Letak Provinsi Kepulauan Riau |
Ketika berada di kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain, mungkin sebagai anak
rantau kita bisa lupa dengan tanah kelahiran sendiri. Tidak semua sih, tapi
terkadang hal itu benar. Bahkan secara bahasapun kadang lupa, kecuali yang
memang pergaulannya masih sesama anak rantau dari daerah yang sama.
Sederhananya, cara berbicara... jujur saja dari kampungku kalau berbicara
sehari-hari menggunakan bahasa ”aku dan engkau/engko”. Tapi, ketika sampai di
Jakarta, tak sedikit juga yang lupa dengan kata itu jadi berganti ”elo dan
gue”. Nah, ini dia fenomena yang sering kali terjadi. Itu sebabnya, saya tak
pernah merubah cara memanggil yaitu dengan ”aku” atau menyebut nama sendiri dan
memanggil ”kamu” dengan kata ”kamu”. Rasa-rasanya tak sesuai menggunakan ”elo
dan gue”. Lebih sering lagi, menggunakan kata saya, apalagi untuk berbicara
dengan orang yang lebih tua. Begitulah penulis mengartikan falsafah ”Tak Melayu
Hilang di Bumi”. Artinya, ke mana saja pergi, budaya ini terus harus dibawa.
Apalagi, katanya bahasa Melayu itu adalah bahasa yang kemudian lahir sebagai
bahasa nasional, alias bahasa Indonesia. Tapi, sayangnya tak banyak yang sadar
dengan hal itu. Bisa jadi, bahasa Melayu hilang ditelan zaman dan diganti
dengan bahasa ”gaul” atau lebih sering dikenal bahasa ”alay”. Contohnya ”cemungudh eaaa kakaaaa...hehehe”. Wallahu’alam.
Berbicara tentang tanah
kelahiran, saya ingin sekali mengenalkan kamu tentang tanah tempat saya
dibesarkan, yaitu di semenanjung Malaya sana. Bisa jadi, kali ini berbicaranya
sedikit kedaerahan. Tapi, tak bermaksud untuk menonjolkan daerah sendiri, hanya
saja kamu perlu tau bahwa Indonesia itu sangat kaya akan budaya dan suku bangsa.
Bahkan, Indonesia itu diakui sebagai ”homeland” dari generasi muda keturunan asli Indonesia
di tanah semenanjung sana. Misalnya saja di Malaysia, Thailand, atau Singapura,
bahkan juga Filiphina banyak juga keturunan asal Indonesia. Jadi, berbanggalah
dengan bangsa sendiri. Artinya, bangsa Indonesia itu sukses untuk adaptasi dan survive dengan bermigrasi ke daerah baru
sekalipun-yang saat ini adalah Negara yang berbeda-. Kembali ke tanah tempat
saya dibesarkan, kenapa dibesarkan? Pasalnya, saya memang dilahirkan di sebuah
perkampungan kecil di tanah Johor, Malaysia. Tapi, sejak usia 6 tahun
berimigrasi ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Karena orangtua inginnya saya
tetap memiliki status WNI. Yah,
mungkin ada hikmahnya.
Salah satu seni musik Melayu Kepulauan Riau |
Nyatanya, sekarang saya mengabdi untuk NKRI. Ceritanya,
di sana itu (baca: Tanjungpinang, Pulau Bintan) mayoritas adalah keturunan
Melayu. Karena dulunya, wilayah ini adalah bagian dari pusat pemerintahan
Kerajaan Riau-Lingga-Johor. Bicara sejarah memang sangat panjang, singkatnya
wilayah ini adalah tempat di mana orang-orang Melayu dibesarkan. Selidik punya
selidik, ternyata saya juga bukan asli berdarah Melayu. Alias keturunan Sunda, perpaduan
keturunan asal Tasikmalaya dan Cianjur. Nah... itu dia yang jadi pertanyaan.
Lantas, siapa saya yang mengaku anak Melayu? Hehe, orang bilang Tak Melayu Hilang di Bumi. Sejak fase pendidikan
dasar, alias saatnya pembentukan karakter hingga proses pendewasaan usia 6
hingga 18 tahun, saya berdomisili di sana. Tempat saya belajar seni dan sastra,
serta adat Melayu. Ingat sekali sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana
memiliki etika selayaknya bangsa Melayu, yang santun dan ramah. Bagaimana
tatacara berbahasa dan bersikap, hingga mempelajari adat perkawinan, masakan
khas Melayu, dan segala hal tentang
Melayu itu sendiri. Akhirnya, di situlah jatidiri saya ditemukan. Ya, saya
bagian dari Melayu dan “Takkan Melayu Hilang di Bumi”. Bagaimana dengan kamu?
Ceritamu tentang daerahmu?
Kembali ke ceritaku, kali ini
ingin memperkenalkan sebuah provinsi di perbatasan sana. Antara
Indonesia-Singapura-Malaysia, kotaku berdiri kokoh. Hm, lebih tepatnya berdaulat kokoh di bawah naungan NKRI. Kalau
melihat secara perundang-undangan Provinsi Kepulauan Riau itu, terbentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002, yang notabenenya Provinsi ke-32
di Indonesia. Kami memiliki 2 kota dan 5 kabupaten, yang mencakup Kota
Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Anambas, dan Kabupaten Lingga. Secara administratif, terdapat
lebih dari 40 Kecamatan serta 300an Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau
besar dan kecil di mana 40% belum bernama dan berpenduduk. Sedangkan luas
wilayahnya, sebesar 252.601 Km2, di mana 95%-nya merupakan lautan
dan hanya 5% merupakan wilayah daratan. Kalau dipikir-pikir, kenapa saya
bergerak di bidang Kelautan, karena alasan ini, saya dibesarkan di tempat yang
dikelilingi oleh laut. Wow, maka tak
heran dengan keindahan panorama pantai, mangrove, terumbu karang, lamun, dan
hamparan langit luas di atas birunya laut. Bagaimana dengan daerahmu?
Kalau berpikir dari segi
perbatasan, kenapa disebut perbatasan? Bisa dicek juga di peta, provinsi
Kepulauan Riau berbatasan langsung dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah Utara,
sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Provinsi
Riau.
Wisata Bahari Kabupaten Anambas |
Pantai Trikora Bintan, Tanjungpinang |
Penerapan kebijakan KEK di
Batam-Bintan-Karimun, merupakan bentuk kerjasama yang erat antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, dan partisipasi dunia usaha. KEK ini nantinya
merupakan simpul-simpul dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung
baik fasilitas pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing
internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya, akan memperoleh
pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktik-praktik
terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik. Itulah kenapa banyak
barang-barang yang dijual bebas tanpa bea cukai di daerah saya dengan istilah Black Market.
Bukan berarti barangnya tidak legal dan tidak original/berkualitas, akan tetapi memang tidak ada bea cukai yang dibebankan untuk memperdagangkan barang-barang itu. Misal, banyak dikenal dengan barang elektronik BM. Tak perlu khawatir jika membeli produk di tempat saya, (edisi promosi... hehe). Ini memang keistimewaan Kawasan Ekonomi Khusus. Alhasil, segala kebutuhan di sini pun harganya bergantung naik-turunnya kurs dollar Singapura ataupun ringgit Malaysia. Jadi, tak heran untuk biaya hidup di sini sedikit lebih mahal dibandingkan kota-kota lain di Indonesia.
Jembatan Barelang, Kota Batam |
Bukan berarti barangnya tidak legal dan tidak original/berkualitas, akan tetapi memang tidak ada bea cukai yang dibebankan untuk memperdagangkan barang-barang itu. Misal, banyak dikenal dengan barang elektronik BM. Tak perlu khawatir jika membeli produk di tempat saya, (edisi promosi... hehe). Ini memang keistimewaan Kawasan Ekonomi Khusus. Alhasil, segala kebutuhan di sini pun harganya bergantung naik-turunnya kurs dollar Singapura ataupun ringgit Malaysia. Jadi, tak heran untuk biaya hidup di sini sedikit lebih mahal dibandingkan kota-kota lain di Indonesia.
Tepi Laut Kota Tanjungpinang |
Salah satu pulau yang sarat dengan sejarah adalah
Pulau Penyengat, Pulau ini tidak terlalu besar, hanya 3.5 Km2, akan
tetapi di Pulau ini terdapat banyak peninggalan berupa potensi cagar budaya sejarah
kerajaan Melayu Riau-Lingga, dengan wujud bangunan-bangunan arsitektural,
makam, dan situs lain. Di sisi lain Pulau Penyengat adalah tempat kelahiran
Pahlawan Nasional, pelopor Bahasa Indonesia, yaitu Raja Ali Haji yang terkenal
dengan karya Gurindam 12-nya. Pulau Penyengat ini terletak pada lokasi yang
sangat startegis yaitu berada di sebelah barat Kota Tanjungpinang dan untuk ke sana
dapat dilewati dengan jalur transportasi laut, serupa perahu kayu bermotor atau
”pompong” tak lebih dari 15 menit.
Masjida Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Sri Inderasakti |
Pintu selamat datang di Pulau Penyengat |
Sedikit bicara sejarah lagi, pada
tahun 1803 Pulau Penyengat yang telah dibina dari dari sebuah pusat pertahanan
menjadi negeri dengan segala fasilitas yang memadai, dijadikan mahar/maskawin
dari Baginda Raja Sultan Mahmud kepada Raja Hamidah atau Engku Puteri, anak
seorang yang dipertuan Riau yang terkemuka yaitu Raja Haji Fisabilillah atau
Marhum Teluk Ketapang. Selanjutnya pulau Penyengat menjadi tempat kediaman
resmi Para Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, sementara Sultan (Yang
Dipertuan Besar) berkedudukan di Daik-Lingga.
Diantara beberapa peniggalan
Sultan Riau yang terdapat di Pulau Penyengat sebagai bukti sejarah pada masa
lampau yaitu : Masjid Agung Sultan Riau, Empat buah komplek makam Raja, Dua
buah bekas istana dan beberapa gedung lama, termasuk gedung mesiu, dan
meriam-meriam tua, dan Benteng pertahanan, sumur dan taman.
Kompleks Makam Raja Ali Haji pengarang Gurindam Dua Belas |
Rumah Panggong Melayu |
Tugu Raja Haji Fisabilillah di Tepi Laut Tangjungpinang |
Sifat masyarakat Melayu yang
terbuka menyebabkan terbentuknya tradisi yang majemuk. Tradisi luar masuk ke
Kepulauan Riau sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, saat mana budaya Melayu Kuno
telah bercampur dengan tradisi Hindu dan Budha. Akibat perdagangan antar daerah
yang berlangsung selama puluhan tahun, masuk pula tradisi Bugis, Banjar,
Minang, Jawa dan lain-lain. Semasa masuknya Portugis ke Melaka, datang pula
tradisi Sunda mewarnai tradisi Melayu Riau. Jadi, bisa dibilang Kepulauan Riau
sudah sangat terbuka dengan budaya selain Melayu. Dan perbedaan yang ada itu
menjadi indah saat ini, karena semua suku hidup berdampingan dengan rukun.
Kesenian merupakan salah satu
unsur kebudayaan Melayu yang paling menonjol, meliputi seni sastra, seni tari,
seni suara, seni musik, seni rupa dan seni teater. Seni sastranya terdiri dari
sastra tulis (berupa syair, hikayat, kesejarahan, kesatraan, adat istiadat dan
lain-lain) dan sastra ligan seperti pantun (pepatah, petitih, peribahasa,
bidal, perumpamaan dan lain-lain), mantra cerita rakyat, koba, kayat dan nyanyi
panjang. Karya seni sastra paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas hasil
karya Raja Ali Haji.
Bahasa yang digunakan sehari-hari
oleh penduduk adalah bahasa Melayu, yang pada hakikatnya merupakan akar bahasa
Indonesia. Sehingga siapa saja yang bisa berbahasa Indonesia dapat
berkomunikasi dengan orang Kepulauan Riau. Namun, di sini juga terdapat suku
asli, yang dikenal dengan suku laut orang sampan. Yang memang tinggal di atas
sampan/perahu kayu selama hidupnya. Bahasa yang digunakan sedikit berbeda dari
bahasa Melayu yang dikenal. Begitu juga dengan beberapa Pulau seperti Natuna,
Anambas, dan Lingga sendiri memiliki dialek yang berbeda meski sama-sama
berdasarkan bahasa Melayu.
Nah, tertarik untuk mengunjungi
daerah saya? Siapa tau memiliki rezeki lebih, nantinya kita bisa back-packeran
bareng ke sana ^,^.
No comments:
Post a Comment