Sabtu, pukul. 06.16 WIB. Terjaga dari mimpi indah,
terbang di pagi hari laksana embun yang kemudian jatuh ke bumi. Dan aku
bukanlah siapa-siapa. Begitu juga dia, yang tak kunjung memahami bahwa kekuatan
ini adalah miliknya. Sejenak, aku berpikir bahwa setiap kasih sayang sifatnya
memang sementara. Sama
seperti api-api yang menyala dalam dingin. Hidup, redup, dan memudar kemudian
mati. Tapi, untukku... tidak. Ketika aku baru saja tersadar bahwa mimpiku
adalah menggapai indahnya surga bersamanya. Namun, jika Dia tidak menghendaki,
aku tak bisa berbuat apa-apa karena sejatinya aku mencintainya apa-adanya.
Suatu ketika aku bermimpi mencintai seseorang karena Allah, maka dia adalah
jawabannya.
Dan lima tahun kemudian...
cerita itupun tak berlanjut. Tak kutemukan sepucuk suratpun di dalam kotak
surat. Yang tersisa hanya sebuah email. Ketika kubuka... hatiku sama hancurnya
dengan isi email itu. Laksana rempah-rempah yang hancur tergiling untuk
memberikan sedapnya rasa suatu masakan. Itulah yang bisa aku analogikan dengan
setiap-kata-kata yang tersurat di dalam email itu. Memberikan rasa yang luar
biasa membuat hidup jauh lebih berwarna. Kali ini warnanya keabu-abuan, mungkin
lebih tepat disebut hitam. Karena tak sedikitpun rasa itu menghidupkan cahaya
dalam hati. Cuma tinggal satu kata yang pantas terucap, IKHLAS. Ya, aku harus
mengikhlaskannya.
Ahad, pukul 13.31 WIB. Aku
selalu mencoba memahami kenapa aku merasakan hampa, meskipun aku sadar bahwa
cinta sejatiku hanya milik Allah SWT. Hampa itu hadir setelah kuterima email
itu. Memaksaku membolak-balikkan pikiran menjadi pikiran positif, akhirnya
menjadi sesuatu yang membuncah. Ah, rasanya ingin kunyalakan lentera di balik gulita
dalam hati. Seharusnya dari dulu, aku tau bahwa dia tidak pernah memilihku.
Bahwa dia hanya pandai berkata-kata yang membuat aku terkagum. Jalan Allah itu
begitu indah, aku sangat mengharapkannya menjadi imam bagiku dan calon
anak-anakku kelak. Aku ingin sekali berkata bahwa "Kau tau, sejak terakhir
kita bicara dan berencana tentang masa depan, kuyakinkan 100% dalam setiap
sujudku untuk menunggumu, menunggumu membawaku shalat fardhu berjamaah,
berjamaah ke jalan yang diridhoi Allah bersama keluarga kecil kita nanti".
Entah kenapa, aku mencoba ikhlas, tetapi hati ini menangis dalam, hingga
airmata tak dapat tumpah kembali ke bumi. Aku semakin sadar, bahwa aku cuma
sebatang kayu yang jatuh dari langit. Bukan bidadari yang engkau harapkan.
Ketika Adzan...14 Juli. Pkl.
18.11 WIB: Sejenak, aku hanya terdiam di bawah jajaran planet yang berbaris
lurus. Tampak indah di
awal-awal tahun kabisat. tapi, mungkin tak seindah dan tak selurus niat dan
hati ini. Kala sebuah mimpi yang tak kunjung datang. Hampir, setiap
malam-malam menjadi seperti siang hari, tanpa bintang. cuma ada seonggok
matahari yang panas dan kemudian redup termakan mendung. Ah, aku tak seharusnya berharap pada mimpi. Karena aku hidup untuk
membuktikan!
I once explained all about my dream, but up
to now there has been no realization indeed proving it. I don't have a strong
commitment to make them become real. Whereas, i believe my dream is the means
of their lives. God, give me your hands.
WHEN
YOU BELIEVE
Many nights
we've prayed
With no proof anyone
could hear
In our hearts a
hopeful song
We barely
understood
Now we are not
afraid
Although we know
there's much to fear
We were moving
mountains long
Before we knew
we could
There can be
miracles
When you believe
Though hope is
frail
It's hard to kill
Who knows what
miracles
You can achieve
When you believe
Somehow you will
You will when
you believe
In this time of
fear
When prayer so
often proves in vain
Hope seems like
the summer birds
Too swiftly
flown away
Yet now i'm
standing here
My heart's so
full, i can't explain
Seeking faith
and speaking words
I never thought
i'd say
They don't
always happen when you ask
And it's easy to
give in to your fears
But when you're
blinded by your faith
Can't see your
way through the rain
Honesty will
reveal all
When hope is
very near
Penyair ini benar. Perjalanan
yang aku tempuh, bukanlah perjalanan yang biasa. Aku tak pernah sekalipun
mengharapkan keajaiban datang dalam setiap detik-detik perjuangan ini. Tak
mudah memang, ketika pencarianku hampir dapat, seketika ia hilang. Itu yang
membuatku takut untuk kehilangan karena belum memiliki. Tak ada keyakinan. Maka
dari itu, aku tak pernah mencoba untuk memiliki sesuatu yang menurutku tak
mungkin aku dapatkan. Apakah artinya aku terlalu takut? Takut untuk mendapatkan
kebahagiaan di balik penderitaan orang lain? Aku selalu takut untuk bahagia.
Karena biasanya kebahagiaanku justru akan membuat orang lain merasa sedih. Aku
terlalu iba jika menghadapi persoalan seperti itu. Apakah ini manusiawi,
sementara orang lain selalu berusaha menggapai apa yang mereka inginkan
meskipun kerap kali menyakiti bahkan membunuh perasaan orang lain. Ah, aku
terlalu polos mungkin. Aku tak mengerti mengapa bisa menjadi manusia yang
berpikir seperti ini. Apakah karena aku berharap ada kemuliaan di sisiku? Tapi,
bukankah justru itu yang membuat aku kehilangan banyak kesempatan untuk berlari
kencang.
Kali ini kau akan menemukan
sosok yang aneh dalam diriku. Aku tak pernah bermimpi menjadi manusia yang
layak. Aku tak pernah memikirkan untuk menjadi orang lain. Kebahagiaanku ada di
tanganku sendiri. Kau pasti setuju itu. Akan lebih tajam dalam setiap nafasmu.
Aku akan lebih memiliki sesuatu yang benar-benar melesat jauh dari apa yang kau
pikirkan saat ini. Lihat. Aku menatap sebuah cermin. Lensa mataku terlihat
lebih bening dari sebelumnya. Warnanya kecokelatan dan aku ingin kau tatap mata
ini dalam-dalam. Pahami setiap rahasia yang ada di dalamnya. Aku ingin menjadi
yang paling misterius dalam hatimu.
Terus kutatap wajah suamiku
itu, tapi aku hanya diam. Dia terus menanyakan kenapa aku menatapnya seperti
itu. Aku tetap diam. Pohon sakura ini, menjadi saksi bahwa kita sudah bersatu
tapi hati kita seolah masih terpisah. Saat kita bertemu kembali, di tempat yang
berbeda, negara yang berbeda, dan musim yang berbeda. Kau tiga tahun lalu baru
kukenal, kemudian kita terpisah. Karena kita cukup menjadi teman setia dan
sahabat karib. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa aku jatuh cinta denganmu
karena Allah. Aku memutuskan unuk menjauh dan kini kau benar-benar ada di
depanku. Kau menjadi suamiku kini, kita sudah hampir sebulan menikah. Dan hari
ini, adalah hari wisuda S2 ku artinya, beberapa hari lagi aku akan mengikuti
saranmu untuk masa depanku.
Selama sebulan, kau menjadi
suami yang paling romantis dan baik hati. Kau ajarkan banyak hal tentang
kesuksesan dan bagaimana memahami dunia. Kini, aku ada di hatimu dan kita pasti
akan terus bersama. Aku memutuskan sejak hari ini, sebelum kembali ke
Indonesia, aku ingin mendampingimu ke manapun kau pergi. Kau memang seorang
diploma yang handal dan pintar. Aku selalu tak ingin jauh darimu. Aku masih tak
percaya, kalimat ini benar-benar terwujud. People come and go, but memory always stays. Let it gone, because I believe. Sampai
akhirnya kau kembali dan meanrik semua perkataanmy bahwa kita adalah teman. Aku tak tau, apa yang membuat pikiranmu
berputar 360 derajat. Tapi, yang aku tau sekarang kau menjadi orang yang paling
berharga setelah ayah dan ibu. Aku tak menyesal meninggalkan Indonesia dan kini
bersamamu.
***
Seandainya bisa meminta terus,
aku tak ingin berada dalam sakit ini. Hanya membuatku semakin sakit karena aku
harus segera meninggalkan kehidupanku di dunia fana ini. Aku tak sanggup
memperlihatkan ini kepadamu suamiku. Aku harus kembali ke Indonesia. Setelah bertahun-tahun
ini aku hidup mendampingimu, aku tak sanggup melukaimu jika kau tau tentang
penyakitku. Bahkan saat aku keguguran anak pertama kita. Ada satu hal dalam
hidup, yang tak pernah bisa dimengerti oleh orang lain, yaitu sulitnya memahami
orang lain. Kau tak akan mengenalku lagi untuk pikiran ini. Bisa saja,
orang-orang datang untuk mengenal kita lebih jauh atau sebaliknya... justru
menjauh karena memahami sisi yang lain. Tapi, tidak untukku... aku
berusaha memikirkan half full half empty...
berpikir secara moderat.
Menurut Buddha, tak ada yang abadi di dunia ini. Hidup laksana api yang
dihasilkan dengan menggosokkan dua potong kayu. bersinar sementara, lalu mati.
Kita tidak tahu sumber maupun tujuannya. The
Blind Owl Sadeq Hedayat benar-benar membuka mataku bahwa kondisi manusia
itu rumit. Rumit untuk dipahami, di bawah nalar dan rasional sekalipun. Manusia
adalah sebatang kayu, kemudian menyatu dengan kayu lainnya. Menghasilkan api,
dan api itu akan menyala... itulah kehidupan. tetapi, nyala itu hanya sementara
lalu mati. Begitupun, kasih sayang
sesama insan. Jika memang ia intan dan mendapatkan intan.. kemudian nyala api
itu membawanya bersama ke surga, itulah yang menunjukkan arah menuju
kekekalan... Alam Baqa'. Wallahu'alam.
Dalam penat.... aku mengingat
sebuah retorika singkat. Cita-cita luhur aku dan sahabatku, keluargaku yang
hingga saat ini tak pernah terlupakan, meskipun kami berada di antara lintas
pulau. Kelak kami merupakan agen yang tak lagi bisa merubah dunia. Kenapa?
Seberapa pantas kami disebut sebagai agen perubahan? Seberapa besar keikhlasan
kami disebut sebagai semangat yang mendasari keinginan untuk bersatu dalam
perbedaan yang ada di keluarga kita?
Sebuah kisah di balik
perjalanan keluarga kita tahun ini, kalimat-kalimat ini muncul begitu saja,
ingat sekali saat itu di awal-awal kenapa tema air yang ingin diangkat di acara
kita Selain wajah-wajah semangat itu,
sangat termotivasi dengan kalimat-kalimat di bawah ini,, begitupun dengan ayat
Al Quran yang kemudian kubaca.
“Air yang
mengalir itu akan bertemu di muara dan berkumpul di laut. Menyucikan diri saja,
kita harus menggunakan air yang mengalir, karena dengan itu kita akan
menyucikan lahir dan bathin. Semoga apa menyucikan diri mengantarkan kita pada
berkumpulnya para malaikat untuk mendo’akan bahwa Allah akan memberkahi kita
dan mendekatkan kita pada kekasihNya. Subhanallah.. benar-benar perjalanan
rohani manusia menuju TuhanNya itu sangat indah”, lantas aku tertegun membaca
uraian yang kira-kira begini bunyinya.
“Sucikan
segala ucapanmu, memberikan kekuatan jasmani untuk beribadah,
Sucikan
penciumanmu dan kau bersihkan segala penyakit hati,
Sucikan
wajahmu, dan mohonlah ampun untuk segala penglihatan agar cahayaNya melekat di
wajahmu nan bersih,
Sucikan
tanganmu, kelak kau akan menerima rapor kebaikan,
Sucikan
rambutmu, dan kau akan mencium harumnya surga,
Sucikan
telingamu, dan kau akan mendengarkan suara malaikat di alam barzah,
Sucikan
tengkukmu, dan kau akan terbebaskan dari belenggu An Naar
Sucikan
kedua kakimu agar kelak langkahmu dimudahkan melewati jembatan mustaqim”
Begitu sekilas kenapa akhirnya
kisah air yang membuat aku sangat memantapkan hati di sini. Beberapa hari
kemudian, kudengar keluh kesahmu,
“Dalam senyum keindahan, menatap kesunyian malam, pesona malam alamku,
dalam riak, aktifitas adam dan hawa dengan iring-iringan mimpi penuh
pengharapan demi hari esok yang lebih cerah, mencerahkan hitamnya kehidupan
hari ini. Semoga belum terlalu tua untuk berbuat banyak untuk negeri ini.”
Aku semakin yakin, mereka di
sini bukanlah sekedar berangan-angan tapi ada sejuta alasan untuk bersemangat
dalam mengantarkan mimpi kita untuk memajukan negeri. Suamiku, “kedekatan
sebagai seorang sahabat, seperti para Nabi memuliakan para sahabatnya, lebih
baik untuk rekan seperjuangan”, mereka lah yang membuat aku bertahan. Bertahan
dengan segala keterbatasan, tidak boleh mengeluh dan harus selalu sehat, sampai
keluar kata-kata menggelikan seperti ini, “Menurut Masaru Emoto San dalam
bukunya (efek kesehatan dari pikiran negatif): jika sering membiarkan diri kita stress, maka kita akan mengalai
gangguan pencernaan. Jika sering khawatir, kita bisa mengalami sakit punggung.
Jika mudah tersinggung, maka kita akan terkena penyakit ginjal. Jika suka marah
bisa hepatitis. Jika apatis sama lingkungan, maka vitalitas melemah. Jika
sering tidak sabar, maka bisa diabetes. Jika sering merasa kesepian dan sedih
bisa demensia senelis dan leukimia. Hm, maka dari itu pelihara hati dan jangan
cepat stres” hingga suatu saat, “Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya, kepada karang
kepada ombak kepada matahari. Tetapi semua diam tetapi bisu, tinggal aku
sendiri terpaku menatap langit, barangkali di sana ada jawabnya” Iya, jawabannya di sana di mana langit
dijunjung oleh kita. Kadang tak mampu meredam semangat yang akan selalu runtuh
dalam keterbatasan. Aku kecewa dengan
segala pelik di sini, tapi, aku yakin... betapapun kita sering disalahkan atau
menyalahkan orang lain, kita tak akan pernah lepas dari tanggungjawab untuk
memperbaiki hal yang disalahkan itu.
Berapa aksarapun yang
dituliskan, tetap menjadi sebuah semangat yang besar, apabila kita bisa meredam
egoisme diri untuk menyatukan hati dengan orang lain. Meskipun kepala sama
hitam, tak mudah untuk bersatu dalam perbedaan.. ya... itu benar, akan tetapi
kita harus ingat bahwa perbedaan pula yang membawa bangsa ini bisa menuju
demokrasi, perbedaan pula yang memberikan semangat perjuangan bagi generasi
Bung Tomo, Bung Karno, Bung Hatta, dan segenap pejuang lain di kala kemerdekaan
belum kita capai. Tantangannya adalah sejauh mana kita mampu memaksimalkan
potensi perbedaan itu untuk berjalan ke arah yang positif demi perubahan
bangsa.
Bukanlah suatu kebaikan untuk
meneruskan perjuangan tanpa kesatuan hati. Memang ini adalah pilihan, sejauh
mana pilihan ini tepat untuk kita dan orang-orang yang menyayangi kita. Sebuah
cerita perjalanan singkat dari seorang teman, ia selalu bercerita tentang
perjalanannya, pernah waktu itu dia bilang,
”Sewaktu
aku berjalan langkah demi langkah, tanpa terasa akhirnya aku tertarik dengan
sekuntum bunga aster di tepi jalan, lalu aku bertanya wahai bunga... kenapa
engkau memilih hidup di tepian jalan? Karna Tuhan telah memerintahku seperti
itu, kenapa pula warnamu seindah itu? Indahku mewakili hati seorang pecinta
ilahi yang terpinggirkan demi rasa cintaNya. Lalu aku melangkah terharu
mendengar ceritanya. Tak jauh dari sana, aku melangkah dan bertemu bunga mawar,
kemudian aku bertanya kembali, duhai bunga mawar apakah nasehat yang bisa
engkau sampaikan? Kenapa engkau selalu menghadap matahari? Aku adalah cermin
jiwa yang selalu rindu cintaNya dan bau harumku mewakili niat ikhlasku
memberikan cinta kasih kepada sesama.” Ya... sekelumit perjalanan yang harus mulai
disadari oleh kita. Bukan hanya sekedar berbicara tentang kesuksesan, tapi niat
yang lahir dari hati dan keikhlasan paling dalamlah yang menjadi penyatu dalam
semua perbedaan. Termasuk bagaimana akhirnya kau mau mengizinkan aku untuk jauh
darimu sayang.
No comments:
Post a Comment