Thursday, May 27, 2010

Studi Adaptasi Perilaku Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae. Pocock 1929) di Penangkaran Ex-Situ, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan

MULYANI (0806315553)

Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia, Gedung E. FMIPA UI Depok, Jawa Barat 16424
Tim Pengamatan Lapangan Ekofisiologi Hewan, FMIPA Universitas Indonesia

Email: mulyani81@ui.ac.id


Abstrak

Panthera tigris sumatrae merupakan subspesies P.Tigris yang tersisa di Indonesia. Subspesies tersebut terdistribusi hanya di Pulau Sumatera. Status critically endangered menyebabkan P.tigris sumaterae dikonservasi secara ex situ. Maka dari itu, dilakukan program penangkaran di kebun binatang atau suaka margasatwa, salah satunya adalah Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Studi bertujuan untuk mengamati bentuk adaptasi perilaku dan faktor-faktor yang memengaruhi adaptasi P.tigris sumatrae di Ragunan, kemudian dibandingkan dengan literatur. Studi menggunakan metode all sampling occurrence selama 120 menit pada hari Sabtu 15 Mei 2010, studi literatur, dan pengukuran faktor fisik lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 4 ekor P. tigris sumaterae mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan penangkaran.
Populasi P.tigris sumatrae yang diamati terdiri dari 2 jantan dan 1 betina dewasa, serta 1 jantan juvenil berusia 5 bulan. Panthera tigris sumatrae dewasa berperilaku duduk tenang, berbaring, menjulurkan lidah, berjalan keluar-masuk “sarang”, dan melihat pengamat. Juvenil berada di luar kandang, bermain dengan pengunjung, menggigit handuk, dan duduk tenang. Juvenil lain sedang direhabilitasi di pusat nursery karena sedang sakit. Studi literatur dan pengamatan memperlihatkan bahwa keempat individu P.tigris sumatrae memiliki perilaku yang berbeda dengan P.tigris sumatrae wild. Hal tersebut merupakan adaptasi perilaku P.tigris sumatrae terhadap perubahan faktor lingkungan di luar habitat alami.

Keywords: Panthera tigris, ekologi, adaptasi, dan penangkaran ek situ.




Pendahuluan

Indonesia memiliki tiga dari delapan subspesies harimau (Panthera tigris) yang ada di dunia. Tiga subspesies tersebut telah dikategorikan punah di alam. Tiga subspesies terdapat di Indonesia, yaitu harimau Bali (P.tigris balica) punah tahun 1930-an (Ramono & Santiapillai, 1994), harimau Jawa (P.tigris sondaica) punah tahun 1980-an, dan harimau Sumatera (P. tigris sumatrae)( Seidensticker dkk., 1999). Harimau Sumatera (P. tigris sumatrae) merupakan satu-satunya subspesies harimau yang masih bertahan hidup di Indonesia (Hutajulu, 2002).
Subspesies P. tigris sumatrae memiliki adaptasi spesifik terhadap habitat asli. Habitat asli memiliki ketinggian hingga 2000 m dpl., pada hutan primer ataupun sekunder (Shepherd & Magnus, 2004). Berat badan individu mencapai 140 kg untuk jantan dan 90 kg untuk betina (Mazak, 1981; Richardson, 1992). Keadaan populasi wildlife diperkirakan antara 400-500 ekor (Shepherd & Magnus, 2004). Meskipun demikian, catatan IUCN Red List disebutkan hanya 250 ekor di alam liar, dengan satu kelompok tidak ada yang lebih dari 50 ekor individu dewasa (Nowell et al., 2003).
Menurut IUCN (2006), P. tigris sumatrae telah dikategorikan dalam status “critically endangered”, yaitu kategori tertinggi dari ancaman kepunahan. Pemerintah Indonesia telah melindungi subspesies tersebut, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dengan demikian, upaya-upaya konservasi baik secara in-situ maupun secara ex-situ dalam bentuk penangkaran telah menjadi bagian dari strategi penyelamatan (IUCN, 2003).
Upaya konservasi ex situ dilaksanakan untuk mempersiapkan breeding stock sebagai antisipasi apabila spesies tersebut mengalami kepunahan. Jumlah subspesies P.tigris sumatrae di penangkaran ex situ mencapai 371 ekor hingga tahun 2007 (IUCN, 2006). Penangkaran direalisasikan salah satunya di Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Studi bertujuan untuk mengamati bentuk adaptasi perilaku, faktor-faktor yang memengaruhi adaptasi perilaku P.tigris sumatrae di TMR, kemudian membandingkannya dengan literatur.


Metode

Studi menggunakan metode all sampling occurrence tehadap 4 individu P. tigris sumatrae di penangkaran ex situ, di TMR Ragunan. Pengamatan berlangsung selama 120 menit, sejak pukul 09.00—11.00 WIB, pada hari Sabtu, 15 Mei 2010. Pencatatan dilakukan terhadap aktivitas dan perilaku keseluruhan individu dalam populasi. Populasi yang diamati terdiri dari 2 jantan dan 1 betina dewasa, serta 1 juvenil jantan “Puji”, yang berusia 5 bulan.
Pengukuran faktor-faktor fisik lingkungan juga dilakukan, yaitu cuaca dan suhu. Studi literatur terkait adaptasi P. tigris sumatrae di penangkaran ex situ dilakukan untuk membandingkan hasil pengamatan dengan literatur.





Hasil dan Pembahasan

Panthera tigris sumatrae yang diamati memiliki karakter khas, (1) warna paling gelap di antara semua subspesies P. tigris, yaitu kuning kemerahan hingga kuning pucat, (2) loreng hitam dan putih merupakan ciri utama; loreng bervariasi dalam jumlah, ketebalan, dan cenderung terpecah menjadi totol-totol, (3) belang P. tigris sumatrae lebih tipis daripada subspesies lain, (4) garis hitam di atas mata simetris, tetapi penampakan wajah dari kedua sisi bisa saja berbeda, (5) tidak ada dua P. tigris sumatrae memiliki penampakan yang sama; jantan mempunyai kerut lebih mencolok, (6) terdapat selaput di sela-sela jari sehingga P. tigris sumatrae mampu berenang cepat (Shepherd & Magnus, 2004). Hal tersebut sesuai dengan pengamatan di lapangan.
Faktor fisika yang diukur dan diamati adalah temperatur dan cuaca. Temperatur berkisar 36--37oC, dengan cuaca cerah dan sedikit intensitas cahaya matahari. Cuaca tidak terlalu panas. Temperatur dan cuaca tidak berbeda signifikan dengan habitat asli (36—38oC). Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor fisik tidak berpengaruh di penangkaran, dengan syarat masih sesuai dengan habitat asli.
Menurut Richardson (1992), kondisi cuaca panas akan membuat subspesies tersebut berendam dalam air danau atau kolam. Sebaliknya, dalam cuaca dingin subspesies tersebut akan mencari tempat perlindungan yang hangat seperti gua. Hal tersebut selalu bergantung kepada fluktuasi suhu pada habitat. Habitat asli berupa hutan tropis dan dekat dengan sungai atau danau (riparian) (Shepherd & Magnus, 2004).
Kondisi lingkungan penangkaran TMR Ragunan disesuaikan seperti habitat asli, yaitu berupa kandang dengan daratan hutan tropis kecil yang dikelilingi air tergenang. Kondisi TMR selalu teduh, maka P.tigris sumatrae tidak pernah berendam di air. Populasi P. tigris sumatrae yang diamati terdiri dari 2 jantan dan 1 betina dewasa, serta 1 jantan juvenil berusia 5 bulan.
Selama pengamatan, 2 jantan P.tigris sumatrae dewasa hanya berjalan secara bergantian keluar-masuk “gua”, kemudian duduk tenang di samping riparian. Beberapa kali hewan tersebut melihat dengan tajam ke arah pengunjung, kemudian menjulurkan lidah dan melirik ke kanan--kiri. Perilaku yang diperlihatkan merupakan aktivitas normal dan pola istirahat (Hutajulu, 2002). Perilaku tersebut terjadi secara rutin, karena individu telah diberi makan daging atau ayam, di pagi hari.
Subspesies P. tigris sumatrae hidup soliter, kecuali pada betina dan anak (juvenil). Jantan hanya bergabung dengan betina ketika akan kawin. Maskipun demikian, jantan dapat mengasuh anak pada waktu tertentu (Mazak, 1981; Richardson, 1992) dan dapat berburu secara berkelompok.
Pemberian makan di penangkaran merupakan kompensasi dari tidak adanya perburuan oleh P.tigris sumatrae yang ada di penangkaran. Hal tersebut sangat berbeda dengan kehidupan P. tigris sumatrae di alam. Perburuan makanan berupa daging merupakan adaptasi subspesies tersebut sebagai karnivora (Shepherd & Magnus, 2004).
Perburuan mangsa berlangsung pada pagi dan sore, serta siang hari pada kondisi tertentu. Perburuan dimulai dengan cara mengintai, mengejar, berdiam diri, dan mencengkeram prey (Dinata & Sugardjito, 2008). Prey tersebut adalah semua hewan dengan semua ukuran, yang ada dalam habitat. Range berat daging prey yang dapat dimakan P. tigris sumatrae berkisar 18—40 kg per sekali makan. Perburuan prey yang berukuran besar dilakukan seminggu sekali (Hutajalu, 2002). Sarang akan ditinggalkan ketika telah berusia 2 minggu, masa berburu dimulai pada usia 6—18 bulan, hingga mandiri di usia 2 tahun. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi pada populasi P.tigris sumatrae di TMR. Namun, populasi masih dapat bertahan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan adaptasi berlangsung baik, yang disertai dengan perawatan intensif dari penangkar.
Satu ekor betina P.tigris sumatrae berada pada kandang terpisah pada area yang sama. Hal tersebut dilakukan oleh penangkar untuk mengontrol perkawinan. Menurut Semiadi (2002), catatan International Tiger Stud Book, perkawinan hewan mamalia yang terjadi di penangkaran merupakan perkawinan terkontrol. Artinya, pencampuran dan pemisahan jantan dari betina dilakukan berdasarkan keputusan penangkar, tetapi tidak ada harimau yang tinggal selamanya secara berpasangan. Hal tersebut dikarenakan adanya pembatasan perkembangan populasi untuk menghindari perkawinan inbreeding pada populasi yang sangat kecil (Semiadi dkk. 2006). Betina dewasa tidak diamati lama, karena berada di kandang yang lebih kecil dan sedang beristirahat.
Juvenil yang berusia 5 bulan, yaitu “Puji” sedang berada di luar kandang untuk diajak bermain oleh pengasuh. “Puji” selesai dimandikan dan diberi makan oleh pengasuh. Menurut pengasuhnya, “Puji” selalu diajak bermain setelah mandi. Hal tersebut dilakukan untuk menjinakkan dan membiasakan dengan kondisi lingkungan sekitar.
“Puji” telah memiliki pola adaptasi dan perkembangan yang cukup baik. Hal tersebut diperlihatkan dengan perilaku bermain, menggigit, dan mencakar. Hal yang dilakukan adalah bermain mengeliling kaki pengasuh, menggigit handuk, dan mempertahankan handuk tersebut ketika akan diambil. Apabila didekati oleh banyak pengunjung, “Puji” akan memilih untuk diam. Hal tersebut terjadi karena kecenderungan “Puji” mempertahankan “mainannya” sebagai perilaku normal anak P. tigris sumatrae.
Ada satu hal yang menarik ketika “Puji” melihat pengunjung menjauh karena takut. “Puji” akan memilih untuk mengejar pengunjung yang menjauhinya karena takut. Hal tersebut dilakukan karena ia menganggap sang pangunjung sedang mengajak bermain-main. “Puji” juga lebih memilih untuk mendekati pengunjung yang ada di dekatnya. Hal tersebut berbeda dengan kondisi di alam.
Panthera tigris sumatrae masih dalam masa menyusui pada usia 5 atau 6 bulan (Semiadi dkk., 2006). Namun, “Puji” tidak lagi menyusui, asupan makanan berupa daging sapi dan ayam telah diberikan sejak usia 1 bulan, sehingga ibu “Puji” tidak lagi menyusui dan berada pada kandang yang terpisah dengan “Puji”. Menurut informasi pengasuh “Puji”, juvenil jantan lain, bernama “Wati” sedang berada di nursery karena sakit.
Meskipun sebagian besar perilaku P. tigris sumatrae di TMR berbeda dengan di alam, akan tetapi hal tersebut diikuti oleh proses adaptasi dan perawatan yang baik di penangkaran. Hal tersebut akan membuat subspesies tersebut terselamatkan dari kematian yang cepat. Kematian P. tigris sumatrae tersebut, di alam, dapat disebabkan oleh kehilangan kelompok, kebakaran, banjir. Kehidupan dapat berlangsung selama 15 tahun di alam liar dan 20 tahun di penangkaran (Dinata & Sugardjito, 2008).


Kesimpulan

Studi literatur dan pengamatan memperlihatkan bahwa keempat P. tigris sumatrae memiliki perilaku yang berbeda dengan P. tigris sumatrae yang ada di wildlife. Hal tersebut merupakan adaptasi perilaku P. tigris sumatrae terhadap perubahan lingkungan di luar habitat alami dan pembiasaan di penagkaran.


Daftar acuan

Dinata, Y., & J. Sugardjito. 2008. Keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan Hewan Mangsanya di Berbagai Tipe Habitat Hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Universitas sebelas Maret, Surakarta, Biodiversitas 9(13): 222—226.
Hutajulu, M.B. 2006. Studi karakteristik ekologi harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae (pocock 1929)] berdasarkan camera trap lansekap di tesso nilo–bukit tigapuluh, Riau. Univeresitas Indonesia, Depok: iv+118 hlm.
IUCN. 2003. IUCN Red List of Threatened Species. IUCN Red List. http://www.redlist.org. diunduh Jum’at, 21 Mei 2010, pkl. 11.30 WIB.
IUCN. 2006. IUCN Red List of Threatened Species. IUCN Red List. http://www.redlist.org diunduh Jum’at, 21 Mei 2010, pkl. 11.33 WIB.
Mazak, V. 1981. Panthera tigris. The American Society of Mammalogist. Mammalian Species no. 152. 1-8 pp.
Nowell, K., Breitenmoser, U., Breitenmoser, C & Jackson, P. 2003. Panthera tigris sp. sumatrae. http://www.redlist.org diunduh Jum’at, 21 Mei 2010, pkl. 11.35 WIB.
Richardson, D.1992. Big cats. Whittet Books. England. ?
Seidensticker, J., S. Christie & P. Jackson. 1999. Preface, in Siedensticker, J., Christie, S. & Jackson, P. (eds.). Riding the tiger: tiger conservation in human-dominated landscapes. Cambridge University Press: Cambridge. p: xv-xx.
Semiadi, G. 1998. Pola kelahiran rusa timorensis di Nusa Tenggara Timur. Hayati (IPB) 5:22-24.
Shepherd, C.R & Magnus, N. 2004. Nowhere to hide: The trade in Sumatran tiger. TRAFFIC Southeast Asia. Special Report.

No comments: