Wednesday, August 24, 2011

Idealisme saya, idealisme aktivis low profile


Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat”, Antonio Gramsci (1891-1937)

Gerakan reformasi mahasiswa yang memelopori era orde baru, yang dulu mewujudkan citra pahlawan bagi mahasiswa, kini terungkap sebagai sebuah anarkisme (meskipun hanya karena ulah beberapa oknum mahasiswa).   Reputasi kepahlawanan berubah signifikan bagi pejuang pergerakan mahasiswa, yang kini dikatakan hampir mati suri.  Decak kekaguman mulai luntur, ketika mahasiswa berpekik kemerdekaan, sementara pengguna jalan memekikkan “mahasiswa pembuat macet jalanan”.  Alarm inilah yang harus diwaspadai oleh mahasiswa masa kini.  Agaknya, diperlukan suatu upaya lebih untuk membangkitkan kembali euphoria aksi cinta bangsa dengan cara yang lebih sederhana, rapi, dan elegan.
Ya, itu yang saya maksud.  Sebuah aksi yang justru harus memberikan harga lebih tinggi untuk Indonesia, di mata dunia.  Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjadi manusia berperestasi dan unggul untuk negeri ini.  Kata prestasi, tak selalu identik dengan adanya bukti piagam penghargaan.  Akan tetapi, prestasi yang saya maksudkan adalah apabila seseorang mampu memberikan “sesuatu”, membawa perubahan yang lebih signifikan untuk orang lain dan dirinya sendiri.  Hal tersebut dapat diwujudkan dengan menjadi aktivis yang low profile.  Itulah saya, dengan penuh kepercayaan diri, menawarkan sebuah gelar baru “aktivis low profile”.
Satu kenyataan bahwa banyak aktivis yang mengaku dirinya memiliki idealisme.  Hal tersebut belum bisa terbukti, apabila ia belum bisa menunjukkan pengabdiannya kepada masyarakat dan Negara. Banyak aktivis mahasiswa yang berbenturan dengan masalah akademik dan prestasi (misalnya, DO).  Maka, bagaimana idealisme mahasiswa-nya tidak dapat terbantahkan? Hanya sebuah omong kosong dengan teriakan idealisme di jalanan, apabila tidak ada kekuatan untuk para aktivis mempertahankan keseimbangan kehidupan. Tantangan inilah yang harus saya jawab.  Dengan memanfaatkan semua potensi menyongsong prestasi gemilang untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara.
Alangkah baik, apabila saya menjadi macan di segala bidang. Tak hanya menjadi orator, legislator, ataupun eksekutor, tetapi juga menjadi akademisi yang memberikan pengetahuan dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri sendiri dan orang banyak.  Saya memang aktif dalam lembaga kemahasiswaan dan ekstrakurikuler, baik di dalam maupun luar kampus.  Saya juga aktif sebagai pejuang lingkungan “lepas”.  Akan tetapi, saya juga belum pantas mendapatkan gelar “aktivis” karena saya belum bisa memberikan arti lebih untuk almamater dan bangsa.  Gelar tersebut sama tarafnya dengan gelar kebangsawanan, dan belum bisa saya pakai untuk seragam ini.
Akan tetapi, justru gelar yang saya kejar menjadi suatu kebanggaan ketika saya bisa mengharumkan nama orang tua dan bangsa.  Meskipun lahir dari rahim seorang ibu yang hanya ibu rumah tangga dan ayah seorang buruh, tapi saya yakin bisa membangun bangsa ini. Berasal dari sebuah gubuk  pinggiran kota kecil di tanah melayu, Bintan, Kepulauan Riau, saya menginjakkan kaki di Jakarta, tepat 15 Mei 2008, dengan bekal potensi berprestasi dan tak bermodal materi.  Saya terus melangkah mewujudkan mimpi sebagai seorang pemimpin dunia.  Seorang saintis yang menghargai perubahan sumber daya lingkungan sebagai suatu bencana yang akan memporak-porandakan dunia.  Seorang saintis yang dapat menghargai alam untuk dijaga demi generasi masa depan, agar masih terlihat ketersediaan air bersih, pangan, pepohonan, dan keindahan.  Saya yang kini, belajar penuh dari ambisi, kegagalan, kesedihan, dan kesendirian untuk mendapatkan gelar S.Si (sarjana sains), dengan penuh keterbatasan materi.  Tantangan untuk sukses dengan segala keterbatasan adalah takdir, takdir yang harus diubah menjadi secarik kertas yang penuh goresan kesuksesan. Karena saya yakin, status sosial, maupun ketidakmampuan finansial hanya sebuah aral kecil yang mampu saya patahkan dengan semangat dan tekad.  Belajar keras dengan memanfaatkan potensi diri, mengejar ketersediaan beasiswa, memiliki jaringan luas dengan berbagai kepanitiaan dan reputasi, cukup bisa diandalkan dan membuat diri ini dikenal oleh banyak orang. Semua harus saya lakukan, menghilangkan semua keterbatasan dan berucap satu kalimat, “Tidak ada kata menyerah dan pasrah dengan takdir!”
Hingga saat itu tiba, sebuah target kelulusan di 2011, untuk lulus tiga setengah tahun, akan saya gulirkan semangat ini hingga ke negeri Sakura untuk menuntut ilmu. Kelak, akan saya bangun sebuah Lembaga Swadaya Saintis, laboratorium Alam dan Pusat Konservasi yang dapat menyumbang saintis berkualitas internasional untuk memberikan pelayanan dan ilmu bermanfaat agar Negara menjadi lebih baik, sehingga kesejahteraan, kejujuran, kedamaian, dan kebaikan tumbuh dengan subur di Negara ini.  Agaknya, terlalu berlebih dengan semua impian itu, akan tetapi, saya yakin, KETIKA SAINTIS JADI PEMIMPIN, Indonesia akan menjadi lebih baik.  Semoga… aktivis low profile ini dapat memberikan yang terbaik untuk bangsa dan Negara.

No comments: