Monday, January 2, 2012

Catatan di Akhir Perjalanan

kadang aku bingung dengan segala realitas hidup.
tak pernah sekalipun terpikirkan untuk membelakangi garis takdir ini.
tapi kadang juga aku takut dengan realitas hidup,
yang meyakinkan bahwa aku tak pernah sanggup memangku lagi semua rasa yang ada di hati ini.
kadang aku juga tak bisa membedakan yang mana kasih sayang dan yang mana kebencian.
semua berbeda tipis.

hanya tinggal sebuah tnya yang akan terus kusisipkan tanpa ada yang memahami.
dialah sebuah pencarian, yang akan kutekuni hingga mati.


mungkin orang-orang akan selalu bertanya hingga aku membongkar semua rahasia yang terpendam.
tapi aku pastikan folder itu akan selalu terkunci dengan aman.
biarkan aku saja yang tahu apa isinya.

akan kuubah dunia dengan isi folder itu.
FOLDER yang selama ini terkunci, hingga aku mati.

******************

secuplik harapan yang tersimpan, kini terasa akan semakin jauh
betapa aku akan menghadapi hujanan airmata yang bertubi-tubi di saat ini
ada sebuah rahasia yang harus kutukarkan dengan harga diri
ah, tapi apa artinya harga diri ketika perjuangan yang kutempuh tak lagi dianggap sebuah arti
akhirnya, tiba di ujung perjuangan
kala aku tak mampu lagi menatap ke depan sendiri, dan berjuang seperti dulu

sebuah realitas hidup,
aku sang bungsu yang hidup di antara kerumitan persaudaraan. kisah kedua orang tua yang melankolis sejak dulu. tak pernah terlihat senyum di bibir mereka. seorang buruh yang hidup hanya untuk sesuap nasi. penhasilan tak lebih dari 20 ribu sehari, dengan pendamping nya, ibu yang seorang pejuang rumah tangga. melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka dengan mempertaruhkan nyawa dan harga sebuah perjuangan, hingga tua renta. tak lelah mengkais rezeki, daripada hidup berkalang mengemis dengan mimik memelas dan hina.

sebuah relitas hidup,
aku sang bungsu yang dikatakan sangat beruntung hidup sebagai anak terkahir, menjadi kesayangan orang tua, tak pernah takut untuk sengsara dan bertungkus lumus memamah berjuta asam-garam hidup, seperti yang dirasakan mereka, kakak-kakakku. ya, mereka yang katanya tak mampu dibiayai sekolah sejak dini, mereka yang hanya bisa menjadi kuli, supir, tukang kebun, TKW, dan pedagang pecel yang kerap kali menjadi pengangguran lantaran tak berijazah sekolah formal. Hingga suatu ketika kehidupan baru menjemput mereka, bersama suami dan istri mereka, pergi meninggalkan rentanya orang tua, beralasan bahwa "sudah tak saatnya lagi membantu orang tua, telah cukup sudah!".

sebuah realitas hidup,
aku sang bungsu yang sejak kecil hanya bisa terbata-bata mengeja semua gejala kehidupan sendiri. merasakan di perantauan, ditinggal seisi keluarga yang menjadi TKI di negara orang, saban hari. bermain dengan lelaki-lelaki kecil memanjat pohon dan tebing, bersepeda, memancing, dan bertukar seragam senyuman dengan hari yang terik. hanya tahu bahwa hidup itu adalah kekosongan yang harus kuisi dengan ceria dan senyuman. hanya berteman dengan seekor kucing kecil, yang bisa membuat aku lupa bahwa hari itu aku tak bisa apa-apa. ketika saat teman-teman pergi ke bangku sekolah, aku hanya bisa mengikuti dari belakang. dan, kukayuh sepeda kencang-kencang sambil mengendap ke mana mereka pergi. ternyata, ke sebuah sekolah kebangsaan, ya.. mereka belajar mengeja dan menulis, bermain, dan ceria. sedangkan aku, hanya bisa mengintip di balik jendela yang tinggi. sesaat, sang cikgu menoleh, hingga aku ketakutan dan membalikkan badan, berlari... sekencang mungkin, bersepeda, dan berusaha mencapai jalan menuju rumah. degup kencang rasa bersalah... aku telah merusak pemandangan sekolah kebangsaan hari itu. ah, betapa kecilnya diri ini. aku harusnya sadar bahwa aku bukanlah orang yang tepat untuk berada di sana. tak pernah akan mampu aku duduk di kursi pendidikan seperti itu. dan akhirnya, aku memasuki rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. entah ke mana sepeda yang kupakai tadi. segera kulempar badanku ke arah pembaringan di dapur rumah. dan memeluk betisku rapat-rapat... aku menangis, dan menangis.


dan, sang bungsu kini mulai letih...
mengayuh secerca harapan yang dulu dia bina...
sejak kecil..
sebuah semangat sejak mendaftar di bangku Sekolah dasar, pada dasarnya dia adalah anak yang cerdas... tak mau merepotkan orang tua. aku harus bisa sukses menjadi apa yang aku inginkan, dengan peluh dan darahku sendiri. hingga, aku harus membanting segenap raga, demi mengenyam pendidikan dlm sgala keterbatasan garis takdir ini.
meluahkan semangat dan keringat demi mencari peringkat satu di sekolah, hanya untuk satu tujuan. tujuan untuk beasiswa, sekolah gratis dan sukses. dan aku.... tak pernah puas dengan semua ini. sebelum aku bisa mengembalikan senyum di kedua bibir ayah dan ibuku

No comments: