Aku merangkai aksara
Kata-demi kata kehidupan
Merenungkan tentang kau
Kau wanita yang tak pernah
takut dengan muntahan kata tragis
Bahkan dentuman nuklir
sekalipun
Berjuta angkatan bersenjata
mencuatkan peluru dan basoka,
Tidak membuat kau mengingat
orang-orang yang jauh dan lupa dengan jasamu
Kau tak pernah gentar
menghadapi debu dan perasaan yang mati sekalipun
Kadang emosi selalu
membakarmu,
Tapi kau masih mampu meredam
dengan kedinginan hati dan jiwa mengalahmu
Kau wanita yang tegar dengan
sejuta impian
Sisi keibuanmu kadang
meluluhlantakkan negeri yang sudah gersang
Tapi, kau juga kadang
meledakkan mimpi berjuta orang karena kerasnya hatimu
Kau terlihat menyembunyikan
banyak rahasia
Hingga kini, dalam sakitmu,
Hanya tersisa sebuah derita
fisik kecil
Mungkin jiwamu menyimpan
banyak hal,
Yang aku tau, kau takkan mau
menceritakan kelemahan hatimu kepada orang lain
Tapi, aku yakin kau punya
niat baik untuk itu, betapa sempurna hatimu
Kau hanya ingin belajar
menanggung akibat sendiri dari keputusanmu
Karena pada akhirnya segala
bentuk dosa dan pemikiran adalah milikmu sendiri
Kau tanggungjawabkan itu di
hadapan sang Khalik
Entah sampai kapan,
Tapi aku yakin kau akan
selalu mengenang jasa dan kebaikan orang lain
Dalam air sungai air matamu
Kau tak akan pernah
menghilangkan cinta
Rasa ceria orang lain dalam
banyak hal
Sayangku, hanya berbeda
dalam pemikiran,
Aku ingin berbagai cerita,
Kau sampaikan kepada mereka
yang melupakanmu
Sayangku, selamat
beristirahat
Aku tahu gubug ini tak cukup
membuatmu nyaman
Aku di sini, setiap detik
menuliskan aksara namamu pada puisi, pada cerita pendek, bahkan pada novel yang
tak kunjung rampung dan tak mampu membendung air matamu
” Kini aku merenung seperti bukit,
menghayati riak bagai laut, menyapa angin seperti pepohonan, menunggu
detik-detik senja dengan segala kepenatan matahari, lalu tenggelam di saat
malam”
Tak pernah aku bermimpi akan
mengukir sebuah kayu. Dulu, kerap kali aku menyebrang sungai kecil di tepi
rumah, tanpa alas kaki. Tanpa menaiki jembatan. Hari itu... memang hujan hingga
titian akan sangat licin. Aku melihat titian itu basah. basah seperti pipi ini,
yang mengalir sungai airmata. Kali ini, kayu yang kuukir itu menjadi sebatang
mimpi. Siapa yang akan memulai memolesnya dengan kertas amplas sehingga licin
berbinar?
Kayu itu, seolah tersenyum
saat kupahat. Detailnya seperti kelopak bunga kemboja yang terlihat terangkai
dengan melati putih. Pinggirnya terdapat sebuah korsase dari jajaran kuncup
melati dan daun kemunting. Artinya sangat abstrak, hanya membayangkan kapan aku
terakhir kali ke makam kakek di dusun sana. Sambil melewati pepohonan kemunting
dan bambu yang ramai dengan semak. Saat malam, di pemakaman itu semerbak sekali
bau melati. Ya... kupahatkan detail yang menyeramkan, pemakaman. Bukan, bukan
itu yang ingin kugambarkan. melainkan detail-detail menuju hari di mana aku
meninggalkan dunia ini. aku ingin, ketika matiku hadir, justru jasaku yang
hidup dan harum semerbak melati di ujung pemakaman itu.
Ketika sebuah kata bertahan
Menurut dalam artian yang sebenarnya
Seketika itu pula aku hadir
Aku bergelimangan air mata
Entah pada sebuah jawaban yang mana
Hanya ada sebuah harapan dan kecemasan
Sabar.... tawakkal dan tetap bersemangat
Pesan bunda yang kerap kali hadir
Aku Cuma bisa mengatakan semoga
Tapi, bunda... mungkin aku tak bisa
Bertahan sampai bertemu titik itu
Sedangkan aku cuma bisa bertemu dengan
kehampaan
Haruslah dalam sebuah keadaan yang luar
biasa
Suatu ketika,
Temaram senja akan menemani sampai ke
ujung ubun-ubun
Biarkan semua ceria menjadi rahasia
Dan air hanya akan berhenti menetes
Serta hujan akan berasa panas
Mampulah, seseorang datang dengan indahnya
Menjemputmu memakai jubah kebanggaan
Menelusuri relung-relung yang dulu mulai
kosong
Kini, mampu menebarkan titik-titik
kesenangan
Yanda,
Benar kata ibu...
Aku cuma seorang perempuan,
Meski begitu, aku bukan perempuan lemah
Yang slalu bertungkus lumus dalam kata
“menyerah”
Mungkin semua akan hilang
Saat aku mengecap ketenangan di hari senja
itu
**
Kau memang wanita biasa yang
luar biasa. Aku... selalu mengenakan sepatu berlebel dan berkelas. Aku iri
padamu, kau punya sendal jepit yang begitu berharga dengan segenap perjalanan
dan mimpimu. Pantas saja, waktu kubelikan hadiah sebuah sepatu berkelas, tak
mau kau terima. Coba saat itu kubelikan sendal jepit. Ya, sendal jepit.
No comments:
Post a Comment