“Kayu
dari langit itu....
Akhirnya
bisa kugubah sebagai ukiran indah
Walaupun
di dalam perjalanannya butuh perjuangan lebih
Kata
orang, takdir itu memang selalu bisa diusahakan
Walaupun
lahir dari ibu seorang binatu dan ayah seorang kuli serabutan
Yang
intinya selalu serba kekurangan
Hidup
sehari-hari dari hutang bahan makanan di warung sebelah rumah
Tak
ada biaya untuk sekolah, beli seragam ataupun buku
Bagiku,
semua itu hanya kata pesimis bagi orang-orang yang malas
Bukan
untuk orang-orang seperti aku
Karena,
akhirnya aku bisa menyelesaikan studi di salah satu universitas negeri ternama
di Negeri ini dengan modal nekad dan restu orang tua
Semua
berkat pertolongan dari tangan-tangan Allah
Aku
tak pernah malu menerima bantuan dari dermawan
Aku
memang butuh dan aku ingin maju
Terserah
dengan carut marut orang di luar sana
Masih
banyak lagi orang yang mau menghargai jejakku
Dan
kau...harus lebih dari itu Yusuf Al Qadri
Karena
kau memiliki segalanya
Ibarat
barang, aku hanya memiliki sebatang kayu yang jatuh dari langit
Sedangkan
kau, kau punya timbunan emas yang tak akan habis tujuh turunan
Tetap
bersemangat sayangku,
Ada
atau tidaknya aku di sisimu,
Aku
yakin Allah akan membantu setiap perjalananmu
Yakin,
teguh, dan ikhlas... maka kerja kerasmu akan terukir dengan indah
Seperti
kayu dari langitku
By
Lyani”
Email terakhir itu, telah aku
baca untuk yang ke sekian kali. Kau yang selalu mendampingiku dalam segala hal.
Kau memang baru kukenal selama enam tahun, tapi kaulah yang slelau mengisi
hatiku. Kau yang mengingatkanku kepada sang Khaliq. Lyani Djayanti. Anak
kesayangan Mamak, sekaligus kebanggaan keluarga karena kau bisa mandiri sejak
kecil, bahkan membiayai sekolahmu sendiri sejak sekolah dasar hingga menjadi
sarjana. Aku sangat bangga denganmu, lihatlah aku. Tak seperti Lyani. Aku hanya
anak yang beruntung lahir dari keluarga terpandang di tanah adat semenanjung
Malaya ini. Setiap jalanku diarahkan oleh orang tua, hingga ke tanah rantau, mengejar
cita-cita menjadi seorang diplomat. Aku beruntung karena aku punya modal lebih
untuk belajar di manapun aku mau, tanpa harus berpikir mendapatkan uang dan
makan dari mana. Tapi, kau Lyani... kau mengajarkan aku betapa hidup itu indah.
Aku tak pernah berharap
memiliki pasangan hidup seperti Lyani, karena awalnya aku tak yakin, hingga
akhirnya Allah menjawab bahwa kau memang jodohku. Kau yang justru selalu
mengharapkanku menjadi imam dan menerima segala kekurangan untuk melengkapi
semua kelebihan yang kau punya. Aku tak pernah menyesal memilihmu untuk
mendampingiku menghadapi segala urusan hidupku. Kau adalah istriku, sekaligus
bisa menjadi ibuku, kakakku, dan adikku. Meskipun hanya lima tahun, kau bisa
menjadikanku bagian dari hidupmu yang sempurna. Hingga akhirnya kau
meninggalkan dunia ini dengan penuh kebanggaan bagiku dan orang-orang di
sekitarmu. Aku tak tau, penyakit apa yang membuatmu seperti itu. Yang aku tau,
Tuhan begitu menyayangimu hingga ia terlalu cepat memanggilmu. Aku hanya bisa
mendo’akanmu, semoga arwahmu tenang di alam sana. Aku yakin bisa melanjutkan
perjuanganmu sayang dan aku ingin Allah mengizinkan untuk mendampingimu di
surga.
Aku harap, dari alam sana kau
bisa membaca isi email terakhir yang kukirimkan padamu Lyani. Saat kau berada
dalam sakaratul maut, sejenak saat kau terakhir memintaku membalas emailmu
tadi... aku langsung mengirim email itu sayang. Aku hanya berharap isi email
ini dapat kau baca, sebelum kau menghembuskan nafas terakhirmu. Tapi, aku tak
tau apakah sempat kau baca.
“Sayang,
aku selalu ada di sisimu, menjagamu, dan menyimpan hati ini baik-baik untukmu.
Aku yakin kamu akan segera sembuh dan kita kembali ke rumah. Aku rindu saat
kamu bercerita tentang anak-anak di daerah pelosok sana. Aku rindu saat-saat
itu, kamu mengajakku mengarungi lautan menuju ke sebuah Pulau hanya untuk
menyelamatkan seekor penyu. Aku rindu saat-saat itu, kau memakai hijab putih di
pusara ayahmu dan menangis dengan wajah yang tenang. Aku rindu saat-saat di
mana kamu membangunkanku tidur karena aku terlambat ke kantor. Aku sangat
merindukan semua aktivitasmu di luar dan di dalam rumah bersamaku, di keramaian
pengabdian pada istri-istri nelayan, dan anak-anak di rumah singgah. Aku yakin
kamu pasti sembuh. Segera pulang ya...jangan berlama-lama di rumah sakit.
Sesuangguhnya, rumah Allah... masjid yang selalu kita datangi di kala Magrib,
yang menanti kedatanganmu. Yang selalu menyayangimu. Yusuf Al Qadri.”
Aku menurunkan kursor,
kemudian ia berkedip-kedip tepat di email masuk dari Lyani. Email darinya yang
ke-100. Kami memang saling berkirim email saat aku berada di luar negeri. Aku
tak pernah sanggup sedetikpun kehilangan komunikasi dengannya. Selain itu, kami
selalu menggunakan Yahoo messanger dan Skype untuk berinteraksi. Sejak setahun
ini, kami berada di dua benua yang berbeda. Aku lebih sering ditugaskan di
Eropa, bisa jadi hanya tiga atau empat kali dalam setahun aku pulang ke tanah
air. Dan saat ini perjalananku menuju Belgia sebagai delegasi dari Indonesia
untuk salah satu konferensi internasional, yang membahas perubahan iklim.
Perlahan kuhembuskan napas dan membaca basmallah,
Hari-hari
telah lewat, perlahan tapi pasti.
Hari
itupun aku menuju satu puncak tangga baru.
Itu
adalah sisa jatah umurku yang baru.
Daun
gugur satu per satu.
Semua
terjadi karena izin Allah.
Chairil
Anwar dalam karyanya ”Puisi Kehidupan”
Aku tak mengerti maksud dari
emailnya itu. Aku bukan pria yang pandai merangkai kata-kata puitis. Aku juga
tak pernah bisa memahami satu per satu kata-kata itu. Apa yang aku tahu adalah
email itu dikirimnya saat hari kelahirannya yang ke-29 tahun, tepat tanggal 24
Oktober lalu. Saat itu aku berada di London. Bahkan, aku tak mengingat hari
itu, yang kuingat adalah aku senantiasa berdo’a untuknya dan untuk kehidupan
kami, selalu. Aku juga selalu ingat bahwa ia tak pernah ingin jauh dariku. Tapi,
sejak ia sakit, yang baru belakangan aku tau, ia memutuskan untuk tetap tinggal
di Indonesia.
Lyani, awalnya memang
mengikuti kemanapun aku bertugas, aku tak akan pernah sanggup meninggalkannya
sedetikpun. Terlebih lagi, ia pernah mengalami keguguran anak pertama kami di
usia 6 bulan kehamilan, tepat setahun setelah menikah. Setahun setelah itu
Lyani memohon untuk tinggal di Indonesia saja. Ia mengatakan jika di Indonesia,
dia akan sedikit lebih tenang karena tinggal bersama keluarga kami yang lain.
Apalagi ibuku, sangat menyayangi menantu pertamanya itu. Ibuku yang selalu
meminta Lyani untuk tetap berkarier di Indonesia dan menemaninya di rumah.
Aku terpaksa meninggalkannya
di Indonesia selama tiga tahun ini. Aku hanya ingin yang terbaik untuk dirinya,
meskipun aku harus mengorbankan keinginanku untuk tidak jauh dari dirinya.
Tapi, aku tak pernah berpikir bahwa selama ini, dia justru ingin jauh dariku.
Aku seperti tak mengenalnya, karena penyakitnya itu baru kuketahui 6 bulan yang
lalu. Saat ia sudah sekian kalinya menjalankan kemoterapi. Lebih menyakitkan
lagi, itu aku ketahui dari adikku. Tanpa sengaja adikku membaca diary Lyani. Ternyata,
dia sudah divonis terkena penyakit itu sejak awal kehamilan. Dan dia tidak
menceritakan apapun kepadaku. Dia ingin
aku fokus mengejar karier yang kuidam-idamkan selama ini. Itu alasan utamanya
ingin tinggal di Indonesia.
Diary itu, saat ini ada di
tanganku, satu-satunya peninggalan Lyani yang harus kujaga. Diary ini sangat
berharga, sama berharganya dengan ketulusan dan kebaikan yang selama ini Lyani
berikan untuk orang-orang di sekitarnya. Dan aku, aku tak pernah mengetahui
itu. Aku selalu menilainya dari apa yang pernah ia capai, bukan dari apa yang
pernah ia korbankan. Aku, saat ini juga memutuskan untuk membaca lembar demi
lembar kisah istriku itu.
***
Lyani dan Kayu dari Langit |
Waktu itu, pukul 19.00 WIB
bertanggal 13 Februari. Kutuliskan secarik puisi untuk hidupku. Aku harus
bersemangat untuk menjadi smile maker. Biarpun
sendiri menjalani hidup, tapi aku yakin aku selalu berada di bawah lindungan
Allah. Asal ada niat dan kemauan, aku pasti bisa. Semangat!
”Saat
perjalanan itu dimulai
Detik
ini, seperti detik-detik yang telah berlalu,
Aku
menatap seisi kamar dengan penuh tanda tanya.
Kelak
akan lahir seperti apa diriku dari kamar ini?
Kosong,
yang ada hanya sekardus tumpukan fotokopian bekas kuliah dulu.
Sebuah
pertanyaan yang mengkristal
Sepucuk
awal mimpi yang mengembun
Dan
akhirnya jatuh kembali ke bumi”
Hari ini rasanya aku ingin berteriak pada dunia dan mengatakan bahwa esok
adalah hari yang paling menantang. Aku akhirnya meyelesaikan studi di kampus
ini. Rasa syukurku dapat mengakhiri pendidikan strata-1 di kampus perjuangan.
Aku tak pernah bermimpi untuk menjadi sarjana, yang bisa lulus lebih cepat dari
teman-teman se-angkatanku, tepat 7 semester dengan IPK yang sangat memuaskan.
Orang bilang, kuliah di jurusanku itu dapat memakan waktu 7 hingga 8 tahun
sebelum tahun 2000-an. Saat aku kuliah, batas masa studi supaya tidak drop out hanya 6 tahun, aku tak yakin
bisa lulus tepat waktu pada awalnya. Namun, karena kegigihan dan perjuangan yang
sedikit memaksa, akhirnya aku dapat menyelesaikan masa studi lebih cepat.
Kau tahu, aku menemukan kayu
yang jatuh dari langit di sana. Dia adalah hidupku. Hidup yang penuh dengan
cerita duka lalu bisa kusulap menjadi suka dan bahagia untukku dan orang-orang
yang menyayangiku. Aku baru menyadari itu saat aku banyak merenung di bawah
terangnya bulan purnama dan kerdip bintang sunyi di tanah Papua sana. Aku tak
heran, mereka menyebutnya bintang kejora. Karena dari sana aku mendapatkan
pencerahan luar biasa, kerikil-kerikil bak semua masalah dalam perjalanan hidup,
yang setiap hari harus aku lewati tanpa alas kaki, dan rasa bahagia ketika
melihat senyum-senyum bertebaran di wajah anak-anak dan tete-nene di sana,
meskipun berada dalam keterbatasan. Ibarat kasih sayang mereka yang tulus dalam
menjaga tanah Tuhan, sehingga bisa menukarkan nanas matang dengan gula atau
beras. Iya, itulah kehidupan.
Kayu dari langit itu, telah kukumpulkan
sejak lahir kemudian menjadi sebuah sajak, lalu kuukir dan kujadikan pegangan
untukku berjuang di masa yang akan datang. Saat aku telah menemukan sebuah
pintu gerbang menuju pengabdianku. Kau tahu, aku memasang wajah muram saat
perayaan pesta wisuda kemarin. Meskipun aku memakai toga kebanggaan dan
membayangkan memegang kayu dari langit itu. Aku merasa tak pantas menerima
segala kebaikan dari Allah. Aku hanya manusia yang selalu menghinaNya dengan kemalasanku
untuk berbuat banyak demi orang lain. Selama ini, yang kupikirkan hanya diriku
sendiri. Hingga akhirnya bintang kejora menyadarkanku bahwa hidup itu bagai
kayu, akan jatuh ke bumi pada akhir cerita.
**
Lyani,
kau memang benar tentang kayu dari langit itu. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa
selain, kaulah mutiara yang memang pantas untuk aku miliki. Sejauh ini, aku tak
pernah bertanya tentang cita-citamu. Aku hanya meninggikan egoku untuk selalu
bersamamu, tanpa tau apa keinginanmu sebenarnya. Kau memang perempuan tangguh.
Kau mengembarai sejuta mimpi, dan mimpi itu belum tuntas. Aku minta maaf atas
ketidaktahuanku, apakah aku harus melanjutkan perjuanganmu? Yaa Rabb, biarkan
istriku tenang di sisiMu dan biarkan aku melihat kayu dari langitnya dengan
damai.
No comments:
Post a Comment