Monday, September 17, 2012

Lyani, Kau adalah Perempuan Pengembara dengan Sejuta Impian


Aku merangkai aksara
Kata-demi kata kehidupan
Merenungkan tentang kau
Kau wanita yang tak pernah takut dengan muntahan kata tragis
Bahkan dentuman nuklir sekalipun
Berjuta angkatan bersenjata mencuatkan peluru dan basoka,
Tidak membuat kau mengingat orang-orang yang jauh dan lupa dengan jasamu
Kau tak pernah gentar menghadapi debu dan perasaan yang mati sekalipun
Kadang emosi selalu membakarmu,
Tapi kau masih mampu meredam dengan kedinginan hati dan jiwa mengalahmu
Kau wanita yang tegar dengan sejuta impian
Sisi keibuanmu kadang meluluhlantakkan negeri yang sudah gersang
Tapi, kau juga kadang meledakkan mimpi berjuta orang karena kerasnya hatimu
Kau terlihat menyembunyikan banyak rahasia
Hingga kini, dalam sakitmu,
Hanya tersisa sebuah derita fisik kecil
Mungkin jiwamu menyimpan banyak hal,
Yang aku tau, kau takkan mau menceritakan kelemahan hatimu kepada orang lain
Tapi, aku yakin kau punya niat baik untuk itu, betapa sempurna hatimu
Kau hanya ingin belajar menanggung akibat sendiri dari keputusanmu
Karena pada akhirnya segala bentuk dosa dan pemikiran adalah milikmu sendiri
Kau tanggungjawabkan itu di hadapan sang Khalik
Entah sampai kapan,
Tapi aku yakin kau akan selalu mengenang jasa dan kebaikan orang lain
Dalam air sungai air matamu
Kau tak akan pernah menghilangkan cinta
Rasa ceria orang lain dalam banyak hal
Sayangku, hanya berbeda dalam pemikiran,
Aku ingin berbagai cerita,
Kau sampaikan kepada mereka yang melupakanmu
Sayangku, selamat beristirahat
Aku tahu gubug ini tak cukup membuatmu nyaman
Aku di sini, setiap detik menuliskan aksara namamu pada puisi, pada cerita pendek, bahkan pada novel yang tak kunjung rampung dan tak mampu membendung air matamu

” Kini aku merenung seperti bukit, menghayati riak bagai laut, menyapa angin seperti pepohonan, menunggu detik-detik senja dengan segala kepenatan matahari, lalu tenggelam di saat malam”

Tak pernah aku bermimpi akan mengukir sebuah kayu. Dulu, kerap kali aku menyebrang sungai kecil di tepi rumah, tanpa alas kaki. Tanpa menaiki jembatan. Hari itu... memang hujan hingga titian akan sangat licin. Aku melihat titian itu basah. basah seperti pipi ini, yang mengalir sungai airmata. Kali ini, kayu yang kuukir itu menjadi sebatang mimpi. Siapa yang akan memulai memolesnya dengan kertas amplas sehingga licin berbinar?
Kayu itu, seolah tersenyum saat kupahat. Detailnya seperti kelopak bunga kemboja yang terlihat terangkai dengan melati putih. Pinggirnya terdapat sebuah korsase dari jajaran kuncup melati dan daun kemunting. Artinya sangat abstrak, hanya membayangkan kapan aku terakhir kali ke makam kakek di dusun sana. Sambil melewati pepohonan kemunting dan bambu yang ramai dengan semak. Saat malam, di pemakaman itu semerbak sekali bau melati. Ya... kupahatkan detail yang menyeramkan, pemakaman. Bukan, bukan itu yang ingin kugambarkan. melainkan detail-detail menuju hari di mana aku meninggalkan dunia ini. aku ingin, ketika matiku hadir, justru jasaku yang hidup dan harum semerbak melati di ujung pemakaman itu.
Ketika sebuah kata bertahan
Menurut dalam artian yang sebenarnya
Seketika itu pula aku hadir
Aku bergelimangan air mata
Entah pada sebuah jawaban yang mana
Hanya ada sebuah harapan dan kecemasan

Sabar.... tawakkal dan tetap bersemangat
Pesan bunda yang kerap kali hadir
Aku Cuma bisa mengatakan semoga
Tapi, bunda... mungkin aku tak bisa
Bertahan sampai bertemu titik itu
Sedangkan aku cuma bisa bertemu dengan kehampaan
Haruslah dalam sebuah keadaan yang luar biasa
Suatu ketika,
Temaram senja akan menemani sampai ke ujung ubun-ubun
Biarkan semua ceria menjadi rahasia
Dan air hanya akan berhenti menetes
Serta hujan akan berasa panas
Mampulah, seseorang datang dengan indahnya
Menjemputmu memakai jubah kebanggaan
Menelusuri relung-relung yang dulu mulai kosong
Kini, mampu menebarkan titik-titik kesenangan

Yanda,
Benar kata ibu...
Aku cuma seorang perempuan,
Meski begitu, aku bukan perempuan lemah
Yang slalu bertungkus lumus dalam kata “menyerah”
Mungkin semua akan hilang
Saat aku mengecap ketenangan di hari senja itu

**
Kau memang wanita biasa yang luar biasa. Aku... selalu mengenakan sepatu berlebel dan berkelas. Aku iri padamu, kau punya sendal jepit yang begitu berharga dengan segenap perjalanan dan mimpimu. Pantas saja, waktu kubelikan hadiah sebuah sepatu berkelas, tak mau kau terima. Coba saat itu kubelikan sendal jepit. Ya, sendal jepit.

No comments: