Saturday, January 2, 2010

Catatan Seorang Perempuan dengan Sejuta Impian


“Rabby… berikan aku hidup,
Sampai hati tak berkalang noda dan perih
Sampai nyawa tak bertabur dusta dan hina
Sampai darah tak bertebaran karbondioksida
Karna matipun aku segan, bercermin diri yang penuh dosa
Rabby, biarkan aku bersanding di samping-Mu dulu, sebelum aku berkalang tanah”

Dan aku, hanya anak manusia yang kala itu lahir di sore hari. Bertepatan 10 Dzulhijjah dan azan Ashar. Aku tak tahu makna hikmah ini, yang kutahu adalah aku lahir atas ketetapanNya dari ayah seorang buruh bangunan dan ibu seorang ibu yang tangguh dan tegar karna hidup di atas derita ayah dan ibu tiri. Aku tak pernah berpikir bahwa aku dilahirkan sia-sia, seperti kata mereka—saudara sekandungku—yang tak lagi mengharap restu ibu. Aku tak tahu apa makna jalan ini, yang kutahu aku hidup karna Rabby menginginkanku memperbaiki nasib ayah dan ibu.
Saat ini, hampir 20 tahun aku hidup. Bak mimpi di pagi hari, aku bangun dari ketidakmungkinan. Aku sudah sebesar ini. Tumbuh menjadi wanita tegar, penuh kerelaan dan perjuangan. Aku ini ibarat kartini kecil yang dulu memperjuangkan emansipasi, bedanya kali ini aku memperjuangkan keadilan atas hidup kedua orang tuaku yang kini didustai oleh anak-anak mereka, yang kini dijajah oleh kenistaan anak-anak mereka, yang kini tak mngenal arti tersenyum dan ibadah karena anak-anak mereka, dan yang kini berharap penuh bahwa aku akan pulang membawa kebahagiaan untuk mereka. Aku percaya Rabby punya jalan lain untuk mereka, tapi aku tak sanggup melihat duka dan airmata selalu tersimpan dalam setiap peluh, tatapan, dan hembusan napas lelah yang tersengal-sengal ketika ayah pulang dari menarik ojek. Aku tak tahan melihat goresan lelah dan sedih di balik keriput wajah ibu. Aku tak bisa melihat dunia seperti ini, aku harus berlari, dan berlari menemukan cahaya yang dititipkan itu, menemukan jalan pulang yang baik untuk ayah dan ibu, menemukan gudang keberkahan yang pantas dan layak untuk ayah dan ibu, dan menemukan semangat hidup yang hampir hilang untuk ayah dan ibu.
Aku tak pernah berpikir, sampai kapan aku harus menanggung semua perih, yang kupikir hanya mengembalikan senyum merekah di wajah mereka. Tanpa bicara, aku melangkah setapak demi setapak, mencari ilmu di balik gunung yang megah. Tanpa bekal, uang, apalagi kemewahan. Aku Cuma bisa belajar dari buku-buku usang yang kupinjam dari perpustakaan, hingga akhirnya aku menempuh ujian akhir sekolah dasar dan kusadar sudah 6 tahun aku berjuang mendapatkan keadilan. Saat lulus, ayah dan ibu tersenyum sambil menangis, aku tak dapat melanjutkan sekolah. Tak menyerah, aku rogoh sakuku yang kusam dan kulihat sekeping uang lima ratusan, lalu kulayangkan ke udara dan akhirnya kudapatkan genggamanku melihat garuda yang mngepakkan sayap. Ya, aku mendapatkan beasiswa itu… dengan semangat aku berlari membawa map merah berisi ijazah dan formulir, hujan dan dingin seakan tak berasa. Akhirnya kudapatkan seragam biru-putih itu. Tak putus sampai di situ, ujianku di akhir tahun mendapat penghargaan yang cukup bagus, senang, dan senang, hingga aku lupa bahwa tak ada lagi kesempatan berlena-lena dengan waktu. Tumbuh menjadi belia yang tak tahu pergaulan. Cukup tahu bahwa aku hidup di kota yang tenang, tapi aku tak tahu bahwa teman-temanku punya segudang teman bergaul, sedangkan aku? Setiap detik berkutat dengan ilmu dan membantu ibu. Tapi, tak apa…  hidupku masih panjang, tak perlu yang begitu kalau aku ingin punya sejuta impian.
Akhirnya, kujejakkan kaki di SMA, yah dengan modal pinjaman baju dan uang pendaftaran, aku nekat memasuki sebuah sekolah terkenal dan hebat.  

No comments: