Thursday, September 20, 2012

Selayang Pandang Kepulauan Riau




Letak Provinsi Kepulauan Riau
Ketika berada di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain, mungkin sebagai anak rantau kita bisa lupa dengan tanah kelahiran sendiri. Tidak semua sih, tapi terkadang hal itu benar. Bahkan secara bahasapun kadang lupa, kecuali yang memang pergaulannya masih sesama anak rantau dari daerah yang sama. Sederhananya, cara berbicara... jujur saja dari kampungku kalau berbicara sehari-hari menggunakan bahasa ”aku dan engkau/engko”. Tapi, ketika sampai di Jakarta, tak sedikit juga yang lupa dengan kata itu jadi berganti ”elo dan gue”. Nah, ini dia fenomena yang sering kali terjadi. Itu sebabnya, saya tak pernah merubah cara memanggil yaitu dengan ”aku” atau menyebut nama sendiri dan memanggil ”kamu” dengan kata ”kamu”. Rasa-rasanya tak sesuai menggunakan ”elo dan gue”. Lebih sering lagi, menggunakan kata saya, apalagi untuk berbicara dengan orang yang lebih tua. Begitulah penulis mengartikan falsafah ”Tak Melayu Hilang di Bumi”. Artinya, ke mana saja pergi, budaya ini terus harus dibawa. Apalagi, katanya bahasa Melayu itu adalah bahasa yang kemudian lahir sebagai bahasa nasional, alias bahasa Indonesia. Tapi, sayangnya tak banyak yang sadar dengan hal itu. Bisa jadi, bahasa Melayu hilang ditelan zaman dan diganti dengan bahasa ”gaul” atau lebih sering dikenal bahasa ”alay”. Contohnya ”cemungudh eaaa kakaaaa...hehehe”. Wallahu’alam.
Berbicara tentang tanah kelahiran, saya ingin sekali mengenalkan kamu tentang tanah tempat saya dibesarkan, yaitu di semenanjung Malaya sana. Bisa jadi, kali ini berbicaranya sedikit kedaerahan. Tapi, tak bermaksud untuk menonjolkan daerah sendiri, hanya saja kamu perlu tau bahwa Indonesia itu sangat kaya akan budaya dan suku bangsa. Bahkan, Indonesia itu diakui sebagai ”homeland  dari generasi muda keturunan asli Indonesia di tanah semenanjung sana. Misalnya saja di Malaysia, Thailand, atau Singapura, bahkan juga Filiphina banyak juga keturunan asal Indonesia. Jadi, berbanggalah dengan bangsa sendiri. Artinya, bangsa Indonesia itu sukses untuk adaptasi dan survive dengan bermigrasi ke daerah baru sekalipun-yang saat ini adalah Negara yang berbeda-. Kembali ke tanah tempat saya dibesarkan, kenapa dibesarkan? Pasalnya, saya memang dilahirkan di sebuah perkampungan kecil di tanah Johor, Malaysia. Tapi, sejak usia 6 tahun berimigrasi ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Karena orangtua inginnya saya tetap memiliki status WNI. Yah, mungkin ada hikmahnya. 
Salah satu seni musik Melayu Kepulauan Riau
Nyatanya, sekarang saya mengabdi untuk NKRI. Ceritanya, di sana itu (baca: Tanjungpinang, Pulau Bintan) mayoritas adalah keturunan Melayu. Karena dulunya, wilayah ini adalah bagian dari pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga-Johor. Bicara sejarah memang sangat panjang, singkatnya wilayah ini adalah tempat di mana orang-orang Melayu dibesarkan. Selidik punya selidik, ternyata saya juga bukan asli berdarah Melayu. Alias keturunan Sunda, perpaduan keturunan asal Tasikmalaya dan Cianjur. Nah... itu dia yang jadi pertanyaan. Lantas, siapa saya yang mengaku anak Melayu? Hehe, orang bilang Tak Melayu Hilang di Bumi. Sejak fase pendidikan dasar, alias saatnya pembentukan karakter hingga proses pendewasaan usia 6 hingga 18 tahun, saya berdomisili di sana. Tempat saya belajar seni dan sastra, serta adat Melayu. Ingat sekali sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana memiliki etika selayaknya bangsa Melayu, yang santun dan ramah. Bagaimana tatacara berbahasa dan bersikap, hingga mempelajari adat perkawinan, masakan khas Melayu, dan  segala hal tentang Melayu itu sendiri. Akhirnya, di situlah jatidiri saya ditemukan. Ya, saya bagian dari Melayu dan “Takkan Melayu Hilang di Bumi”. Bagaimana dengan kamu? Ceritamu tentang daerahmu?
Kembali ke ceritaku, kali ini ingin memperkenalkan sebuah provinsi di perbatasan sana. Antara Indonesia-Singapura-Malaysia, kotaku berdiri kokoh. Hm, lebih tepatnya berdaulat kokoh di bawah naungan NKRI. Kalau melihat secara perundang-undangan Provinsi Kepulauan Riau itu, terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002, yang notabenenya Provinsi ke-32 di Indonesia. Kami memiliki 2 kota dan 5 kabupaten, yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Anambas, dan Kabupaten Lingga. Secara administratif, terdapat lebih dari 40 Kecamatan serta 300an Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil di mana 40% belum bernama dan berpenduduk. Sedangkan luas wilayahnya, sebesar 252.601 Km2, di mana 95%-nya merupakan lautan dan hanya 5% merupakan wilayah daratan. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya bergerak di bidang Kelautan, karena alasan ini, saya dibesarkan di tempat yang dikelilingi oleh laut. Wow, maka tak heran dengan keindahan panorama pantai, mangrove, terumbu karang, lamun, dan hamparan langit luas di atas birunya laut. Bagaimana dengan daerahmu?
 Kalau berpikir dari segi perbatasan, kenapa disebut perbatasan? Bisa dicek juga di peta, provinsi Kepulauan Riau berbatasan langsung dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah Utara, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau.

Wisata Bahari Kabupaten Anambas
Sebelah timur berbatasan dengan Malaysia, Brunei Darussalam, dan Provinsi Kalimantan Barat. Hanya sebelah selatan yang berbatasan dengan provinsi di NKRI, yaitu Bangka Belitung dan Jambi. Wilayah ini berada di lintas batas perdagangan internasional, dengan letak geografis yang strategis (antara Laut Cina Selatan, Selat Malaka dengan Selat Karimata).
Pantai Trikora Bintan, Tanjungpinang
Wah, maka tak heran Provinsi Kepulauan Riau dimungkinkan untuk menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi bagi Republik Indonesia di masa depan (mungkin sudah dimulai saat ini). Apalagi saat ini pada beberapa daerah di Kepulauan Riau (Batam, Bintan, dan Karimun) tengah diupayakan sebagai pilot project pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui kerjasama dengan Pemerintah Singapura dan Malaysia.
Penerapan kebijakan KEK di Batam-Bintan-Karimun, merupakan bentuk kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan partisipasi dunia usaha. KEK ini nantinya merupakan simpul-simpul dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya, akan memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktik-praktik terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik. Itulah kenapa banyak barang-barang yang dijual bebas tanpa bea cukai di daerah saya dengan istilah Black Market
Jembatan Barelang, Kota Batam

Bukan berarti barangnya tidak legal dan tidak original/berkualitas, akan tetapi memang tidak ada bea cukai yang dibebankan untuk memperdagangkan barang-barang itu. Misal, banyak dikenal dengan barang elektronik BM. Tak perlu khawatir jika membeli produk di tempat saya, (edisi promosi... hehe). Ini memang keistimewaan Kawasan Ekonomi Khusus. Alhasil, segala kebutuhan di sini pun harganya bergantung naik-turunnya kurs dollar Singapura ataupun ringgit Malaysia. Jadi, tak heran untuk biaya hidup di sini sedikit lebih mahal dibandingkan kota-kota lain di Indonesia.
Tepi Laut Kota Tanjungpinang
Hm, ibukota Provinsi Kepulauan Riau adalah Tanjungpinang. Sebuah kota di ujung selatan Pulau Bintan dan berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan kapal laut dari singapura dan 3 jam dari Johor-Malaysia. Kota yang sarat akan sejarah, budaya dan adat istiadat Melayu. Kondisi Geografisnya yang terdiri dari beberapa pulau merupakan keistimewaan tersendiri bagi Kota Tanjungpinang. 
 Salah satu pulau yang sarat dengan sejarah adalah Pulau Penyengat, Pulau ini tidak terlalu besar, hanya 3.5 Km2, akan tetapi di Pulau ini terdapat banyak peninggalan berupa potensi cagar budaya sejarah kerajaan Melayu Riau-Lingga, dengan wujud bangunan-bangunan arsitektural, makam, dan situs lain. Di sisi lain Pulau Penyengat adalah tempat kelahiran Pahlawan Nasional, pelopor Bahasa Indonesia, yaitu Raja Ali Haji yang terkenal dengan karya Gurindam 12-nya. Pulau Penyengat ini terletak pada lokasi yang sangat startegis yaitu berada di sebelah barat Kota Tanjungpinang dan untuk ke sana dapat dilewati dengan jalur transportasi laut, serupa perahu kayu bermotor atau ”pompong” tak lebih dari 15 menit.
Masjida Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Sri Inderasakti
 Dahulu Pulau yang berhadapan dengan Kuala Sungai Riau ini selalu menjadi tempat pemberhentian para pelaut yang lewat di kawasan ini terutama untuk mengambil air tawar. Di salah satu sisi Pulau terdapat sumur air tawar yang tidak pernah kering dan terletak hanya berjarak 10 meter dari laut. Sumur itu masih ada hingga sekarang, dan selalu saya jadikan air minum atau untuk berwudhu jika berkunjung ke sana. Konon, air itu dianggap membawa keberkahan dan ketenangan bagi siapapun yang meminumnya. Konon juga, suatu ketika para pelaut yang sedang mengambil air tawar di sana, diserang oleh sejenis lebah yang disebut Penyengat. Akibat serangan lebah itu, jatuh korban jiwa dari pelaut. Penyengat itu dianggap sangat sakti karena dapat melumpuhkan musuh. Sejak saat itulah pulau ini dinamakan Penyengat Indera Sakti dan selanjutnya lebih dikenal dengan Pulau Penyengat sampai sekarang. Karena letaknya yang cukup strategis bagi pertahanan, Pulau Penyengat dijadikan Pusat Kubu pertahanan Kerajaan Riau oleh Raja Haji yang Dipertuan Muda Riau IV (termasyhur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah/Marhum Teluk Ketapang) ketika melawan Belanda pada tahun 1782-1784.
Pintu selamat datang di Pulau Penyengat
Sedikit bicara sejarah lagi, pada tahun 1803 Pulau Penyengat yang telah dibina dari dari sebuah pusat pertahanan menjadi negeri dengan segala fasilitas yang memadai, dijadikan mahar/maskawin dari Baginda Raja Sultan Mahmud kepada Raja Hamidah atau Engku Puteri, anak seorang yang dipertuan Riau yang terkemuka yaitu Raja Haji Fisabilillah atau Marhum Teluk Ketapang. Selanjutnya pulau Penyengat menjadi tempat kediaman resmi Para Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, sementara Sultan (Yang Dipertuan Besar) berkedudukan di Daik-Lingga.
Diantara beberapa peniggalan Sultan Riau yang terdapat di Pulau Penyengat sebagai bukti sejarah pada masa lampau yaitu : Masjid Agung Sultan Riau, Empat buah komplek makam Raja, Dua buah bekas istana dan beberapa gedung lama, termasuk gedung mesiu, dan meriam-meriam tua, dan Benteng pertahanan, sumur dan taman.

Kompleks Makam Raja Ali Haji pengarang Gurindam Dua Belas
 Kota Tanjungpinang dan semua wilayah Provinsi Kepulauan Riau, posisinya terlindung dari pengaruh cuaca buruk dan alur laut yang cukup dalam, merupakan tempat yang ideal bagi armada pelayaran untuk berlindung dari serangan badai, atau untuk berlabuh sementara mengambil air dan perbekalan. Menjelang berdirinya Kerajaan Riau (1722), Tanjungpinang telah menjadi kubu pertahanan Raja Kechik dalam perang saudara merebutkan tahta Kerajaan Johor melawan Tengku Sulaiman dan sekutunya. Setelah berdiri kerajaan Riau, kedudukan Tanjungpinang sebagai pusat pertahanan makin jelas ketika Riau bersiap menghadapi perang melawan Belanda (VOC) antara tahun 1782-1784. Benteng Riau di Tanjungpinang dan sekitarnya sangat berjasa dalam menahan serbuan armada Belanda ke pusat kerajaan Riau dan memaksa Belanda mundur ke Malaka.
Rumah Panggong Melayu
 Semenjak tahun 1784, Tanjungpinang mulai tumbuh sebagai sebuah tempat pemukiman dan kemudian menjadi sebuah kota yang juga berperan sebagai bandar atau pusat perdagangan. Fungsi dan kedudukan sebagai pusat perdagangan menjadikan Tanjungpinang sebagai kota penting di Sumatra bagian Timur sesudah Medan dan Palembang. Selain Tanjungpinang ditetapkan sebagai ibukota keresidenan Belanda untuk wilayah yang cukup luas, yaitu sampai kesebagian Sumatra bagian Tengah dan sebagian Sumatra bagian Utara. Pada tahun 1983, sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 31 tahun 1983 tanggal 18 Oktober 1983 telah dibentuk Kota Administratif Tanjungpinang yang membawahi kecamatan Tanjungpinang Timur dan Tanjungpinang Barat. Selanjutnya pada tahun 2001 sesuai dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001, kota Administratif Tanjungpinang menjadi kota Tanjungpinang dengan membawahi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kecamatan Tanjungpinang Barat, Kecamatan Bukit Bestari dan Kecamatan Tanjungpinang Timur. Inilah sedikit sejarah Kota Tanjunpinang, tempat saya dibesarkan dan dididik menjadi seorang nasionalis dari perbatasan. Idealis ya ^,^.


Tugu Raja Haji Fisabilillah di Tepi Laut Tangjungpinang
Nah, bagaimana dengan budaya di sana? Dalam tradisi Melayu, ada semacam ungkapan "Adat Bersendikan Syarak, dan Syarak Bersendikan Kitabullah". Hal ini menyiratkan bahwa secara langsung atau tidak tradisi kebudayaan melayu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam. Adat dalam Melayu sangat diutamakan dan menjadi ukuran derajat seseorang. Orang yang tidak tahu adat atau kurang mengerti adat dianggap sangat memalukan dan dapat dikucilkan dari kelompok masyarakat. Ungkapan atau cap kepada mereka yang "tak tabu adat" atau "tak beradat". Begitu pentingnya sehingga timbul ungkapan lain, "Biar mati Anak, jangan mati Adat". Ungkapan lainnya adalah: "Biar mati Istri, jangan mati Adat". Semua ungkapan ini Menunjukan betapa adat-istiadat dalam masyarakat Melayu sangat dijunjung tinggi. "Tak kan Melayu hilang di bumi", adalah keyakinan masyarakat Melayu Riau akan tradisi dan budayanya. Kalimat ini diucapkan secara turun-temurun dan telah mendarah-daging bagi orang Melayu. Sedikit dijelaskan, Riau dan Kepulauan Riau kini menjadi dua wilayah yang terpisah secara administratif. Tapi, kedua provinsi ini memiliki kesamaan sejarah dan berkembang mandiri (alias pemekaran). Maka tak heran, mayoritas pendudukpun memiliki adat dan budaya yang sama. Hanya saja, dalam perkembangannya, di Kepulauan Riau lebih dekat dengan orang-orang Melayu Johor.
Sifat masyarakat Melayu yang terbuka menyebabkan terbentuknya tradisi yang majemuk. Tradisi luar masuk ke Kepulauan Riau sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, saat mana budaya Melayu Kuno telah bercampur dengan tradisi Hindu dan Budha. Akibat perdagangan antar daerah yang berlangsung selama puluhan tahun, masuk pula tradisi Bugis, Banjar, Minang, Jawa dan lain-lain. Semasa masuknya Portugis ke Melaka, datang pula tradisi Sunda mewarnai tradisi Melayu Riau. Jadi, bisa dibilang Kepulauan Riau sudah sangat terbuka dengan budaya selain Melayu. Dan perbedaan yang ada itu menjadi indah saat ini, karena semua suku hidup berdampingan dengan rukun.
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan Melayu yang paling menonjol, meliputi seni sastra, seni tari, seni suara, seni musik, seni rupa dan seni teater. Seni sastranya terdiri dari sastra tulis (berupa syair, hikayat, kesejarahan, kesatraan, adat istiadat dan lain-lain) dan sastra ligan seperti pantun (pepatah, petitih, peribahasa, bidal, perumpamaan dan lain-lain), mantra cerita rakyat, koba, kayat dan nyanyi panjang. Karya seni sastra paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas hasil karya Raja Ali Haji.
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk adalah bahasa Melayu, yang pada hakikatnya merupakan akar bahasa Indonesia. Sehingga siapa saja yang bisa berbahasa Indonesia dapat berkomunikasi dengan orang Kepulauan Riau. Namun, di sini juga terdapat suku asli, yang dikenal dengan suku laut orang sampan. Yang memang tinggal di atas sampan/perahu kayu selama hidupnya. Bahasa yang digunakan sedikit berbeda dari bahasa Melayu yang dikenal. Begitu juga dengan beberapa Pulau seperti Natuna, Anambas, dan Lingga sendiri memiliki dialek yang berbeda meski sama-sama berdasarkan bahasa Melayu.
Nah, tertarik untuk mengunjungi daerah saya? Siapa tau memiliki rezeki lebih, nantinya kita bisa back-packeran bareng ke sana ^,^.

No comments: