Kenapa Sendal Jepit?
Oleh : Mulyani Hassan
Di sela-sela menunggu kereta ekonomi di peron 2
menuju arah Jakarta Kota, di bangku panjang paling pojok stasiun Depok Lama, di
depan toko minuman, pukul 16.34 WIB, dosenku membuka percakapan,
“Kamu berapa saudara kandung?”,
“Saya delapan bersaudara, Bu. Anak bungsu”, memang
begitu adanya, di Indonesia, banyak anak banyak rezeki katanya,
“Semua sudah kerja dan berkeluarga dong?”, ia
menarik perhatianku,
“Ah iya, itu tinggal satu lagi kakak perempuan
saya, 3 tahun lebih tua dari saya. Nggak lama lagi juga nikah Bu”, setelah itu
sepertinya aku,
“Wah, kalau begitu enak dong, banyak yang sayang.
Banyak uang jajan”
“Ah, nggak juga, Bu. Kehidupan mereka justru
pas-pasan. Untuk sendiri aja nggak cukup, apalagi uang jajan untuk saya.
Kehidupan saya justru berbalik dengan apa yang orang pikirkan. Kuliah modal
nekad, bekal beasiswa, dan berusaha sendiri untuk kerja. Tak pernah sekalipun
berharap untuk dimanja atau disayang layaknya bungsu yang lain”, tapi tetap
harus selalu bersyukur, batinku mengatakan itu …..yang paling penting dalam
hidup adalah…. sesulit apapun jalan kemandirian itu datang harus dikejar terus
tanpa henti.
“Yah... berjuanglah. Saya ternyata lebih
beruntung, lahir dari keluarga berada, yang dulunya juga susah. Tapi, saya tak
pernah diajarkan hidup mewah, selalu sederhana. Dulu sekali, sekolah masih
pakai sendal jepit. Awalnya saya disekolahkan di Sekolah Negeri, tapi baru di
kelas 2, atap gedung selalu bocor, buku basah kalau hujan. Akhirnya, saya
dipindahkan ke sekolah swasta. Yah... baguslah pelajarannya pun setingkat lebih
tinggi daripada sekolah negeri biasa. Sampai akhirnya bisa tembus sekolah ke
Jepang. Kehidupan berbeda 180 derajat. Tapi justru itu, hidup di Indonesia dan
di Jepang bisa saya bandingkan, yang buat saya belajar tentang kehidupan.”
Dan kereta pun datang...tak sempat berbicara
banyak, “hati-hati ya, Bu”, saya masih mau belanja buat jualan”,dosenku
menjawab “Ah, kamu jualan? Ya sudah .... Makasih ya, udah temani saya bertemu
mereka”, kemudian sosok tubuh yang mungil dan baik itu pun melesat di antara
kerumunan orang yang bergelantungan di pintu kereta. Lagi-lagi, aku kagum dan
tersenyum melihatnya, angkutan umum yang sungguh luar biasa menjadi favorit,
seharga 1500 rupiah, rute dalam kota, tak berasap, dan mampu menampung jutaan
ummat. Sampai-sampai berlebih di atas gerbongnya.
Percakapan itu yang selalu aku pikirkan hingga
sekarang. Di mana-mana, orang selalu merendahkan sendal jepit, merendahkan
sekolah negeri, apalagi kehidupan orang-orang susah di negeri ini. Padahal katanya, sendal jepit dulu juga
asalnya dari Jepang. Soalnya, di tanah kelahiranku disebutnya sendal jepang.
Halah, tapi, dosenku itu membuka mata bahwa memang kita bisa banyak belajar dari
negara ini. Aku cuma bisa tersenyum. Dosenku yang satu itu, memang luar biasa,
kadang ia terlihat begitu arogan dan perfeksionis tentang dirinya yang dididik
secara disiplin oleh keluarganya dan saat ia menimba ilmu di Jepang. Banyak hal
yang ia beritahukan tentang kerasnya ia sebagai seorang wanita yang sempurna.
Tapi, banyak hal pula yang ia sesalkan dari sisi kehidupan kerasnya itu.
Ternyata ia selalu bertarung dengan kencangnya jalan kereta ekonomi yang selalu
penuh sesak, yang ia rasakan juga di Jepang. Bedanya, di sana kereta penuh dengan
keteraturan dan kenyamanan. Bahkan presiden pun mau bertandang ke kereta dan
berbicara dengan rakyat jelata. Membayangkan presiden kita, kapan ya masuk
kereta?
Kenapa harus jauh-jauh berpikir tentang presiden.
Aku harus berpikir untuk diriku sendiri. Sekarang bagaimana aku bisa berjuang
untuk bertahan di kota ini. Yah, contohnya aku. Aku juga salah satu anak bungsu
yang belajar banyak dari kondisi hidupku yang serba kekurangan karena negara
ini tak mampu menaikkan derajat orang tuaku. Namanya juga manusia, harus
berusaha sendiri, sekali tergilas dengan ketidakmampuan finansial, di situ lah
letak tantangan besar untuk memilih “maju” dengan menghalalkan segala cara atau
“diam” dengan penuh keterbatasan. Bukan mengampu negara yang harus menaikkan
derajat kita. Idealis, tapi itu rasional. Banyak orang mencoba untuk berada di
tengah-tengah, namun akhirnya banyak juga dari orang-orang itu yang berkembang
menjadi orang egois dan terkesan mencari aman, kemudian lari ke negeri orang.
Semoga aku bukan yang seperti itu.
Sembari berjalan di antara keramaian orang, aku
melengos langsung menuju pasar rakyat dekat dengan stasiun. Kutolehkan
pandangan, sejenak melihat dagangan kue kecil dan minuman. Ah, rasanya haus dan
lapar. Baru kemarin aku menahan lapar karena tak memegang selembar uangpun.
Tapi, aku harus bertahan. Lalu kupalingkan ingatanku tentang waktu itu, jajan
di pinggir stasiun, air mineral yang ternyata isi ulang dari air empang dan
label palsu. Kue pukis, ternyata bekas adonan kemarin. Tak ayal langsung terkena
tipes. Ada-ada saja, ingin murah makan di gerobak “Amigos”, agak minggir got
sedikit, eh malah tipes. Alhasil masuk rumah sakit, membayar lebih dari 2 juta
rupiah dalam sehari semalam. Luar biasa, di awal pengecekan pun harus sudah
membayar 500 ribu. Oh, tidak. Gagal. Gagal untuk jajan di pinggir jalan.
Memikirkan waktu itu aku disemprot seisi keluarga, gara-gara menghabiskan
banyak uang di rumah sakit. Lebih-lebih itu uang pinjaman.
Mampir ke sebuah gerai kecil di pasar itu, yang
menawarkan aneka jilbab dan pakaian wanita. Aku, yang sedang belajar usaha,
ceritanya bertanya-tanya dengan asumsi memegang uang jutaan rupiah. Padahal,
seratus ribu juga modal pinjam,
“Iya neng, bisa dibantu?”
“ini berapa ya, Bu? (kulihat betapa bagusnya jika
jilbab itu kujual, berbahan siffon dan bermanik-manik permata), kalau itu
(sebuah bandana jilbab dari bunga kain yang besar dan mewah) ?”
“Hm, itu 25 neng, sama bandana juga.”
“Ah... iya.. kalau beli kodian juga sama harganya,
Bu?”
“Sama, itu sudah harga grosir neng”.
“Hm.. okelah kalau begitu. Besok saya ke sini lagi
kalau jadi”, dengan basa-basi aku pergi dengan pasti. Seperti biasa, pasti sang
penjual menggerutu dalam hati,” semoga pendatang berikutnya tak hanya bertanya,
karena di sini bukan information centre”.
Aku memang baru saja melewati gerai itu, mencoba melihat gerai yang lain dan
sedikit jauh dari gerai pertama, ternyata ketika masuk, baru saja ingin
bertanya, sang pramuniaga sudah memahami gerak-gerik ku. Ia lantas melengos
seolah tak melihatku. Wah, salah ini. Menghilangkan rezeki. Tancap gas, akupun
melangkah ke gerai sendal. Dahsyat, akhirnya dapat dagangan juga.
Beberapa sendal wanita berbahan karet. Lumayan
bagus, bisa ditawar hingga menyusut 5 ribu rupiah dari harga yang ditawarkan.
Lantas kuborong selusin. Akhirnya, mampir ke gerai yang lebih depan. Ah, betapa
bodohnya aku. Ternyata sendal dengan bentuk dan warna serupa, memiliki harga
yang sama setelah dipotong 5 ribu dari harga awal. Oh, tidak. Seharusnya aku
bisa lebih jeli menawar harga. Yah, sudahlah... setiap orang punya rezeki
masing-masing. Mungkin ini rezekinya penjual tadi. Tapi, aku jadi bertanya.
Apakah ini karakter orang Indonesia? Mudah dibohongi dalam setiap kesempatan.
Baru percaya sedikit, sudah tak heran jika bisa diperdayakan oleh orang lain.
Kembali ke petualanganku hari ini, sepatuku juga
kelihatan lusuh. Harus segera diganti. Tapi, nanti saja kalau ketemu sendal
jepit, alas kaki yang digunakan para penjuang jalanan. Meskipun tak bernilai
tapi alas kaki ini yang selalu menjadi saksi hidup derita jalanan. Benar juga,
tak selera aku melihat rentetan pajangan sepatu-sepatu sport apalagi sepatu atau sendal wanita, yang aduhai itu. Selain
mahal (untuk seukuran kantongku), tak awet pula. Beberapa kali coba, cuma
bertahan 3 bulan. Tak ayal harus beli baru lagi. Ah, berapa banyak uang yang
dihabiskan untuk itu saja, belum untuk makan, untuk minum, untuk baju, untuk
buku-buku. Ah, lagi-lagi selalu memikirkan cost
dan benefit saat mau bertindak. Yah,
mungkin karena aku wanita, jadi terlalu banyak memilih, cerewet, dan ribet
dengan berpikir ini itu. Itu manusiawi.
Kembali aku melanjutkan perjalanan, menuju sebuah
toko baju. Niatnya ingin membeli baju untuk cucu pertamaku yang baru saja
lahir. Ya. Cucu. Aku hampir lupa, bahwa baru setahun yang lalu keponakanku
menikah. Usianya tiga tahun di atasku. Menikah dengan seorang pria berdarah
Jawa. Seingatku, di lingkup keluarga kecil ayah dan ibuku, baru kali ini
menantunya Jawa. Selebihnya, Batak, Minang, Dayak, Madura, Cirebon, Melayu,
Bugis, dan Sunda. Kalau dirunut, satu keluargaku seperti miniatur Indonesia.
Hanya kurang ras darah tionghoa. Ah, namanya juga jodoh, tak bisa ditentukan.
Yang penting, cucuku harus aku kirimi hadiah. Akhirnya jatuhlah pilihanku pada
baju-baju tidur mungil untuk sang buah hati. Murah. Tapi berkualitas. Merogoh
kocek, pas pula dengan harganya. Dibungkus oleh mbaknya, langsung tancap gas.
“Mba.... kembaliannya”, aku menoleh sebentar ke
belakang
“Eh ... iya, makasih mba.” Ternyata masih ada ya
orang jujur seperti itu di zaman ini. Ya iyalah, walaupun seribu rupiah, itu
bukan hak mereka. Kalau tidak dikembalikan dagangannya juga tidak berkah. Tak
semua orang Indonesia itu bobrok. Hanya orang-orang yang berpikiran sempit yang
menyangka manusia Indonesia itu koruptor semua. Berpikir di luar kotak korek
api, jarang sekali ada yang seperti itu.
Sesampainya di gerbang pasar, saatnya mencari
angkutan, seharusnya jalan beberapa meter lagi untuk mendapat angkutan kota.
Agak sesak kendaraan sore itu. Terminal Depok, sekali melintas tercium bau air
seni dan sampah di antara seluk-beluk bis yang berjejer. Ah, sangat memuakkan.
Tapi, aku tahu ini adalah tanda aku benar dengan memakai sendal jepit. Tak
takut menginjak kotoran apapun, termasuk air seni dan sampah.
Bersama sendal jepit, aku melangkah dengan mantap.
Menuju jembatan penyeberangan, tepat depan Mall ternama di negeri ini. Ah,
sesekali mampir ke dalam dan melihat-lihat. Lantas aku menaiki jembatan
penyebrangan. Tidak. Pemandangan yang sungguh memuaskan aku, jajaran wanita tua
dan anak-anak pengemis yang mengharap uluran logam. Hufh, sekejap aku memandang
bahwa mereka bukanlah cerita di siang hari. Tapi, lebih dari itu di antara
kerumunan lalat yang mengerubungi, hanya ada sedikit harap bahwa hari ini
mereka akan makan sesuap nasi. Hm, tapi tak semua begitu, sempat sesekali aku
melihat ada di antara mereka yang menyembunyikan uang di antara kurungan
sarung. Terlihat sebuah dompet tebal bermerek. Hanya bisa tersenyum, dengan
malu mereka melihatku dan seolah tak ada apa-apa. Ah, aku masih saja bangga
dengan negara ini.
Ternyata matahari sudah sangat tak bersahabat. Ia
pulang dan tinggal gelap, aku mengurungkan niat masuk ke dalam Mall itu.
Secepat mungkin menarik badan dan kembali ke trotoar untuk menaiki KWK 19 merah
atau M04 cokelat.
“yo ayo yo.... rambutan.... rambutan....
rambutan....”,
“Minggu... minggu... minggu....”,
“PAL.... PAL... PAL.....”.
suara klakson, kompetisi teriakan-teriakan, dan dengan lantang sang kenek
menyanyikan lagu gembira itu setiap melintasi orang-orang. Hm, rasanya sering
sekali aku pusing karena ini. Tapi, namanya juga nyari penumpang. Akhirnya aku
harus mengejar sang angkutan kota. Betapa tidak, ada tulisan keras “DILARANG
NGETEM DI SINI”. Ahaha, sang supir segera bilang.. “hayo buruan mbak’e... naik
saja”, sambil melajukan putaran roda angkutan itu. Tak ada yang istimewa saat
perjalanan pulang. Hanya sebuah kendaraan roda dua yang hampir saja menggilas
kakiku. Saat menyebrang jalan, langkah tertutu angkutan kota yang ngetem tepat
di depan hidung. Agak berlebihan, tapi memang benar, lantas saja tak melihat
ada sepeda motor di belakangnya, baru satu kaki melangkah... Eitss... hampir
saja. Dengan sigap aku mundur selangkah baru kemudian setelah sepi, aku
menyebrang. Hm, hari ini, sungguh luar biasa. Sesampainya di kosan, kembali
menarik kaki dan menanggalkan sendal jepit ini, tepat di depan pintu. Lantas
kusandingkan ia dengan sepatu-sepatu cantik yang lain. Aku hanya tersenyum.
Perjalananku dengan sendal jepit, ah. Tampaknya dia sudah kusam, harus kucuci
lagi besok. Keesokan harinya, aku justru kaget. Sendalku tersayang, kini
malang... tinggal bayangan. Siapapun yang mengambilnya. Aku yakin entah itu
orang iseng atau apalah... dia tetap saudaraku. Tapi, kenapa harus sendal
jepit?
No comments:
Post a Comment