Saturday, January 2, 2010

Kembali Ke Tapal Batas Bunda

Info Felis:
Surat Terakhir untuk Ibu
Oleh: Mulya Hasan

Dengan butiran airmata yang tercucur saat mengantarkanku, hanya ada satu kalimat yang aku ingat dan aku tanam dalam-dalam hingga tubuh ini tak mampu lagi menghadapi dunia. Aku akan menghadap Rabb dengan berujar harapan bahwa manusia yang diutusNya itu akan selalu ada dan diiringi do’a dariku untuk mengantarkannya bahagia di akhir nanti.
“Semoga tercapai cita-citamu, lulus dengan nilai terbaik, dan bisa sukses di masa depan nak!”
Saat aku menulis untaian kalimat ini, aku tak mampu menahan rasa haru yang membiru tak hanya di jiwa tapi juga di setiap lintasan sinyal yang melewati saraf hingga jauh membentang di sekujur tubuh mengakui bahwa aku bukan apa-apa tanpa do’a dan airmatanya.
Entah yang keberapa kali, tapi kalimat ini tak pernah dan tak akan pernah membosankan untuk kudengar dan kuresapi dalam hati. Lantas, sejenak aku menangis sembari memeluk erat hati dan jiwa ini, meluluhlantakkan semua kesombongan yang dari dulu aku perlihatkan padanya. Aku tak pantas melihat matanya yang tulus, aku juga tak perlu merias wajahnya yang kusam dan keriput dimakan usia untuk mengayomiku, aku bahkan tak tahu betapa deritanya menusuk tulang ketika aku membentaknya, aku tak pernah sadar betapa inginnya dia melihatku menggapai bintang meski saat itu masih menjadi mimpi di kala aku ada dalam kehangatan pelukannya.
Aku juga tak pernah berpikir bahwa dunianya tak seindah yang kualami saat ini. Mungkin kini aku bisa tertawa karena Allah SWT memberiku kesempatan untuk itu, tapi ketika aku bertanya kepadanya, dia tak pernah lepaskan genggaman tangannya di sarung yang ia kenakan saat bertutur sembari menghadapkan wajahnya jauh beberapa radius kilometer di depan sana. Cerita yang kudengar tak mampu menahan airmata dan hati yang meringis karena terlalu sulit untuk aku membayangkan hidup seperti itu.
Sejak kecil aku selalu di sampingnya, tapi dia tak pernah merasakan hangatnya cinta dari orang yang melahirkannya. Ketika aku berangkat ke sekolah dengan seragam kebanggaan, dia mengantarkanku ke depan pintu, berharap tak turun hujan yang dapat membasahi lantas membuatku sakit karenanya. Tapi, aku melihat ke dalam matanya betapa inginnya dia memakai seragam kebanggan ini untuk meraih masa depannya dulu. Hanya saja, keberuntungan tak berpihak padanya karena tak ada pembimbing yang jelas untuk mengantarkannya ke dunia pendidikan. Saban hari dia hanya berjibaku dengan tangisan kelima adiknya yang selalu menjadi bahan….
Akhhhh….aku tak sanggup melanjutkan ini, betapa perih yang kurasakan ketika aku menulis tiap penderitaannya, meski di secarik kertas mahal sekalipun. Aku hanya pengecut yang tak tahu makna kehidupan. Aku terlalu cengeng, lemah, dan haus akan iba dari orang lain… sementara dia, dia tak pernah mau mengharap iba dari siapapun meski deritanya adalah derita orang-orang yang mencintainya. Yang dia tahu, Allah Maha Pengasih dan Penyayang dan ia selalu ingat akan Innallahama’asshoobiriin.
Apa rasanya dunia tanpanya, dan kuyakini diri sejak ini bahwa aku akan menanamkan sebuah ungkapan cinta dan do’a untukmu… Ibu.
Asyhaduanlaailaahaillallah….

10 Dzulhijjah 1429 Hijriah
Senin, 8 Desember 2008

No comments: