Monday, September 17, 2012

Lyani dan Kayu dari Langit


“Kayu dari langit itu....
Akhirnya bisa kugubah sebagai ukiran indah
Walaupun di dalam perjalanannya butuh perjuangan lebih
Kata orang, takdir itu memang selalu bisa diusahakan
Begitu juga dengan kayu dari langitku
Walaupun lahir dari ibu seorang binatu dan ayah seorang kuli serabutan
Yang intinya selalu serba kekurangan
Hidup sehari-hari dari hutang bahan makanan di warung sebelah rumah
Tak ada biaya untuk sekolah, beli seragam ataupun buku
Bagiku, semua itu hanya kata pesimis bagi orang-orang yang malas
Bukan untuk orang-orang seperti aku
Karena, akhirnya aku bisa menyelesaikan studi di salah satu universitas negeri ternama di Negeri ini dengan modal nekad dan restu orang tua
Semua berkat pertolongan dari tangan-tangan Allah
Aku tak pernah malu menerima bantuan dari dermawan
Aku memang butuh dan aku ingin maju
Terserah dengan carut marut orang di luar sana
Masih banyak lagi orang yang mau menghargai jejakku
Dan kau...harus lebih dari itu Yusuf Al Qadri
Karena kau memiliki segalanya
Ibarat barang, aku hanya memiliki sebatang kayu yang jatuh dari langit
Sedangkan kau, kau punya timbunan emas yang tak akan habis tujuh turunan
Tetap bersemangat sayangku, 
Ada atau tidaknya aku di sisimu,
Aku yakin Allah akan membantu setiap perjalananmu
Yakin, teguh, dan ikhlas... maka kerja kerasmu akan terukir dengan indah
Seperti kayu dari langitku
By Lyani”
Email terakhir itu, telah aku baca untuk yang ke sekian kali. Kau yang selalu mendampingiku dalam segala hal. Kau memang baru kukenal selama enam tahun, tapi kaulah yang slelau mengisi hatiku. Kau yang mengingatkanku kepada sang Khaliq. Lyani Djayanti. Anak kesayangan Mamak, sekaligus kebanggaan keluarga karena kau bisa mandiri sejak kecil, bahkan membiayai sekolahmu sendiri sejak sekolah dasar hingga menjadi sarjana. Aku sangat bangga denganmu, lihatlah aku. Tak seperti Lyani. Aku hanya anak yang beruntung lahir dari keluarga terpandang di tanah adat semenanjung Malaya ini. Setiap jalanku diarahkan oleh orang tua, hingga ke tanah rantau, mengejar cita-cita menjadi seorang diplomat. Aku beruntung karena aku punya modal lebih untuk belajar di manapun aku mau, tanpa harus berpikir mendapatkan uang dan makan dari mana. Tapi, kau Lyani... kau mengajarkan aku betapa hidup itu indah.
Aku tak pernah berharap memiliki pasangan hidup seperti Lyani, karena awalnya aku tak yakin, hingga akhirnya Allah menjawab bahwa kau memang jodohku. Kau yang justru selalu mengharapkanku menjadi imam dan menerima segala kekurangan untuk melengkapi semua kelebihan yang kau punya. Aku tak pernah menyesal memilihmu untuk mendampingiku menghadapi segala urusan hidupku. Kau adalah istriku, sekaligus bisa menjadi ibuku, kakakku, dan adikku. Meskipun hanya lima tahun, kau bisa menjadikanku bagian dari hidupmu yang sempurna. Hingga akhirnya kau meninggalkan dunia ini dengan penuh kebanggaan bagiku dan orang-orang di sekitarmu. Aku tak tau, penyakit apa yang membuatmu seperti itu. Yang aku tau, Tuhan begitu menyayangimu hingga ia terlalu cepat memanggilmu. Aku hanya bisa mendo’akanmu, semoga arwahmu tenang di alam sana. Aku yakin bisa melanjutkan perjuanganmu sayang dan aku ingin Allah mengizinkan untuk mendampingimu di surga.
Aku harap, dari alam sana kau bisa membaca isi email terakhir yang kukirimkan padamu Lyani. Saat kau berada dalam sakaratul maut, sejenak saat kau terakhir memintaku membalas emailmu tadi... aku langsung mengirim email itu sayang. Aku hanya berharap isi email ini dapat kau baca, sebelum kau menghembuskan nafas terakhirmu. Tapi, aku tak tau apakah sempat kau baca.

“Sayang, aku selalu ada di sisimu, menjagamu, dan menyimpan hati ini baik-baik untukmu. Aku yakin kamu akan segera sembuh dan kita kembali ke rumah. Aku rindu saat kamu bercerita tentang anak-anak di daerah pelosok sana. Aku rindu saat-saat itu, kamu mengajakku mengarungi lautan menuju ke sebuah Pulau hanya untuk menyelamatkan seekor penyu. Aku rindu saat-saat itu, kau memakai hijab putih di pusara ayahmu dan menangis dengan wajah yang tenang. Aku rindu saat-saat di mana kamu membangunkanku tidur karena aku terlambat ke kantor. Aku sangat merindukan semua aktivitasmu di luar dan di dalam rumah bersamaku, di keramaian pengabdian pada istri-istri nelayan, dan anak-anak di rumah singgah. Aku yakin kamu pasti sembuh. Segera pulang ya...jangan berlama-lama di rumah sakit. Sesuangguhnya, rumah Allah... masjid yang selalu kita datangi di kala Magrib, yang menanti kedatanganmu. Yang selalu menyayangimu. Yusuf Al Qadri.”

Aku menurunkan kursor, kemudian ia berkedip-kedip tepat di email masuk dari Lyani. Email darinya yang ke-100. Kami memang saling berkirim email saat aku berada di luar negeri. Aku tak pernah sanggup sedetikpun kehilangan komunikasi dengannya. Selain itu, kami selalu menggunakan Yahoo messanger dan Skype untuk berinteraksi. Sejak setahun ini, kami berada di dua benua yang berbeda. Aku lebih sering ditugaskan di Eropa, bisa jadi hanya tiga atau empat kali dalam setahun aku pulang ke tanah air. Dan saat ini perjalananku menuju Belgia sebagai delegasi dari Indonesia untuk salah satu konferensi internasional, yang membahas perubahan iklim. Perlahan kuhembuskan napas dan membaca basmallah,

Hari-hari telah lewat, perlahan tapi pasti.
Hari itupun aku menuju satu puncak tangga baru.
Itu adalah sisa jatah umurku yang baru.
Daun gugur satu per satu.
Semua terjadi karena izin Allah.
Chairil Anwar dalam karyanya ”Puisi Kehidupan”
Aku tak mengerti maksud dari emailnya itu. Aku bukan pria yang pandai merangkai kata-kata puitis. Aku juga tak pernah bisa memahami satu per satu kata-kata itu. Apa yang aku tahu adalah email itu dikirimnya saat hari kelahirannya yang ke-29 tahun, tepat tanggal 24 Oktober lalu. Saat itu aku berada di London. Bahkan, aku tak mengingat hari itu, yang kuingat adalah aku senantiasa berdo’a untuknya dan untuk kehidupan kami, selalu. Aku juga selalu ingat bahwa ia tak pernah ingin jauh dariku. Tapi, sejak ia sakit, yang baru belakangan aku tau, ia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia.
Lyani, awalnya memang mengikuti kemanapun aku bertugas, aku tak akan pernah sanggup meninggalkannya sedetikpun. Terlebih lagi, ia pernah mengalami keguguran anak pertama kami di usia 6 bulan kehamilan, tepat setahun setelah menikah. Setahun setelah itu Lyani memohon untuk tinggal di Indonesia saja. Ia mengatakan jika di Indonesia, dia akan sedikit lebih tenang karena tinggal bersama keluarga kami yang lain. Apalagi ibuku, sangat menyayangi menantu pertamanya itu. Ibuku yang selalu meminta Lyani untuk tetap berkarier di Indonesia dan menemaninya di rumah.
Aku terpaksa meninggalkannya di Indonesia selama tiga tahun ini. Aku hanya ingin yang terbaik untuk dirinya, meskipun aku harus mengorbankan keinginanku untuk tidak jauh dari dirinya. Tapi, aku tak pernah berpikir bahwa selama ini, dia justru ingin jauh dariku. Aku seperti tak mengenalnya, karena penyakitnya itu baru kuketahui 6 bulan yang lalu. Saat ia sudah sekian kalinya menjalankan kemoterapi. Lebih menyakitkan lagi, itu aku ketahui dari adikku. Tanpa sengaja adikku membaca diary Lyani. Ternyata, dia sudah divonis terkena penyakit itu sejak awal kehamilan. Dan dia tidak menceritakan apapun kepadaku.  Dia ingin aku fokus mengejar karier yang kuidam-idamkan selama ini. Itu alasan utamanya ingin tinggal di Indonesia.
Diary itu, saat ini ada di tanganku, satu-satunya peninggalan Lyani yang harus kujaga. Diary ini sangat berharga, sama berharganya dengan ketulusan dan kebaikan yang selama ini Lyani berikan untuk orang-orang di sekitarnya. Dan aku, aku tak pernah mengetahui itu. Aku selalu menilainya dari apa yang pernah ia capai, bukan dari apa yang pernah ia korbankan. Aku, saat ini juga memutuskan untuk membaca lembar demi lembar kisah istriku itu.
***
Lyani dan Kayu dari Langit
Waktu itu, pukul 19.00 WIB bertanggal 13 Februari. Kutuliskan secarik puisi untuk hidupku. Aku harus bersemangat untuk menjadi smile maker. Biarpun sendiri menjalani hidup, tapi aku yakin aku selalu berada di bawah lindungan Allah. Asal ada niat dan kemauan, aku pasti bisa. Semangat!
”Saat perjalanan itu dimulai
Detik ini, seperti detik-detik yang telah berlalu,
Aku menatap seisi kamar dengan penuh tanda tanya.
Kelak akan lahir seperti apa diriku dari kamar ini?
Kosong, yang ada hanya sekardus tumpukan fotokopian bekas kuliah dulu.
Sebuah pertanyaan yang mengkristal
Sepucuk awal mimpi yang mengembun
Dan akhirnya jatuh kembali ke bumi”
Hari ini rasanya aku ingin berteriak pada dunia dan mengatakan bahwa esok adalah hari yang paling menantang. Aku akhirnya meyelesaikan studi di kampus ini. Rasa syukurku dapat mengakhiri pendidikan strata-1 di kampus perjuangan. Aku tak pernah bermimpi untuk menjadi sarjana, yang bisa lulus lebih cepat dari teman-teman se-angkatanku, tepat 7 semester dengan IPK yang sangat memuaskan. Orang bilang, kuliah di jurusanku itu dapat memakan waktu 7 hingga 8 tahun sebelum tahun 2000-an. Saat aku kuliah, batas masa studi supaya tidak drop out hanya 6 tahun, aku tak yakin bisa lulus tepat waktu pada awalnya. Namun, karena kegigihan dan perjuangan yang sedikit memaksa, akhirnya aku dapat menyelesaikan masa studi lebih cepat. 
Kau tahu, aku menemukan kayu yang jatuh dari langit di sana. Dia adalah hidupku. Hidup yang penuh dengan cerita duka lalu bisa kusulap menjadi suka dan bahagia untukku dan orang-orang yang menyayangiku. Aku baru menyadari itu saat aku banyak merenung di bawah terangnya bulan purnama dan kerdip bintang sunyi di tanah Papua sana. Aku tak heran, mereka menyebutnya bintang kejora. Karena dari sana aku mendapatkan pencerahan luar biasa, kerikil-kerikil bak semua masalah dalam perjalanan hidup, yang setiap hari harus aku lewati tanpa alas kaki, dan rasa bahagia ketika melihat senyum-senyum bertebaran di wajah anak-anak dan tete-nene di sana, meskipun berada dalam keterbatasan. Ibarat kasih sayang mereka yang tulus dalam menjaga tanah Tuhan, sehingga bisa menukarkan nanas matang dengan gula atau beras. Iya, itulah kehidupan.
Kayu dari langit itu, telah kukumpulkan sejak lahir kemudian menjadi sebuah sajak, lalu kuukir dan kujadikan pegangan untukku berjuang di masa yang akan datang. Saat aku telah menemukan sebuah pintu gerbang menuju pengabdianku. Kau tahu, aku memasang wajah muram saat perayaan pesta wisuda kemarin. Meskipun aku memakai toga kebanggaan dan membayangkan memegang kayu dari langit itu. Aku merasa tak pantas menerima segala kebaikan dari Allah. Aku hanya manusia yang selalu menghinaNya dengan kemalasanku untuk berbuat banyak demi orang lain. Selama ini, yang kupikirkan hanya diriku sendiri. Hingga akhirnya bintang kejora menyadarkanku bahwa hidup itu bagai kayu, akan jatuh ke bumi pada akhir cerita.
**
Lyani, kau memang benar tentang kayu dari langit itu. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa selain, kaulah mutiara yang memang pantas untuk aku miliki. Sejauh ini, aku tak pernah bertanya tentang cita-citamu. Aku hanya meninggikan egoku untuk selalu bersamamu, tanpa tau apa keinginanmu sebenarnya. Kau memang perempuan tangguh. Kau mengembarai sejuta mimpi, dan mimpi itu belum tuntas. Aku minta maaf atas ketidaktahuanku, apakah aku harus melanjutkan perjuanganmu? Yaa Rabb, biarkan istriku tenang di sisiMu dan biarkan aku melihat kayu dari langitnya dengan damai.

No comments: