terbaik untuk bangsa dan Negara.

Wednesday, August 17, 2011

ARTI KEMERDEKAAN


[Arti kemerdekaan] KEMERDEKAAN
Mulyani Hassan, 17 Agustus 2011

Harapku puisi ini dapat dibacakan di depan seluruh rakyat Indonesia! 
Nyatakan bahwa harga mati sebuah perjuangan lahir dari sebuah niat, “aku ada di sini, untuk mereka dan tegaknya NKRI!”

Kemerdekaan adalah bedil
Yang keluar dari selongsong senapan prajurit
Ia menukik menyambar musuh dengan kejam hingga mati
Dalam senyap ia mematahkan sayap-sayap kebohongan angin
Yang menyampaikan kabar bahwa kita sudah bebas dari belenggu
Dan ia akan jatuh lagi ke tanah setelah jasad itu merata
Dan terlunta terpendam hingga suatu saat ditemukan kembali sebagai arca museum yang kemudian dipertontonkan dengan bangga

Kemerdekaan adalah seorang wanita tua
Yang terseok-seok menuju perapian, menyalakan tungku
Membakar kayu-kayu kering hingga mengobarkan api
Kemudian nasipun matang dan wanita itu bersiap menuju ke sawah mengantarkan Panganan untuk sang suami yang menyiangi rumput liar di antara pepadian
Dan ia akan kembali membawa bakul kosong
Dan mencoba berpikir bagaimana ia mengisi bakul itu kembali sampai penuh
Yang kemudian dia menjahit menumbuk menganyam dan membangun lumbung

Kemerdekaan adalah lampu lalu lintas
Yang menyala-nyala saat ada listrik di ibukota
Yang tak terlihat ketika aku ada di pelosok sana
Ketika hijau semua orang lewat dengan lancar
Kemudian berganti kuning sebagai tanda kehati-hatian
Apalagi merah menyala, dan orang berhenti seolah dia adalah satpam
Tak jarang orang menerobos merahnya
Kemudian lampu itu teruse menyala hingga lisrik padam

Kemerdekaan adalah benih
Kelak ia akan jatuh dari singgasana pepohonan
Dan kemudian tumbuh menjadi pohon yang baru
Menumbuhkan dedauanan dan buah yang bisa dimakan oleh makhluk hidup lain
Tapi benih itu tak mampu tumbuh apabila tanah ini gersang dan tak berair
Lalu ia juga akan menyusut menciut teredam di bawah pepasiran
Hingga suatu saat ada air yang menyentuhnya
Kemerdekaan adalah bebas bencana
Yang tak luput dari bencana alam dan moral
Ketika ia membendung airmata dan nurani karena moral yang terkikis
Mengalami erosi dan abrasi stadium empat
Ingin membebaskan sampai tergilas dari kesombongan dan keniscayaan
Kemudian bencana itu harusnya luput dari semut yang ada di ujung hidung

Kemerdekaan adalah referendum
Sebuah kepastian yang menyatakan bahwa aku milik Indonesia!
Bukan milik para penjajah jati diri
Menjual aset bangsa hanya dengan harga milyaran rupiah
Kemudian referendu itu bisa saja pupus
Terbakar dan hangus karena mereka geram
Geram dengan kebodohan tulisan-tulisan dan keputusan yang tak berani tegas!

Lalu, mereka yang tadi malam aku temui
Sapardi Djoko Darmono sang pelantun semangat kemerdekaan! 
Taufik Ismail dengan tetes airmata membacakan preambule UUD 1945
Idris Sardi sang maestro biola yang memainkan 12 lagu kebangsaan atas nama Tuhan
Saksi-saksi perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaan itu,
Bimbang dengan arti kemerdekaan bagi negeri saat ini!

Generasi kali ini adalah generasi bimbang
Bimbang mau jadi apa bangsa ini ke depan
Bimbang mau dididik apa anak-cucu mereka
Bimbang apakah negara ini akan ambruk atau tetap berdiri megah
Akhirnya, hanya berpaku untuk menyiaokan dirinya sendiri menghadapi hidup layak
Makan tiga kali sheari dan kenyang dengan fasilitas tanpa melihat ada apa di bawah sana.... mereka takut, takut untuk susah!
Sementara yang susah, takut untuk mati kelaparan!
Mereka bimbang rumah kardus mereka akan digusur,
Maka mereka hanya bisa mengcrek di tengah jalan 
Berharap ada sesuap nasi disuguhkan ketika mereka mengemis!

Sebuah pertanyaan gila yang menyesakkan
Mau dibawa ke mana bangsa ini? 
Setelah arti kemerdekaan tak lagi mewacanakan paripurna kemerdekaan nasionalis
Lalu, dulu harga perjuangan diukur dengan seberapa besar ia mengabdi dan membangun bangsa,
Akhirnya dengan lungsuran peluru-peluru menembus ubun-ubun mereka
Tapi kini, harga perjuangan hanya diukur dengan materi
Kemegahan bangunan,
Nyamannya ruanag ber-AC
Berpestapora di atas kelaparan rakyat
Membuang sampah di halaman rumah rakyat
Membangun apartemen megah dan fasilitas gedung kerja
Membeli pesawat pribadi bahkan pulau
Menjual tanah air sendiri mengatasnamakan perdamaian
Aaaaakh.....aku tak boleh hanya menggerutu... kalau begitu....

Masih adakah arti sebuah kemerdekaan?


-Lahir dari suara hati rakyat kecil-

Saputangan Biru dari Raja Ampat

Saputangan Biru dari Tanah Raja Ampat


“Kini tiba saat kita kan berpisah
Berat hati ini lepaskan dirimu
Air mata tumpah mengenang budimu


Gunung dan tanjung terpele, wajahmu terpilih
Terbayang senyum manismu hancur hati ini
Sapu tangan biru kini basah sudah
Berpisah lewat pandangan bertemu dalam do’a”


Dua bait lagu itu selalu terngiang sejak aku mengangkatkan kaki dari tanah Asukweri, Waigeo Utara, Raja Ampat. Ah, tanpa sadar airmata berlinang mengenang syair ini. Deretan kata sederhana yang dilontarkan oleh bapa-bapa. Wajah-wajah keras dan legam mereka tak menutupi keikhlasan dan kesucian hati untuk tak sekedar mengucapkan terima kasih. Kulit bisa hitam, tapi hati mereka sangat putih. Lebih dari itu, sentak kami yang datang dengan tangan-tangan hampa, kini ketika akan pulang, diberikan sepucuk sapu tangan biru sebagai tanda bahwa kami adalah keluarga yang sangat dicintai tanah ini.
Bermodalkan gitar-gitar tradisional dan kepiawaian bernostalgia ala tanah papua, mereka menggetarkan hati dengan tetesan airmata. Tetesan airmata yang mengiringi rentak kaki. Rentak kaki kebersamaan. Rentak kaki yang serentak melingkari sang pemain musik. Rentak kaki yang akan segera meninggalkan tanah ini. Detik-detik ini, bahkan sebuah lagu adat mengantarkan kami untuk pulang--kembali ke tapal batas ibukota--dihaturkan dari bapak tetua kampung. Tak mahal memang, hanya sebuah lagu. Lagu yang berisi do’a dan cerita untuk sang anak. Seorang anak yang diharapkan dapat mengubah nasib bangsa. Seorang anak yang kelak akan membesarkan nama bangsanya di tanah orang. Dan tete-nene akan bercerita tentang kami pada cucu-cucu mereka, sang perantau yang dikasihi. Pada sebuah madah cinta, mereka mengukirkan nama kami satu per satu dalam hati. Tampaknya tak ada buah tangan, hanya sebuah sapu tangan. Sapu tangan biru, ya sapu tangan biru.
Kini, seminggu setelah tiba di Depok, aku hanya bisa termenung dan diam. Di balik megahnya masjid dan perpustakaan pusat UI, serta danau yang sudah mulai bersih, aku hanya bisa mengingat secuplik dari kisah itu.


***
Selasa, 26 Juni 2011


Berawal dari kumpul warga, di kediaman Kepala Badan Musyawarah Kampung, pertama kali aku dipanggil kaka oleh nene Ana. Nene yang menjadi istri kepala badan musyawarah kampung, tete Joni Wanma. Ya, nene-tete sebutan untuk kakek-nenek di tanah ini. Pertama kali aku disapa oleh masyarakat adat dengan kesantunan mereka. Pertama kali aku menyaksikan kearifan lokal yang menyejahterakan mereka sendiri. Pertama kali aku merasakan sejuknya air sumur di tanah berkuarsa saat meminumnya. Pertama kali aku melihat budaya masyarakat yang tak beralas kaki. Pertama kali aku menyadari bahwa syukur itu datangnya dari kebersamaan dalam kesempitan, bukan karena ada sinyal ataupun listrik dan bahan bakar serta kemegahan gedung-gedung dan alat transportasi. Pertama kali aku paham bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat patuh dengan orang tua, tanpa mengatakan Akh. Karena mereka telah mengajarkan aku banyak hal.
Pulang dari tanah ini, aku bisa menyalakan tungku dan memasak dengan kayu bakar. Yah, memang membuat mata perih saat asapnya menghinggapi mata, tak pelak pakaianpun beraroma asap. Tak hanya itu, meskipun tanganku menjadi kasar karena harus menimba air setiap hari, kulit menghitam karena harus menemani adik-adik main di pantai setiap hari, hubungan terputus karena tidak ada sinyal, malam-malam bermodalkan lilin karna tak ada listrik, siang hari terpanggang teriknya matahari saat melaksanakan program. Semua tak mengalahkan semangatku dan rasa syukurku bisa mengenal mereka. Akan terkenang selamanya.


Selasa, 17 Mei 2011


Dari kamar ini, aku bermula. Bermimpi untuk memberikan sinar bagi satu rasa atas tegaknya NKRI. Perjalanan yang hanya sekelibat mata, tapi pengalaman hidup yang luar biasa. Awalnya aku ragu dengan keputusan meninggalkan penelitianku yang di depan mata. Bahkan pembimbing saja sempat sinis memberikan pilihan, “K2N atau penelitian?”. Bahkan ibuku yang sudah setahun tak bertemu karena jauh di Bintan, sempat sinis juga memberikan pilihan, “K2N atau melepas rindu dengan ibu di rumah?”. Bahkan seminar ilmiah nasional sempat menggaungkan, “K2N atau presentasi oral hasil penelitian di Yogyakarta?”. Banyak bahkan yang lainnya, yang membuat aku dilematis untuk memberikan keputusan “Tribute to K2N UI 2011, sebuah harga mati bagi tegaknya NKRI dari titik perbatasan!”.
Akhirnya, aku sadari bahwa lulus 3,5 tahun tak jadikanku apa-apa, yang memaksakan penelitianku harus selesai semester ini. Bertemu dengan ibu masih bisa dilakukan saat pulang nanti. Berkiprah sebagai peneliti yang berkoar di atas podium masih ada pada kesempatan yang lain. Tapi, mengabdi di daerah perbatasan, tak bisa kutunda hingga saat-saat mendatang. Karena sejatinya, saudara kita di perbatasan belum merasakan tegaknya NKRI. Adalah suatu kegentingan, ketika aku harus memilih untuk melanjutkan perjuangan ini. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tepat 17 Juni 2011, nomor pokok mahasiswa [0806315553] disebut sebagai 1 dari 5 peserta yang terancam gagal diberangkatkan ke tanah pengabdian. Ah, tak jadi soal untuk itu. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Ketika keletihan dan ketahanan fisikku harus menghujam di ujung pembekalan fisik dan mental ARMATIM Surabaya, aku masih bisa tersenyum. Ingat sekali hari itu, aku disuguhi 2 botol infus dan satu jam diselang oksigen. “Tak sadar dengan kemampuan jasmani sendiri”, mungkin kalimat itu yang sesuai dilontarkan karena aku akhirnya pingsan di tepi kolam renang. Hehehehe, ingin saja tertawa, menertawakan diri yang tak sempurna ini.


Tapi, Allah Maha Bijak, kehadiran pajuang-pejuang TNI di depan wajahku, malah membuat aku makin yakin. Aku bisa mengalahkan segala penyakit yang bersarang di tubuh ini. Dari barak di mana aku terbaring setelah bertarung dengan hipotermia, aku beranjak. Semangatku harus pulih, jiwaku harus bangkit dari menjadi manusia lemah. Hari ini mungkin aku gagal karena kondisi fisik dan penyakitku. Tapi aku tak boleh menyerah demi melihat senyum mereka yang di perbatasan. Tak pelak pada satu hari berikutnya, aku bisa melewati pelatihan sea survival yang diberikan pelatih dari komando pasukan katak (KOPASKA) tercinta, meskipun jasmani ini berteriak bahwa aku tak mampu. Semangat bertemu saudaraku di perbatasan adalah sebuah harga mati yang menggugurkan semua ketidakmampuan fisik.
Aha, akhirnya setelah 7 hari berada dalam asuhan TNI di ARMATIM, dengan bekal yang sungguh luar biasa, aku melanjutkan perjalanan ke tanah pengabdian. Saat itu, semangatku hanya ada karena satu hal, yakni bertemu dengan mereka di tanah Waigeo Utara. Aku tak melihat siapa yang ada di timku, aku tak melihat berapa banyak bekal yang kubawa, dan aku tak melihat betapa berat medan yang harus dialui dengan kondisi fisik seperti ini. Satu hal yang kuingat, “Aku ada di sana untuk mereka, karena aku mencintai mereka apa adanya”.
***


Maghrib hampir tiba, dan aku harus pulang karena akan berbuka puasa di kosan hari ini. Tapi, hati tetap mengingatnya....


Selasa, 21 Juni 2011






Selamat datang di Bandara Domine Edward Oso, Sorong, Papua. Setelah 4 jam perjalanan dari Surabaya, ingat sekali waktu itu berangkat pukul 23 WIB, transit di Makasar hingga pukul 3 WITA, dan kini tiba di Papua tepat pukul 8 WIT. Subhanallah, aku berhasil melintasi Waktu Indonesia sampai ke timur. Tak ada yang istimewa di bandara ini, hanya sebuah bandara kecil yang sepi. Tapi, sedikit canggung melihat manusia-manusia berkulit hitam dan terlihat sangar. Hanya saja, kebaikan dan keramahan mereka membuatku memutar anggapan sejauh 180 derajat. Mereka tak seseram yang dibayangkan.
Satu hal indah saat di perjalanan ketika satu timku merapatkan barisan dan saling membahu mengangkat barang keperluan program yang sangat berat dan banyak. Mereka adalah orang-orang terpilih, tak pelak sang porter bandara hanya melihat tenaga kami yang sangat besar, 19 orang handal secara estafet mengangkat barang ke truk pengangkut barang. Ketika porter-porter di bandara lain hanya bisa menggerutu karena tak kami gubris tawarannya, justru para porter di bandara ini tersenyum dan menyemangati kami untuk mengangkut barang ke atas truk. Ya, dengan truk itu pula kami menuju rumah dosen pembimbing yang jauhnya hanya 5 menit dari bandara.
Cukup sudah, istirahat sejenak kemudian kami segera angkat kaki....tiba-tiba berita bahwa baru jam 2 siang ada kapal yang berangkat ke Waisai. Pertanyaan pertama, kenapa harus berangkat ke Waisai? Kenapa tidak langsung ke Kabare, lokasi kami mengabdi. Sampai akhirnya terjawab sudah, “su su... kalian tarra bisa berlayar karna angin kencang. Torang harus di Waisai sampai ada kapal ke Kabare dan angin menyimpan”, ujar kaka Ritha kepadaku. Kaka Ritha Mambraku adalah asisten dosen pendamping. Beliau adalah wanita luar biasa yang selalu membantu kami selama program berlangsung. Sejenak aku berpikir apa artinya. Kira-kira begini, kami tidak bisa berangkat karena angin kencang di laut. Kita harus tetap di Waisai sampai ada kapal ke Kabare dan angin tenang. Memang, hanya kapal perintis yang bisa mengangkut kami ke lokasi. Karena mempertimbangkan keselamatan diri dan barang-barang bantuan yang dibawa. Sebenarnya, ada kapal lain seperti jonson dan kapal cepat, perahu motor yang ukurannya muat untuk 10 sampai 20 orang. Akan tetapi, cuaca sangat buruk sehingga kami harus bertahan satu minggu di Waisai. Sedikit bercerita tentang Waisai, ibukota kabupaten Raja Ampat. Terletak di Waigeo Selatan, meskipun ibukota, tapi kabupaten ini masih sangat perawan. Tidak ada pusat perbelanjaan, tidak ada gedung tinggi, cuma ada satu traffic lamp di dekat pos kepolisian, dan satu pasar tradisional. Warung internet? Tak banyak, tapi cukuplah, dengan harga mahal sekali, harus merogoh kocek 10 ribu rupiah untuk 1 jam online.
Kata abang Joe, seorang pemilik warnet lulusan sistem informasi di salah satu universitas swasta di Bandung, keberadaan warnet di sini untuk menunjang kegiatan pemerintah daerah akan akses informasi. Warnet di sini juga bantuan dari pemda dan ia mendapatkan dana bantuan, sehingga per bulan ia hanya menyetor 7 juta rupiah. Mungkin terdengar murah (untuk seukuran harga Papua), tetapi harga itu sangat mahal dibandingkan pemasukan. Bayangkan saja, dari 4 jam mungkin hanya 2 sampai 3 orang yang menggunakan akses internet, dengan durasi 2 sampai 3 jam. Yah, mungkin hanya 3 juta penghasilan per bulan. “Jadi bayar sisanya darimana bang? Ya, biasanya saya objekin ini untuk pelatihan anak-anak sekolah, lumayan pendapatannya”, aku hanya bergumam dan terdiam sejenak.
Bagaimana kalau mau print atau fotokopi? Hm, tak mahal memang, print hitam putih hanya 1500 rupiah dan fotokopi 300 rupiah, itu harga per lembar. Sempat, sedikit menyesakkan ketika kami harus menghabiskan 600 ribu hanya untuk ngeprint 60 halaman dan fotokopi 600 halaman. Tapi, semua itu tak jadi masalah, masih bisa diatasi dengan dengan senyum dan sabar.
Hingga satu minggu sudah, kami baru bisa berangkat ke lokasi. Menyusuri pantai pesisir yang berbatasan langsung dengan samudera pasifik. KM Raja Ampat 1, yang telah beroperasi sejak tahun 1980-an, kini kami tumpangi dengan gagah. Penuh sesak di dalam kabin penumpang hingga menggeser kami ke dek kemudi kapten kapal. Isinya adalah warga distrik dan pulau-pulau di sekitarnya serta barang-barang langka di pulau, yang dibeli dari kota Sorong atau Waisai. Bapa-mama sangat ramah, selalu tersenyum dan menyapa saat kami melewati mereka-meskipun tak satupun mengenal kami-. Suatu kearifan luar biasa yang tak pernah kudapat di kota besar. Ya, itu yang membuat aku senang dengan masyarakt Papua.
Perjalanan ditempuh selama 18 sampai 24 jam ke lokasi (Kabare, ibukota Distrik Waigeo Utara). Kapal ini sudah terlihat terlalu tua, bahkan baling-balingpun tinggal satu hingga hanya bisa melaju 4-6 knot. Maka tak heran, kapal cuma bisa ada dua pekan sekali. Lamanya perjalanan tak terasa karena kami dapat menikmati indahnya surga dunia Raja Ampat. Berjam-jam kami disuguhi oleh alunan air biru bening dari pantulan langit, sesekali gerombolan lumba-lumba berlompat-lompatan, elang-elang dan rangkong terbang kemudian menukik menyambar ikan-ikan di permukaan laut, ikan-ikan terbang berlomba-lomba mengepakkan “sayap”, dan pelangi di antara pulau-pulau tersenyum, serta angin laut membahana, sungguh mendinginkan hati dan pikiran. Seolah semua letih dan keluh kesah hilang tanpa beban.
Perlahan signal mulai menghilang dan kamipun terbuai dengan indahnya laut Raja Ampat. Hingga malam menyapa, dan kami dihibur oleh hamparan bintang-bintang seperti pasir putih di balik gelapnya langit. Sekali-kali bintang-bintang itu jatuh dengan indahnya dan ada harapan besar yang terselip di antara kalimat kagum ini, Allah akan melindungi kami, anak-anak pengabdi bagi negeri. Tibalah pukul 4 pagi tanggal 27 Juni 2011 di tanah Kabare, Distrik Waigeo Utara. Kupandang alam subuh ini, tak ada adzan.... kemudian kami mencari, ternyata ditemukan sebuah masjid. Masjid satu-satunya di tanah ini. Beriringan menuju pendopo, ketika kewajiban wudhu dan sholat mulai ditunaikan....


Sebuah rasa syukur mengalir dan mutiara hitam dari tanah Raja Ampat dialunkan dengan merdu....


“Nuansa alam tersenyum damai
Saksikan kejujuran dua hati
Mengucapkan kata menyatukan cinta di 
Pulau Raja Ampat
Terkenang takkan terlupa
Kebahagiaan di tempat yang indah
Rasa damai membasuhi jiwa,
Kudapat bersamamu 
Oh... sang cinta
Kan selalu ada selalu terjaga
Di dalam setia ini
Takkan dapat tergantikan seperti makna indah Raja Ampat
Jiwa ini raga ini hanyalah milikmu
Jangan pernah tinggalkan aku,
Karna aku ingin selalu bersama denganmu
Jangan pernah engkau tinggalkan aku,
Karna engkau mutiara hati
Yang takkan terlupa”


***
Selasa, 19 Juli 2011


Akhirnya, tiba di Waisai kembali. Dalam keadaan setengah sadar, lambungku tak mampu membendung HCL berlebih, penyakit ini hanya menganggu hari-hariku di sini. Tapi, tetap dengan semangat yang konsisten dan keluarga baruku di tim K2N Raja Ampat, aku menjadi manusia yang sangat kuat. Bahkan dalam menerima kenyataan bahwa perjuangan kami di tanah Waigeo, harus terputus di tengah jalan. Mengapa aku bilang begitu? Semula direncanakan kami akan menyelesaikan program tepat tanggal 24 Juli, tapi apa daya, karena alasan transportasi, maka panitia harus memaksa kami pulang 10 hari lebih cepat dari rencana. Tak pelak, semua program yang disusun tak bisa dilaksanakan.
Ah, bukan hanya kecewa yang terasa. Tapi lebih dari itu, sebuah tanggungjawab moral kepada masyarakat Waigeo, di mana janji-janji pertemuan kami, janji-janji pelatihan kami, janji-janji diri kami untuk membuka cakrawala masyarakat kampung di Waigeo, kini harus pupus. Betapa besar harapan mereka, kami datang dengan informasi dan ilmu, yang tak mungkin didapatkan dari pemerintahnya sekalipun. Betapa besar keinginan mereka untuk bersama-sama kami membangun masyarakatnya, mengembangkan potensi sumber daya alam dan manusianya, melalui cerita dan cara saling berbagi, meskipun hanya sebentar.
Hari-hari kami lewati dengan menghabiskan waktu bersenda gurau, bermain, dan belajar bersama anak-anak di tanah Asukweri. Melalui program rumah kreatif maupun bermain di alam, secuplik cara untuk mengakrabkan diri dengan keindahan pantai Raja Ampat. Setiap hari, pemandangan akan anak-anak tanpa alas kaki, wajah-wajah legam dan berpasir mereka tertutupi rambut yang keriting menjuntai, bibir-bibir mereka dipenuhi pasir, sambil bermain mereka menggendong adiknya yang kumal karena tak berbaju dan beringus. Ah, ciri itu membuat aku senang, karena kami di sini untuk memeberi perubahan. Sedikit demi sedikit mereka mau diajak mencuci tangan, menggosok gigi, mandi, dan memakai baju rapi setelah pulang dari kebun.
Mama-mama yang pintar memasak, memberi kami ilmu dalam membuat papeda, shinole, dan tomboe. Makanan apa itu? Panganan dari sagu, kasbi (singkong), dan kelapa parut. Yang kini mulai tergerus zaman, karena pemerintah berhasil mem-beras-isasi nusantara. Ternyata, mereka sudah hanya memakan beras, dan sekali-kali memakan sagu. Tak lepas dari itu, mama-mama tiap hari bertani membantu suami. Bapa-bapa cuma melaut dan mencari ikan untuk makan sehari-hari.


Lamet dan kasbi bakar
Shinole basah




Papeda dan ikan bumbu putih


Dan itu sudah membuat mereka sejahtera, dengan tanah Tuhan, dengan kearifan lokal, mereka sejahtera. Apa yang kami lakukan di sini? Tak boleh kami merubah adat tanah ini, kami hanya menyampaikan informasi bagaimana hidup bersih dan sehat, bagaimana mendidik anak cacat, bagaimana membangun semangat anak-anak untuk bersekolah, bagaimana membuat makanan yang bisa dijual, dan bagaimana mereka mau mengembangkan sumber dayanya dengan tangan sendiri. Bukan dari proyek atau perusahaan yang hanya akan menguntungkan segelintir konglomerat. Sederhana memang, tapi mereka membalas dengan harga yang luar biasa.
Pelayanan yang memuaskan dari masyarakat, setiap hari disuguhi ikan segar hasil melaut, kasbi (singkong), kayu bakar, sayuran, sekali-kali datang seorang anak membarter nanas dengan gula atau beras. Dan sekali lagi, mereka mengajarkan tolog-menolong tanpa batas. Pernah suatu hari, dalam keadaan lelah, kami tiba di penginapan dengan rumah sangat bersih dan rapi, serta makanan tersedia di atas meja. Yang ternyata, mama Peter dan keluarga yang membantu kami. Ah, luar biasa masyarakat ini. Mana bisa aku temukan mereka di kota besar, bahkan tempatku lahir sekalipun. Meskipun pendidikan mereka terbatas sampai SD, SMP, atau SMA dengan tenaga pengajar yang tak mumpuni, tapi mereka tau bagaimana menghargai, jujur, dan hidup sederhana serta saling menolong. Mereka tak butuh guru matematika, fisika, ataupun biologi, untuk memahami hukum aksi reaksi dalam hubungan fisik maupun rohani. Adat gereja yang kental, meskipun 100% beragama protestan, tapi toleransi yang kuat kepada kami, yang membuat rumah penginapan ini memiliki mushola, juga satu hal luar biasa. Ya luar biasa... kemudian suatu saat aku dan mereka akan kembali bertemu tak hanya dalam do’a.

Sapu Tangan Biru Buah Tangan dari Asukweri


Mungkin kali ini aku tak bisa tersenyum dengan mereka
Karna aku harus melanjutkan hidup di medan lain
Tapi, satu hal...
Harga mati untuk sebuah pengabdian bukan terletak pada apa yang ingin diberikan, tapi terletak dari sebuah tekad, bahwa,
“Aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku ada di sini. Ada untuk mereka, karena aku mencintai mereka apa adanya”.

-Sebuah kalimat yang lahir atas nama Allah SWT-
Sudah bedug, dan aku harus berbuka puasa...



Assesment di Asukweri

Penyuliuhan kesehatan di SMPN 3 Kabare




Bermain di Pantai Asukweri