Monday, January 2, 2012

Kenapa Sendal Jepit?


Kenapa Sendal Jepit?
Oleh : Mulyani Hassan

Di sela-sela menunggu kereta ekonomi di peron 2 menuju arah Jakarta Kota, di bangku panjang paling pojok stasiun Depok Lama, di depan toko minuman, pukul 16.34 WIB, dosenku membuka percakapan,
“Kamu berapa saudara kandung?”,
“Saya delapan bersaudara, Bu. Anak bungsu”, memang begitu adanya, di Indonesia, banyak anak banyak rezeki katanya,
“Semua sudah kerja dan berkeluarga dong?”, ia menarik perhatianku,
“Ah iya, itu tinggal satu lagi kakak perempuan saya, 3 tahun lebih tua dari saya. Nggak lama lagi juga nikah Bu”, setelah itu sepertinya aku,
“Wah, kalau begitu enak dong, banyak yang sayang. Banyak uang jajan”
“Ah, nggak juga, Bu. Kehidupan mereka justru pas-pasan. Untuk sendiri aja nggak cukup, apalagi uang jajan untuk saya. Kehidupan saya justru berbalik dengan apa yang orang pikirkan. Kuliah modal nekad, bekal beasiswa, dan berusaha sendiri untuk kerja. Tak pernah sekalipun berharap untuk dimanja atau disayang layaknya bungsu yang lain”, tapi tetap harus selalu bersyukur, batinku mengatakan itu …..yang paling penting dalam hidup adalah…. sesulit apapun jalan kemandirian itu datang harus dikejar terus tanpa henti.
“Yah... berjuanglah. Saya ternyata lebih beruntung, lahir dari keluarga berada, yang dulunya juga susah. Tapi, saya tak pernah diajarkan hidup mewah, selalu sederhana. Dulu sekali, sekolah masih pakai sendal jepit. Awalnya saya disekolahkan di Sekolah Negeri, tapi baru di kelas 2, atap gedung selalu bocor, buku basah kalau hujan. Akhirnya, saya dipindahkan ke sekolah swasta. Yah... baguslah pelajarannya pun setingkat lebih tinggi daripada sekolah negeri biasa. Sampai akhirnya bisa tembus sekolah ke Jepang. Kehidupan berbeda 180 derajat. Tapi justru itu, hidup di Indonesia dan di Jepang bisa saya bandingkan, yang buat saya belajar tentang kehidupan.”
Dan kereta pun datang...tak sempat berbicara banyak, “hati-hati ya, Bu”, saya masih mau belanja buat jualan”,dosenku menjawab “Ah, kamu jualan? Ya sudah .... Makasih ya, udah temani saya bertemu mereka”, kemudian sosok tubuh yang mungil dan baik itu pun melesat di antara kerumunan orang yang bergelantungan di pintu kereta. Lagi-lagi, aku kagum dan tersenyum melihatnya, angkutan umum yang sungguh luar biasa menjadi favorit, seharga 1500 rupiah, rute dalam kota, tak berasap, dan mampu menampung jutaan ummat. Sampai-sampai berlebih di atas gerbongnya.
Percakapan itu yang selalu aku pikirkan hingga sekarang. Di mana-mana, orang selalu merendahkan sendal jepit, merendahkan sekolah negeri, apalagi kehidupan orang-orang susah di negeri ini.  Padahal katanya, sendal jepit dulu juga asalnya dari Jepang. Soalnya, di tanah kelahiranku disebutnya sendal jepang. Halah, tapi, dosenku itu membuka mata bahwa memang kita bisa banyak belajar dari negara ini. Aku cuma bisa tersenyum. Dosenku yang satu itu, memang luar biasa, kadang ia terlihat begitu arogan dan perfeksionis tentang dirinya yang dididik secara disiplin oleh keluarganya dan saat ia menimba ilmu di Jepang. Banyak hal yang ia beritahukan tentang kerasnya ia sebagai seorang wanita yang sempurna. Tapi, banyak hal pula yang ia sesalkan dari sisi kehidupan kerasnya itu. Ternyata ia selalu bertarung dengan kencangnya jalan kereta ekonomi yang selalu penuh sesak, yang ia rasakan juga di Jepang. Bedanya, di sana kereta penuh dengan keteraturan dan kenyamanan. Bahkan presiden pun mau bertandang ke kereta dan berbicara dengan rakyat jelata. Membayangkan presiden kita, kapan ya masuk kereta?
Kenapa harus jauh-jauh berpikir tentang presiden. Aku harus berpikir untuk diriku sendiri. Sekarang bagaimana aku bisa berjuang untuk bertahan di kota ini. Yah, contohnya aku. Aku juga salah satu anak bungsu yang belajar banyak dari kondisi hidupku yang serba kekurangan karena negara ini tak mampu menaikkan derajat orang tuaku. Namanya juga manusia, harus berusaha sendiri, sekali tergilas dengan ketidakmampuan finansial, di situ lah letak tantangan besar untuk memilih “maju” dengan menghalalkan segala cara atau “diam” dengan penuh keterbatasan. Bukan mengampu negara yang harus menaikkan derajat kita. Idealis, tapi itu rasional. Banyak orang mencoba untuk berada di tengah-tengah, namun akhirnya banyak juga dari orang-orang itu yang berkembang menjadi orang egois dan terkesan mencari aman, kemudian lari ke negeri orang. Semoga aku bukan yang seperti itu.
Sembari berjalan di antara keramaian orang, aku melengos langsung menuju pasar rakyat dekat dengan stasiun. Kutolehkan pandangan, sejenak melihat dagangan kue kecil dan minuman. Ah, rasanya haus dan lapar. Baru kemarin aku menahan lapar karena tak memegang selembar uangpun. Tapi, aku harus bertahan. Lalu kupalingkan ingatanku tentang waktu itu, jajan di pinggir stasiun, air mineral yang ternyata isi ulang dari air empang dan label palsu. Kue pukis, ternyata bekas adonan kemarin. Tak ayal langsung terkena tipes. Ada-ada saja, ingin murah makan di gerobak “Amigos”, agak minggir got sedikit, eh malah tipes. Alhasil masuk rumah sakit, membayar lebih dari 2 juta rupiah dalam sehari semalam. Luar biasa, di awal pengecekan pun harus sudah membayar 500 ribu. Oh, tidak. Gagal. Gagal untuk jajan di pinggir jalan. Memikirkan waktu itu aku disemprot seisi keluarga, gara-gara menghabiskan banyak uang di rumah sakit. Lebih-lebih itu uang pinjaman.
Mampir ke sebuah gerai kecil di pasar itu, yang menawarkan aneka jilbab dan pakaian wanita. Aku, yang sedang belajar usaha, ceritanya bertanya-tanya dengan asumsi memegang uang jutaan rupiah. Padahal, seratus ribu juga modal pinjam,
“Iya neng, bisa dibantu?”
“ini berapa ya, Bu? (kulihat betapa bagusnya jika jilbab itu kujual, berbahan siffon dan bermanik-manik permata), kalau itu (sebuah bandana jilbab dari bunga kain yang besar dan mewah) ?”
“Hm, itu 25 neng, sama bandana juga.”
“Ah... iya.. kalau beli kodian juga sama harganya, Bu?”
“Sama, itu sudah harga grosir neng”.
“Hm.. okelah kalau begitu. Besok saya ke sini lagi kalau jadi”, dengan basa-basi aku pergi dengan pasti. Seperti biasa, pasti sang penjual menggerutu dalam hati,” semoga pendatang berikutnya tak hanya bertanya, karena di sini bukan information centre”. Aku memang baru saja melewati gerai itu, mencoba melihat gerai yang lain dan sedikit jauh dari gerai pertama, ternyata ketika masuk, baru saja ingin bertanya, sang pramuniaga sudah memahami gerak-gerik ku. Ia lantas melengos seolah tak melihatku. Wah, salah ini. Menghilangkan rezeki. Tancap gas, akupun melangkah ke gerai sendal. Dahsyat, akhirnya dapat dagangan juga.
Beberapa sendal wanita berbahan karet. Lumayan bagus, bisa ditawar hingga menyusut 5 ribu rupiah dari harga yang ditawarkan. Lantas kuborong selusin. Akhirnya, mampir ke gerai yang lebih depan. Ah, betapa bodohnya aku. Ternyata sendal dengan bentuk dan warna serupa, memiliki harga yang sama setelah dipotong 5 ribu dari harga awal. Oh, tidak. Seharusnya aku bisa lebih jeli menawar harga. Yah, sudahlah... setiap orang punya rezeki masing-masing. Mungkin ini rezekinya penjual tadi. Tapi, aku jadi bertanya. Apakah ini karakter orang Indonesia? Mudah dibohongi dalam setiap kesempatan. Baru percaya sedikit, sudah tak heran jika bisa diperdayakan oleh orang lain.
Kembali ke petualanganku hari ini, sepatuku juga kelihatan lusuh. Harus segera diganti. Tapi, nanti saja kalau ketemu sendal jepit, alas kaki yang digunakan para penjuang jalanan. Meskipun tak bernilai tapi alas kaki ini yang selalu menjadi saksi hidup derita jalanan. Benar juga, tak selera aku melihat rentetan pajangan sepatu-sepatu sport apalagi sepatu atau sendal wanita, yang aduhai itu. Selain mahal (untuk seukuran kantongku), tak awet pula. Beberapa kali coba, cuma bertahan 3 bulan. Tak ayal harus beli baru lagi. Ah, berapa banyak uang yang dihabiskan untuk itu saja, belum untuk makan, untuk minum, untuk baju, untuk buku-buku. Ah, lagi-lagi selalu memikirkan cost dan benefit saat mau bertindak. Yah, mungkin karena aku wanita, jadi terlalu banyak memilih, cerewet, dan ribet dengan berpikir ini itu. Itu manusiawi.
Kembali aku melanjutkan perjalanan, menuju sebuah toko baju. Niatnya ingin membeli baju untuk cucu pertamaku yang baru saja lahir. Ya. Cucu. Aku hampir lupa, bahwa baru setahun yang lalu keponakanku menikah. Usianya tiga tahun di atasku. Menikah dengan seorang pria berdarah Jawa. Seingatku, di lingkup keluarga kecil ayah dan ibuku, baru kali ini menantunya Jawa. Selebihnya, Batak, Minang, Dayak, Madura, Cirebon, Melayu, Bugis, dan Sunda. Kalau dirunut, satu keluargaku seperti miniatur Indonesia. Hanya kurang ras darah tionghoa. Ah, namanya juga jodoh, tak bisa ditentukan. Yang penting, cucuku harus aku kirimi hadiah. Akhirnya jatuhlah pilihanku pada baju-baju tidur mungil untuk sang buah hati. Murah. Tapi berkualitas. Merogoh kocek, pas pula dengan harganya. Dibungkus oleh mbaknya, langsung tancap gas.
“Mba.... kembaliannya”, aku menoleh sebentar ke belakang
“Eh ... iya, makasih mba.” Ternyata masih ada ya orang jujur seperti itu di zaman ini. Ya iyalah, walaupun seribu rupiah, itu bukan hak mereka. Kalau tidak dikembalikan dagangannya juga tidak berkah. Tak semua orang Indonesia itu bobrok. Hanya orang-orang yang berpikiran sempit yang menyangka manusia Indonesia itu koruptor semua. Berpikir di luar kotak korek api, jarang sekali ada yang seperti itu.
Sesampainya di gerbang pasar, saatnya mencari angkutan, seharusnya jalan beberapa meter lagi untuk mendapat angkutan kota. Agak sesak kendaraan sore itu. Terminal Depok, sekali melintas tercium bau air seni dan sampah di antara seluk-beluk bis yang berjejer. Ah, sangat memuakkan. Tapi, aku tahu ini adalah tanda aku benar dengan memakai sendal jepit. Tak takut menginjak kotoran apapun, termasuk air seni dan sampah.
Bersama sendal jepit, aku melangkah dengan mantap. Menuju jembatan penyeberangan, tepat depan Mall ternama di negeri ini. Ah, sesekali mampir ke dalam dan melihat-lihat. Lantas aku menaiki jembatan penyebrangan. Tidak. Pemandangan yang sungguh memuaskan aku, jajaran wanita tua dan anak-anak pengemis yang mengharap uluran logam. Hufh, sekejap aku memandang bahwa mereka bukanlah cerita di siang hari. Tapi, lebih dari itu di antara kerumunan lalat yang mengerubungi, hanya ada sedikit harap bahwa hari ini mereka akan makan sesuap nasi. Hm, tapi tak semua begitu, sempat sesekali aku melihat ada di antara mereka yang menyembunyikan uang di antara kurungan sarung. Terlihat sebuah dompet tebal bermerek. Hanya bisa tersenyum, dengan malu mereka melihatku dan seolah tak ada apa-apa. Ah, aku masih saja bangga dengan negara ini.
Ternyata matahari sudah sangat tak bersahabat. Ia pulang dan tinggal gelap, aku mengurungkan niat masuk ke dalam Mall itu. Secepat mungkin menarik badan dan kembali ke trotoar untuk menaiki KWK 19 merah atau M04 cokelat.
“yo ayo yo.... rambutan.... rambutan.... rambutan....”,
“Minggu... minggu... minggu....”,
“PAL.... PAL... PAL.....”.
suara klakson, kompetisi teriakan-teriakan, dan dengan lantang sang kenek menyanyikan lagu gembira itu setiap melintasi orang-orang. Hm, rasanya sering sekali aku pusing karena ini. Tapi, namanya juga nyari penumpang. Akhirnya aku harus mengejar sang angkutan kota. Betapa tidak, ada tulisan keras “DILARANG NGETEM DI SINI”. Ahaha, sang supir segera bilang.. “hayo buruan mbak’e... naik saja”, sambil melajukan putaran roda angkutan itu. Tak ada yang istimewa saat perjalanan pulang. Hanya sebuah kendaraan roda dua yang hampir saja menggilas kakiku. Saat menyebrang jalan, langkah tertutu angkutan kota yang ngetem tepat di depan hidung. Agak berlebihan, tapi memang benar, lantas saja tak melihat ada sepeda motor di belakangnya, baru satu kaki melangkah... Eitss... hampir saja. Dengan sigap aku mundur selangkah baru kemudian setelah sepi, aku menyebrang. Hm, hari ini, sungguh luar biasa. Sesampainya di kosan, kembali menarik kaki dan menanggalkan sendal jepit ini, tepat di depan pintu. Lantas kusandingkan ia dengan sepatu-sepatu cantik yang lain. Aku hanya tersenyum. Perjalananku dengan sendal jepit, ah. Tampaknya dia sudah kusam, harus kucuci lagi besok. Keesokan harinya, aku justru kaget. Sendalku tersayang, kini malang... tinggal bayangan. Siapapun yang mengambilnya. Aku yakin entah itu orang iseng atau apalah... dia tetap saudaraku. Tapi, kenapa harus sendal jepit?



No comments: