Tuesday, September 18, 2012

Lyani, Bagaimana Hidupmu Tanpa Cinta?


         Sabtu, pukul. 06.16 WIB. Terjaga dari mimpi indah, terbang di pagi hari laksana embun yang kemudian jatuh ke bumi. Dan aku bukanlah siapa-siapa. Begitu juga dia, yang tak kunjung memahami bahwa kekuatan ini adalah miliknya. Sejenak, aku berpikir bahwa setiap kasih sayang sifatnya memang sementara. Sama seperti api-api yang menyala dalam dingin. Hidup, redup, dan memudar kemudian mati. Tapi, untukku... tidak. Ketika aku baru saja tersadar bahwa mimpiku adalah menggapai indahnya surga bersamanya. Namun, jika Dia tidak menghendaki, aku tak bisa berbuat apa-apa karena sejatinya aku mencintainya apa-adanya. Suatu ketika aku bermimpi mencintai seseorang karena Allah, maka dia adalah jawabannya.
Dan lima tahun kemudian... cerita itupun tak berlanjut. Tak kutemukan sepucuk suratpun di dalam kotak surat. Yang tersisa hanya sebuah email. Ketika kubuka... hatiku sama hancurnya dengan isi email itu. Laksana rempah-rempah yang hancur tergiling untuk memberikan sedapnya rasa suatu masakan. Itulah yang bisa aku analogikan dengan setiap-kata-kata yang tersurat di dalam email itu. Memberikan rasa yang luar biasa membuat hidup jauh lebih berwarna. Kali ini warnanya keabu-abuan, mungkin lebih tepat disebut hitam. Karena tak sedikitpun rasa itu menghidupkan cahaya dalam hati. Cuma tinggal satu kata yang pantas terucap, IKHLAS. Ya, aku harus mengikhlaskannya.
Ahad, pukul 13.31 WIB. Aku selalu mencoba memahami kenapa aku merasakan hampa, meskipun aku sadar bahwa cinta sejatiku hanya milik Allah SWT. Hampa itu hadir setelah kuterima email itu. Memaksaku membolak-balikkan pikiran menjadi pikiran positif, akhirnya menjadi sesuatu yang membuncah. Ah, rasanya ingin kunyalakan lentera di balik gulita dalam hati. Seharusnya dari dulu, aku tau bahwa dia tidak pernah memilihku. Bahwa dia hanya pandai berkata-kata yang membuat aku terkagum. Jalan Allah itu begitu indah, aku sangat mengharapkannya menjadi imam bagiku dan calon anak-anakku kelak. Aku ingin sekali berkata bahwa "Kau tau, sejak terakhir kita bicara dan berencana tentang masa depan, kuyakinkan 100% dalam setiap sujudku untuk menunggumu, menunggumu membawaku shalat fardhu berjamaah, berjamaah ke jalan yang diridhoi Allah bersama keluarga kecil kita nanti". Entah kenapa, aku mencoba ikhlas, tetapi hati ini menangis dalam, hingga airmata tak dapat tumpah kembali ke bumi. Aku semakin sadar, bahwa aku cuma sebatang kayu yang jatuh dari langit. Bukan bidadari yang engkau harapkan.
Ketika Adzan...14 Juli. Pkl. 18.11 WIB: Sejenak, aku hanya terdiam di bawah jajaran planet yang berbaris lurus. Tampak indah di awal-awal tahun kabisat. tapi, mungkin tak seindah dan tak selurus niat dan hati ini. Kala sebuah mimpi yang tak kunjung datang. Hampir, setiap malam-malam menjadi seperti siang hari, tanpa bintang. cuma ada seonggok matahari yang panas dan kemudian redup termakan mendung. Ah, aku tak seharusnya berharap pada mimpi. Karena aku hidup untuk membuktikan!

I once explained all about my dream, but up to now there has been no realization indeed proving it. I don't have a strong commitment to make them become real. Whereas, i believe my dream is the means of their lives. God, give me your hands.

WHEN YOU BELIEVE

Many nights we've prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hopeful song
We barely understood
Now we are not afraid
Although we know there's much to fear
We were moving mountains long
Before we knew we could

There can be miracles
When you believe
Though hope is frail
It's hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe
Somehow you will
You will when you believe

In this time of fear
When prayer so often proves in vain
Hope seems like the summer birds
Too swiftly flown away
Yet now i'm standing here
My heart's so full, i can't explain
Seeking faith and speaking words
I never thought i'd say

They don't always happen when you ask
And it's easy to give in to your fears
But when you're blinded by your faith
Can't see your way through the rain
Honesty will reveal all
When hope is very near

Penyair ini benar. Perjalanan yang aku tempuh, bukanlah perjalanan yang biasa. Aku tak pernah sekalipun mengharapkan keajaiban datang dalam setiap detik-detik perjuangan ini. Tak mudah memang, ketika pencarianku hampir dapat, seketika ia hilang. Itu yang membuatku takut untuk kehilangan karena belum memiliki. Tak ada keyakinan. Maka dari itu, aku tak pernah mencoba untuk memiliki sesuatu yang menurutku tak mungkin aku dapatkan. Apakah artinya aku terlalu takut? Takut untuk mendapatkan kebahagiaan di balik penderitaan orang lain? Aku selalu takut untuk bahagia. Karena biasanya kebahagiaanku justru akan membuat orang lain merasa sedih. Aku terlalu iba jika menghadapi persoalan seperti itu. Apakah ini manusiawi, sementara orang lain selalu berusaha menggapai apa yang mereka inginkan meskipun kerap kali menyakiti bahkan membunuh perasaan orang lain. Ah, aku terlalu polos mungkin. Aku tak mengerti mengapa bisa menjadi manusia yang berpikir seperti ini. Apakah karena aku berharap ada kemuliaan di sisiku? Tapi, bukankah justru itu yang membuat aku kehilangan banyak kesempatan untuk berlari kencang.
Kali ini kau akan menemukan sosok yang aneh dalam diriku. Aku tak pernah bermimpi menjadi manusia yang layak. Aku tak pernah memikirkan untuk menjadi orang lain. Kebahagiaanku ada di tanganku sendiri. Kau pasti setuju itu. Akan lebih tajam dalam setiap nafasmu. Aku akan lebih memiliki sesuatu yang benar-benar melesat jauh dari apa yang kau pikirkan saat ini. Lihat. Aku menatap sebuah cermin. Lensa mataku terlihat lebih bening dari sebelumnya. Warnanya kecokelatan dan aku ingin kau tatap mata ini dalam-dalam. Pahami setiap rahasia yang ada di dalamnya. Aku ingin menjadi yang paling misterius dalam hatimu.
Terus kutatap wajah suamiku itu, tapi aku hanya diam. Dia terus menanyakan kenapa aku menatapnya seperti itu. Aku tetap diam. Pohon sakura ini, menjadi saksi bahwa kita sudah bersatu tapi hati kita seolah masih terpisah. Saat kita bertemu kembali, di tempat yang berbeda, negara yang berbeda, dan musim yang berbeda. Kau tiga tahun lalu baru kukenal, kemudian kita terpisah. Karena kita cukup menjadi teman setia dan sahabat karib. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa aku jatuh cinta denganmu karena Allah. Aku memutuskan unuk menjauh dan kini kau benar-benar ada di depanku. Kau menjadi suamiku kini, kita sudah hampir sebulan menikah. Dan hari ini, adalah hari wisuda S2 ku artinya, beberapa hari lagi aku akan mengikuti saranmu untuk masa depanku.
Selama sebulan, kau menjadi suami yang paling romantis dan baik hati. Kau ajarkan banyak hal tentang kesuksesan dan bagaimana memahami dunia. Kini, aku ada di hatimu dan kita pasti akan terus bersama. Aku memutuskan sejak hari ini, sebelum kembali ke Indonesia, aku ingin mendampingimu ke manapun kau pergi. Kau memang seorang diploma yang handal dan pintar. Aku selalu tak ingin jauh darimu. Aku masih tak percaya, kalimat ini benar-benar terwujud. People come and go, but memory always stays.  Let it gone, because I believe. Sampai akhirnya kau kembali dan meanrik semua perkataanmy bahwa kita adalah teman. Aku tak tau, apa yang membuat pikiranmu berputar 360 derajat. Tapi, yang aku tau sekarang kau menjadi orang yang paling berharga setelah ayah dan ibu. Aku tak menyesal meninggalkan Indonesia dan kini bersamamu.
***
Seandainya bisa meminta terus, aku tak ingin berada dalam sakit ini. Hanya membuatku semakin sakit karena aku harus segera meninggalkan kehidupanku di dunia fana ini. Aku tak sanggup memperlihatkan ini kepadamu suamiku. Aku harus kembali ke Indonesia. Setelah bertahun-tahun ini aku hidup mendampingimu, aku tak sanggup melukaimu jika kau tau tentang penyakitku. Bahkan saat aku keguguran anak pertama kita. Ada satu hal dalam hidup, yang tak pernah bisa dimengerti oleh orang lain, yaitu sulitnya memahami orang lain. Kau tak akan mengenalku lagi untuk pikiran ini. Bisa saja, orang-orang datang untuk mengenal kita lebih jauh atau sebaliknya... justru menjauh karena memahami sisi yang lain. Tapi, tidak untukku... aku berusaha memikirkan half full half empty... berpikir secara moderat.
Menurut Buddha, tak ada yang abadi di dunia ini. Hidup laksana api yang dihasilkan dengan menggosokkan dua potong kayu. bersinar sementara, lalu mati. Kita tidak tahu sumber maupun tujuannya. The Blind Owl Sadeq Hedayat benar-benar membuka mataku bahwa kondisi manusia itu rumit. Rumit untuk dipahami, di bawah nalar dan rasional sekalipun. Manusia adalah sebatang kayu, kemudian menyatu dengan kayu lainnya. Menghasilkan api, dan api itu akan menyala... itulah kehidupan. tetapi, nyala itu hanya sementara lalu mati. Begitupun, kasih sayang sesama insan. Jika memang ia intan dan mendapatkan intan.. kemudian nyala api itu membawanya bersama ke surga, itulah yang menunjukkan arah menuju kekekalan... Alam Baqa'. Wallahu'alam.
Dalam penat.... aku mengingat sebuah retorika singkat. Cita-cita luhur aku dan sahabatku, keluargaku yang hingga saat ini tak pernah terlupakan, meskipun kami berada di antara lintas pulau. Kelak kami merupakan agen yang tak lagi bisa merubah dunia. Kenapa? Seberapa pantas kami disebut sebagai agen perubahan? Seberapa besar keikhlasan kami disebut sebagai semangat yang mendasari keinginan untuk bersatu dalam perbedaan yang ada di keluarga kita?
Sebuah kisah di balik perjalanan keluarga kita tahun ini, kalimat-kalimat ini muncul begitu saja, ingat sekali saat itu di awal-awal kenapa tema air yang ingin diangkat di acara kita  Selain wajah-wajah semangat itu, sangat termotivasi dengan kalimat-kalimat di bawah ini,, begitupun dengan ayat Al Quran yang kemudian kubaca.
 “Air yang mengalir itu akan bertemu di muara dan berkumpul di laut. Menyucikan diri saja, kita harus menggunakan air yang mengalir, karena dengan itu kita akan menyucikan lahir dan bathin. Semoga apa menyucikan diri mengantarkan kita pada berkumpulnya para malaikat untuk mendo’akan bahwa Allah akan memberkahi kita dan mendekatkan kita pada kekasihNya. Subhanallah.. benar-benar perjalanan rohani manusia menuju TuhanNya itu sangat indah”, lantas aku tertegun membaca uraian yang kira-kira begini bunyinya.
“Sucikan segala ucapanmu, memberikan kekuatan jasmani untuk beribadah,
Sucikan penciumanmu dan kau bersihkan segala penyakit hati,
Sucikan wajahmu, dan mohonlah ampun untuk segala penglihatan agar cahayaNya melekat di wajahmu nan bersih,
Sucikan tanganmu, kelak kau akan menerima rapor kebaikan,
Sucikan rambutmu, dan kau akan mencium harumnya surga,
Sucikan telingamu, dan kau akan mendengarkan suara malaikat di alam barzah,
Sucikan tengkukmu, dan kau akan terbebaskan dari belenggu An Naar
Sucikan kedua kakimu agar kelak langkahmu dimudahkan melewati jembatan mustaqim”

Begitu sekilas kenapa akhirnya kisah air yang membuat aku sangat memantapkan hati di sini. Beberapa hari kemudian, kudengar keluh kesahmu,
“Dalam senyum keindahan, menatap kesunyian malam, pesona malam alamku, dalam riak, aktifitas adam dan hawa dengan iring-iringan mimpi penuh pengharapan demi hari esok yang lebih cerah, mencerahkan hitamnya kehidupan hari ini. Semoga belum terlalu tua untuk berbuat banyak untuk negeri  ini.”
Aku semakin yakin, mereka di sini bukanlah sekedar berangan-angan tapi ada sejuta alasan untuk bersemangat dalam mengantarkan mimpi kita untuk memajukan negeri. Suamiku, “kedekatan sebagai seorang sahabat, seperti para Nabi memuliakan para sahabatnya, lebih baik untuk rekan seperjuangan”, mereka lah yang membuat aku bertahan. Bertahan dengan segala keterbatasan, tidak boleh mengeluh dan harus selalu sehat, sampai keluar kata-kata menggelikan seperti ini, “Menurut Masaru Emoto San dalam bukunya (efek kesehatan dari pikiran negatif): jika sering membiarkan diri kita stress, maka kita akan mengalai gangguan pencernaan. Jika sering khawatir, kita bisa mengalami sakit punggung. Jika mudah tersinggung, maka kita akan terkena penyakit ginjal. Jika suka marah bisa hepatitis. Jika apatis sama lingkungan, maka vitalitas melemah. Jika sering tidak sabar, maka bisa diabetes. Jika sering merasa kesepian dan sedih bisa demensia senelis dan leukimia. Hm, maka dari itu pelihara hati dan jangan cepat stres”  hingga suatu saat, “Sesampainya  di laut, kukabarkan semuanya, kepada karang kepada ombak kepada matahari. Tetapi semua diam tetapi bisu, tinggal aku sendiri terpaku menatap langit, barangkali di sana ada jawabnya”  Iya, jawabannya di sana di mana langit dijunjung oleh kita. Kadang tak mampu meredam semangat yang akan selalu runtuh dalam keterbatasan.  Aku kecewa dengan segala pelik di sini, tapi, aku yakin... betapapun kita sering disalahkan atau menyalahkan orang lain, kita tak akan pernah lepas dari tanggungjawab untuk memperbaiki hal yang disalahkan itu.
Berapa aksarapun yang dituliskan, tetap menjadi sebuah semangat yang besar, apabila kita bisa meredam egoisme diri untuk menyatukan hati dengan orang lain. Meskipun kepala sama hitam, tak mudah untuk bersatu dalam perbedaan.. ya... itu benar, akan tetapi kita harus ingat bahwa perbedaan pula yang membawa bangsa ini bisa menuju demokrasi, perbedaan pula yang memberikan semangat perjuangan bagi generasi Bung Tomo, Bung Karno, Bung Hatta, dan segenap pejuang lain di kala kemerdekaan belum kita capai. Tantangannya adalah sejauh mana kita mampu memaksimalkan potensi perbedaan itu untuk berjalan ke arah yang positif demi perubahan bangsa.
Bukanlah suatu kebaikan untuk meneruskan perjuangan tanpa kesatuan hati. Memang ini adalah pilihan, sejauh mana pilihan ini tepat untuk kita dan orang-orang yang menyayangi kita. Sebuah cerita perjalanan singkat dari seorang teman, ia selalu bercerita tentang perjalanannya, pernah waktu itu dia bilang,
”Sewaktu aku berjalan langkah demi langkah, tanpa terasa akhirnya aku tertarik dengan sekuntum bunga aster di tepi jalan, lalu aku bertanya wahai bunga... kenapa engkau memilih hidup di tepian jalan? Karna Tuhan telah memerintahku seperti itu, kenapa pula warnamu seindah itu? Indahku mewakili hati seorang pecinta ilahi yang terpinggirkan demi rasa cintaNya. Lalu aku melangkah terharu mendengar ceritanya. Tak jauh dari sana, aku melangkah dan bertemu bunga mawar, kemudian aku bertanya kembali, duhai bunga mawar apakah nasehat yang bisa engkau sampaikan? Kenapa engkau selalu menghadap matahari? Aku adalah cermin jiwa yang selalu rindu cintaNya dan bau harumku mewakili niat ikhlasku memberikan cinta kasih kepada sesama.” Ya... sekelumit perjalanan yang harus mulai disadari oleh kita. Bukan hanya sekedar berbicara tentang kesuksesan, tapi niat yang lahir dari hati dan keikhlasan paling dalamlah yang menjadi penyatu dalam semua perbedaan. Termasuk bagaimana akhirnya kau mau mengizinkan aku untuk jauh darimu sayang.

No comments: