Hari ini, tepat lima tahun
usia pernikahan kami. Aku
bahagia, akhirnya bisa menikah dengan pangeranku. Orang yang kerap kali datang
menghampiri setiap mimpiku dan malam-malam sepiku. Yusuf, aku bahagia bisa
menjadi istri yang kau harapkan. Aku percaya keyakinanmu suatu saat akan sosok
pendampingmu itu akan datang padaku. Dan aku ingin menjalani dengan ikhlas,
rasa cinta ini. Apa adanya hanya untukmu. Allah punya rahasia untuk kita, lima
tahun yang lalu... tak kusangka tiba-tiba kau akan datang melamarku. Padahal
sekian tahun kau meninggalkanku tanpa pesan, yang kusangka kau telah memilih
perempuan lain yang lebih layak untukmu. Kemudian, kau membawaku ke istana
pernikahan kita. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa selain bersyukur.
Aku tak pernah menyesal
meninggalkan karierku di Indonesia, hanya untuk menjagamu di luar sana. Aku tak
pernah mau menyusahkan kau mencari nafkah hingga semua kebutuhanmu terlupakan.
Aku bahagia bisa menjadi makmum bagimu. Aku bahagia bisa membuatkan sarapan
untukmu. Aku bahagia bisa mencuci dan menyeterika pakaianmu. Aku bahagia bisa
mendengarkan tausiyahmu setiap Subuh. Aku bahagia bisa mengurusi rumah tangga
kita, kau bilang akulah manajer di rumah. Aku bahagia bisa mengandung anakmu,
meskipun akhirnya kita harus kehilangannya karena penyakitku ini. Sejujurnya,
ini yang paling aku sesali dalam hidup. Allah begitu menyayangiku sehingga aku
diberikan sakit seperti ini. Dan besok, aku harus menjalani kemoterapi ke
sekian kali. Selama bertahun-tahun, aku tak pernah bisa jujur denganmu karena menderita
sakit ini. Apalagi ini sangat tak terlihat, bahkan ketika peristiwa keguguran itu,
dokter sama sekali tak melihat diagnosa kankerku itu. Sampai akhirnya, aku
memutuskan aku harus mulai menjauh darimu sayang. Maafkan aku, karena aku tak
mau menyusahkan hatimu. Tak ada yang boleh tau aku menderita penyakit ini,
kecuali ibuku dan ibu mertuaku, ibumu Yusuf. Ibulah yang selalu menyemangatiku,
menuntun aku hidup lebih baik. Dia sengaja ingin aku berkarier di sini, agar
aku dapat melupakan apa yang sedang aku alami saat ini. Aku ingin lebih jauh
darimu, agar kau tenang dan selalu ikhlas menjagaku dengan do’amu dari sana.
Bagiku, kini ibuku dan ibumu yang lebih pantas untuk menjagaku, sementara aku
mempersiapkan diri menuju singgahsana yang paling indah di sisi Allah SWT.
Kenapa harus mereka berdua?
Kau tahu tidak, aku senang
mengamati wajah ibuku di saat ia tertidur. Ia layaknya seorang puteri yang
tercantik di alam ini. Begitu juga di saat ibumu tertidur. Wajah-wajah mereka
tampak begitu bercahaya di kala tidur. Begitu tenang dan aku bisa melihat seisi
dunia takluk dengan kehebatan mereka. Dunia ada di bawah telapak kaki mereka,
apalagi surga. Bahkan, aku takut untuk mencium kening mereka. Karena mereka
terlalu cantik, aku takut kecantikan mereka justru rusak karena sentuhanku.
Bahkan, mungkin aku lebih mencintai kecantikan mereka, bukan cinta mereka.
Ibuku dan ibumu memang berbeda, tapi mereka berdua sama-sama bidadari
tercantik, yang pernah aku jumpai di jagad raya. Mungkin, tanpa memintapun
mereka akan dengan tulus mencintai dan menjagaku. Meski dalam sakitku. Sisa
waktuku, sepenuhnya untuk mengabdi. Pada Allah, pemilik sejati raga dan jiwa
ini. Melalui kau, ibuku, dan ibumu.
Sayang, selama hidup denganmu
aku tak pernah bercerita tentang masa laluku. Dan mungkin kau juga tak pernah
mau tahu, mungkin juga tak butuh tahu. Tapi, kali ini izinkan aku menyampaikan
sedikit cerita. Agar hatiku bisa tenang menghadapi sisa-sisa kejujuran dan
kesempatan untuk memperbaiki diri. Aku harus memulai dari mana ya? Kau pasti
tahu, betapa aku seorang introvert
yang menyenangkan. Dan kali ini, aku mencoba menceritakan semuanya. Dan kau
pasti akan menceritakan pada anak-anak, cucu-cucu, keponakan-keponakan, dan
juga orang lain, saudara kita seagama, sebangsa, dan setanah air. Aku mau
ceritaku bisa membuat orang lain lebih bersyukur atas anugerah dalam hidup
mereka. Begitu juga kau, bahkan saat aku tak di sampingmu nanti. Kalau kau
setuju, dengarkan ceritaku ya. Masa-masa sulit yang akhirnya membuat aku
merdeka. Merdeka dengan rasa syukur karena Allah selalu menemani dan memudahkan
setiap jalanku. Catatan ini kubuat saat aku milad ke-23 tahun. Saat itu, kau
belum menjadi pendampingku bukan? Dan kau tak pernah menanyakan apa yang telah
kutuangkan di dalamnya. Saatnya aku ingin mnyampaikan rahasia kecil ini padamu.
Masih di sudut ruang baca, 24
Oktober. Rabb, yang aku inginkan adalah
membuat mereka tersenyum. Kadang aku bingung dengan segala realitas
hidup. Aku tak pernah sekalipun terpikirkan untuk membelakangi garis takdir
ini. Tapi kadang juga aku takut dengan realitas hidup, yang meyakinkan bahwa
aku tak pernah sanggup memangku lagi semua rasa yang ada di hati ini. Kadang
aku juga tak bisa membedakan yang mana kasih sayang dan yang mana kebencian.
Semua terlihat berbeda tipis. Hanya tinggal sebuah tanya yang akan terus
kusisipkan tanpa ada yang memahami. Dialah sebuah pencarian, yang akan kutekuni
hingga mati. Mungkin orang-orang akan selalu bertanya hingga aku membongkar
semua rahasia yang terpendam. Tapi, aku pastikan folder itu akan selalu
terkunci dengan aman. Biarkan aku saja yang tahu apa isinya. Akan kuubah dunia
dengan isi folder itu. Folder yang selama ini terkunci, hingga aku mati.
Secuplik harapan yang tersimpan, kini terasa akan semakin jauh. Betapa aku
akan menghadapi hujanan airmata, yang bertubi-tubi di saat ini. Ada sebuah
rahasia yang harus kutukarkan dengan harga diri. Ah, tapi apa artinya harga
diri ketika perjuangan yang kutempuh tak lagi dianggap sebuah arti. Akhirnya,
tiba di ujung perjuangan kala aku tak mampu lagi menatap ke depan seorang
sendiri dan berjuang seperti dulu.
Sebuah realitas hidup. Aku sang bungsu yang hidup di antara kerumitan
persaudaraan. Kisah kedua orang tua yang melankolis sejak dulu. Aku bahkan tak
pernah melihat senyum di bibir mereka. Ayahku, seorang kuli yang hidup hanya
untuk sesuap nasi. Penghasilan ayah tak lebih dari 20 ribu sehari, dengan
pendamping nya, ibu yang seorang pejuang rumah tangga sekaligus seorang binatu.
Ibu melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka dengan mempertaruhkan nyawa.
Harganya sebuah perjuangan tak pernah dibayar, hingga mereka tua renta. Mereka
tak lelah mengkais rezeki, daripada hidup berkalung pasrah dan mengemis dengan
mimik memelas yang lebih hina.
“Rabb… berikan aku hidup lebih lama,
Sampai hati tak berkalang noda dan perih
Sampai nyawa tak bertabur dusta dan hina
Karna matipun aku segan, bercermin diri yang penuh dosa
Rabb... biarkan aku bersanding di samping-Mu nanti saat waktunya tepat”
Dan aku, hanya anak manusia yang kala itu lahir di sore hari. Bertepatan
10 Dzulhijjah dan azan Ashar. Aku tak tahu makna hikmah ini, yang kutahu adalah
aku lahir atas ketetapanNya. Dari ayah seorang buruh bangunan, yang sudah
dibuang keluarganya dan dari seorang ibu yang tangguh dan tegar karna hidup di
atas derita ayah dan ibu tirinya. Aku tak pernah berpikir bahwa aku dilahirkan
sia-sia dan untuk ditelantarkan, seperti kata mereka—saudara sekandungku—yang
tak lagi melihat kebaikan dari sisi ayah dan ibu. Aku tak tahu apa makna jalan
ini, yang kutahu aku hidup karna Rabb menginginkanku memperbaiki nasib ayah dan
ibu.
Saat ini, hampir 23 tahun aku hidup. Bak mimpi di pagi hari, aku bangun
dari ketidakmungkinan. Aku sudah sebesar ini. Tumbuh menjadi wanita tegar,
penuh kerelaan dan perjuangan. Aku ini ibarat kartini kecil yang dulu
memperjuangkan emansipasi, bedanya kali ini aku memperjuangkan keadilan atas
hidup kedua orang tuaku yang kini didustai oleh anak-anak mereka, yang kini
dijajah oleh kenistaan anak-anak mereka, yang kini tak mngenal arti tersenyum
dan ibadah karena anak-anak mereka, dan yang kini berharap penuh bahwa aku akan
pulang membawa kebahagiaan untuk mereka. Aku percaya Rabb punya jalan lain
untuk mereka, mungkin melalui aku. Tapi, aku tak sanggup melihat duka dan
airmata selalu tersimpan dalam setiap peluh, tatapan, dan hembusan napas lelah,
yang tersengal-sengal ketika ayah pulang dari menarik ojek atau memikul batu
dan tanah. Aku tak tahan melihat goresan lelah dan sedih di balik keriput wajah
ibu karena mencuci dan menyeterika di rumah orang. Aku tak bisa melihat dunia
seperti ini, aku harus berlari, dan berlari menemukan cahaya yang dititipkan
itu, menemukan jalan pulang yang baik untuk ayah dan ibu, menemukan gudang
keberkahan yang pantas dan layak untuk ayah dan ibu, dan menemukan semangat
hidup yang hampir hilang untuk ayah dan ibu.
Sebuah realitas hidup, aku sang bungsu yang sejak kecil hanya bisa
terbata-bata mengeja semua gejala kehidupan sendiri. Sejak kecil aku merasakan
di perantauan, ditinggal ayah dan ibu, yang bekerja sebagai TKI saat di negeri
jiran. Saban hari, kulepaskan kerinduan dengan bermain bersama teman
lelaki-lelaki kecil. Aku bahagia memanjat pohon dan tebing, bersepeda,
memancing, dan bertukar seragam senyuman dengan hari yang terik. Aku hanya tahu
bahwa hidup itu adalah kekosongan yang harus kuisi dengan ceria dan senyuman.
Aku hanya berteman dengan seekor kucing kecil, yang bisa membuat aku lupa bahwa
hari itu aku tak bisa makan apa-apa. Ketika saat teman-teman pergi ke bangku
sekolah, aku hanya bisa mengikuti dari belakang. Dan, kukayuh sepeda
kencang-kencang sambil mengendap ke mana mereka pergi. Ternyata, ke sebuah
sekolah kebangsaan. Ya... mereka belajar mengeja dan menulis, bermain, dan
ceria. Sedangkan aku, hanya bisa mengintip di balik jendela yang tinggi.
Sesaat, sang cikgu menoleh, aku ketakutan dan membalikkan badan, kemudian
berlari sekencang mungkin, bersepeda, dan berusaha mencapai jalan menuju rumah.
Degup kencang rasa bersalah, aku telah merusak pemandangan sekolah kebangsaan
hari itu. Ah, betapa kecilnya diri ini.
Aku harusnya sadar bahwa aku bukanlah orang yang tepat untuk berada di
sana. Aku tak pernah akan mampu untuk duduk di kursi pendidikan seperti itu.
Akhirnya, aku memasuki rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Entah ke mana
sepeda yang kupakai tadi. Segera kulempar badanku ke arah pembaringan di dapur
rumah. Kemudian memeluk kakiku rapat-rapat. Aku menangis dan menangis.
Aku tak pernah berpikir, sampai kapan aku harus menanggung semua perih,
yang kupikir hanya mengembalikan senyum merekah di wajah mereka. Tanpa bicara,
aku melangkah setapak demi setapak, mencari ilmu di balik gunung yang megah.
Tanpa bekal, uang, apalagi kemewahan. Akhirnya aku bisa sekolah saat pulang ke
Indonesia. Tapi, aku cuma bisa belajar dari buku-buku usang yang kupinjam dari
perpustakaan. Setiap hari tanpa jajan dan tanpa makan enak. Makanku cuma sekali
sehari di kala lapar, makanan yang tersisa, itupun kalau aku berani. Karena
pada saat itu aku tinggal bersama kakakku, yang cukup makan hanya untuk keluarganya
saja. Itu terus berjalan hingga akhirnya aku menempuh ujian akhir sekolah
dasar. Tanpa sadar sudah 6 tahun di sekolah dasar, aku berjuang mendapatkan
keadilan. Saat lulus, aku menjadi lulusan terbaik dan berprestasi di sekolah
itu. Ayah dan ibu tersenyum sambil menangis, aku tak dapat melanjutkan sekolah.
Aku tak boleh menyerah, kurogoh sakuku yang kusam dan kulihat sekeping uang
lima ratusan, lalu kulayangkan ke udara dan akhirnya kudapatkan genggamanku
melihat garuda yang mengepakkan sayap. Ya, aku mendapatkan beasiswa itu, saat
masuk SMP, dengan semangat aku berlari membawa map merah berisi ijazah dan
formulir, hujan, dan dingin seakan tak terasa. Akhirnya kudapatkan seragam
biru-putih itu. Tak putus sampai di situ, ujianku di akhir tahun mendapat
penghargaan yang cukup bagus, hingga aku lupa bahwa tak ada lagi kesempatan berlena-lena
dengan waktu. Aku tumbuh menjadi belia yang tak tahu pergaulan karena setiap
hari berjibaku dengan buku dan kompetisi. Cukup tahu bahwa aku hidup di kota
kecil yang tenang, tapi aku tak tahu bahwa teman-temanku punya segudang teman
bergaul, sedangkan aku? Setiap detik berkutat dengan ilmu dan membantu ibu.
Tapi, tak apa… hidupku masih panjang, tak perlu berleha-leha kalau aku
punya sejuta impian. Akhirnya,
kujejakkan kaki di SMA. Dengan modal pas-pasan, pinjaman baju, dan uang
pendaftaran, aku nekad memasuki sebuah sekolah terkenal dan hebat. Kemudian,
aku tumbuh besar dan dewasa dengan segala kemandirian. Aku pantang membayar
sekolah, karena senang berburu beasiswa dengan potensi yang aku punya. Setiap
ada kesempatan, aku selalu mengikuti lomba untuk mendapatkan uang. Dan uang itu
yang kupakai untuk sekolahku. Karena cukuplah ayah dan ibu hanya menanggung
makanku saja di rumah.
Sebuah relitas hidup, aku sang bungsu yang dikatakan sangat beruntung hidup
sebagai anak terkahir, disebut-sebut menjadi kesayangan orang tua, tak pernah
takut untuk sengsara dan bertungkus lumus memamah berjuta asam-garam hidup.
Seperti yang dirasakan mereka, kakak-kakakku. Ya, mereka yang katanya tak mampu
dibiayai sekolah sejak dini, mereka yang hanya bisa menjadi kuli, supir, tukang
kebun, TKW, dan pedagang pecel yang kerap kali menjadi pengangguran lantaran
tak berijazah sekolah formal. Hingga suatu ketika kehidupan baru menjemput
mereka, bersama suami dan istri mereka, pergi meninggalkan rentanya orang tua,
beralasan bahwa "sudah tak saatnya lagi membantu orang tua, telah cukup
sudah!". Faktanya, aku mandiri. Aku mampu menyelesaikan sekolah dengan
kemauan dan tekadku yang keras. Ayah dan ibu hanya bermodal gratisan, yaitu
do’a. Sudah cukup buatku do’a mereka sebagai motivasi terbesar untuk sukses.
Sampai akhirnya, aku berhasil menembus perguruan tinggi negeri ternama
sebagai mahasiswa undangan. Dengan jerih payahku mengumpulkan prestasi meski
terbatas secara ekonomi. Kini, aku satu-satunya sarjana di keluargaku. Akulah
yang memikul tanggungjawab besar untuk perubahan nasib keluarga ini. Karena aku
yakin, Allah Maha Adil dan akan memberikan kemudahan bagi hambanya yang mau
merubah diri menjadi lebih baik. Dengan butiran airmata yang tercucur saat
mengantar hidupku, hanya ada satu kalimat yang aku ingat dan aku tanam
dalam-dalam hingga tubuh ini tak mampu lagi menghadapi dunia. Aku akan
menghadap Rabb dengan berujar harapan bahwa manusia yang diutusNya itu akan
selalu ada dan diiringi do’a orangtua, untuk bahagia di dunia maupun akhir
nanti. “Semoga tercapai cita-citamu, lulus dengan nilai terbaik, dan bisa
sukses di masa depan nak!”.
Saat aku menulis untaian kalimat ini, aku tak mampu menahan rasa haru yang
membiru karena restu orangtuakulah yang membawa aku ke jalan ini, jalan Allah.
Tak hanya di jiwa tapi juga di setiap lintasan sinyal, yang melewati saraf
hingga jauh membentang di sekujur tubuh. Aku mengaku bahwa aku bukan apa-apa
tanpa do’a dan airmata mereka. Entah yang ke-berapa kali, tapi kalimat
ini tak pernah dan tak akan pernah membosankan untuk kudengar dan kuresapi
dalam hati. Lantas, sejenak aku menangis sembari memeluk erat hati dan jiwa
ini, meluluhlantakkan semua kenakalan, yang dari dulu pernah aku perlihatkan
pada mereka. Aku tak pantas melihat mata mereka yang tulus, aku juga tak perlu
merias wajah mereka. Wajah yang kusam dan keriput dimakan usia untuk
mengayomiku. Aku bahkan tak tahu betapa deritanya menusuk tulang ketika aku
pernah membentak mereka. Aku tak pernah sadar betapa inginnya mereka melihatku
menggapai bintang. Meskipun saat itu masih menjadi mimpi di
kala aku ada dalam kehangatan pelukan mereka.
Aku juga tak pernah berpikir bahwa dunia mereka tak seindah yang kualami
saat ini. Mungkin kini aku bisa tertawa karena Allah SWT memberiku kesempatan
untuk itu, tapi ketika aku bertanya kepada ayah dan ibu. Mereka tak pernah
lepaskan genggaman tangannya di sarung. Sarung yang dikenakan saat bertutur
sembari menghadapkan wajahnya jauh beberapa radius kilometer di depan sana.
Cerita yang kudengar tak mampu menahan airmata dan hati yang meringis karena
terlalu sulit untuk aku membayangkan hidup seperti itu.
Ibuku, sejak kecil aku selalu di sampingnya, tapi dia tak pernah merasakan
hangatnya cinta dari orang yang melahirkannya. Ketika aku berangkat ke sekolah
dengan seragam kebanggaan, dia mengantarkanku ke depan pintu, berharap tak
turun hujan yang dapat membasahi lantas membuatku sakit karenanya. Tapi, aku
melihat ke dalam matanya betapa inginnya dia memakai seragam kebanggaan ini untuk
meraih masa depannya dulu. Hanya saja, keberuntungan tak berpihak padanya
karena tak ada pembimbing yang jelas untuk mengantarkannya ke dunia pendidikan.
Saban hari dia hanya berjibaku dengan tangisan kelima adiknya.
Akhhhh….aku tak sanggup melanjutkan ini, betapa perih kurasakan ketika aku
menulis tiap penderitaannya, meski di secarik kertas mahal sekalipun. Aku hanya
pengecut yang tak tahu makna kehidupan. Aku terlalu cengeng, lemah, dan haus
akan iba dari orang lain. Sementara dia, dia tak pernah mau mengharap iba dari
siapapun meski deritanya adalah derita orang-orang yang mencintainya. Yang dia
tahu, Allah Maha Pengasih dan Penyayang dan ia selalu ingat akan
Innallahama’asshoobiriin. Apa rasanya dunia tanpanya, dan kuyakini diri sejak
ini bahwa aku akan menanamkan sebuah ungkapan cinta dan do’a untukmu Ibu.
Kala itu, pernah suatu hari di awal perkuliahan. Sudah jam 7, aku segera
bangkit dan membenahi diri untuk rapat pagi itu. Ibu, do'amu adalah kemudahan
perjalanan bagiku. Subhanallah... ketika aku keluar dari asrama, kutemui langit
yang masih memerah dengan cahaya yang indah. Wajahku yang tadi dibasahi peluh
karena menuruni tangga dari lantai empat, kini hilang termakan angin sepoi yang
bertiup. Lantas kujejakkan kaki di bis kuning dan bis itupun melaju... melaju
sederas darahku yang harus semangat untuk menghadapi hari ini, esok dan
seterusnya. Ibu... hari itu sebenarnya aku tak sanggup lagi menyimpan segala
perih yang selama ini kusembunyikan. Aku lupa kapan terakhir kali aku menangis.
Aku cuma ingat hari itu adalah hari tanpa kata-kata yang akan kusuguhkan untuk
dunia hari ini! Pasalnya, kemarin... aku berangkat ke kampus perjuangan dengan
penuh semangat, berharap hari itu tak ada hujan. Alhamdulillah bu, hujan tidak
ada, yang ada hanya hujan harapan.
Aku tiba dengan pikiran kosong tanpa jadwal yang jelas di hari itu. Dengan
terengah-engah sehabis mencuci tadi pagi, aku turun dari bis dan sampai di
lantai dasar dengan keadaan perut kosong. Hm.. ternyata aku berpacu dengan
waktu, dan akhirnya menang. Itu hal pertama yang membuat aku menangis.
Lalu, kutekan beberapa kali keypad handpone lamaku untuk mengirim pesan
singkat. Kutitipkan beberapa file yang diwariskan untuk adik asuhku. Dan kala
aku memberinya, kudapati cahaya mata yang berterima kasih kepadaku. Tapi, itu
tak pernah kuanggap lebih, karena memang tugasku sebagai khalifah yang harus
tahu hutang dan budi. Adik kelasku itu berterima kasih bu, UTS-nya akan lebih
semangat minggu depan.
Lalu, aku berpesan layaknya hari akan terus hilang dan usia akan terus
melayang. Dan.. tiba saat itu, aku pergi menuju ruangan yang sarat formalin
karena awetan hewan-hewan percobaan. Miris, tapi aku senang berada di ruangan
itu, aku bertanya kepada asisten laboratorium, aku berdiskusi tentang spesimen
yang indah nan ajaib itu. Dan aku sekali lagi bersyukur, bahwa Allah memberikan
kehidupan untukku menatap hewan-hewan unik yang beranekaragam. Sekali lagi, hatiku
menangis. Ya Rabb, akankah hidupku selalu indah seperti ini? Dan ketika aku
keluar dari ruangan, aku mendapati senyum dan sapaan dari penjuru teman. Kabar
besok adalah UTS, tapi tak apa... aku masih punya semangat! Ibu, kau tahu,
ketika siang itu aku bingung ada asistensi, tapi aku harus mengajar adik-adik
di bimbel. Mereka sudah mau ujian nasional beberapa bulan lagi. Aku harus
mencerahkan hari-hari belajar mereka. Lantas, kuputuskan meninggalkan kampus
untuk mengajar pada hari itu.
Ibu, kau tahu, aku hampir terhempas bis ketika menyebrang jalan. Sekali
lagi, Rabb membantu mencari kehati-hatian untukku meraba dan merangkak di
tengah keganasan jalan raya di kota Jakarta. Tak pantang menyerah, kulanjutkan
perjalanan dengan menaiki angkutan kota yang panas, berdesakan, penuh peluh,
lelah, dan rasa mengantuk membaur. Ibarat gado-gado hidup yang akan segera
disantap oleh segala keganasan kota yang asing ini. Ibu, aku ingin menangis
hari itu, karena semua berhasil kulewati dan sampai di tempatku mengajar dengan
letih tapi masih ada sebuah semangat.
Hingga pukul 10 malam, aku baru sampai di kamarku, kemudian tertidur dan
lelah. Ibu, aku lelah, lelah, dan ingin menangis melihat perjalananku hari ini.
Dan itu terus berjalan di hari-hari berikutnya. Karena aku harus membiayai
hidup selama kuliah.
Hingga hari ini kembali, aku ingin menangisi hidupku yang entah untuk
keberapa kali merasa kesunyian, lalu kusibukkan dengan beragam aktivitas. Tapi,
aku kering, hampa, dan tak mampu menahan airmata. Ibu, aku ingin menangis atas
kesendirianku, hidupku, perjuanganku di sini, hanya ikhlas untuk membantumu
tersenyum. Aku akan sangat menangis, ketika ku tahu dalam segala lelah dan
sepiku, ternyata buah perjuanganku yang dulu tidak pernah disadari oleh
kakak-kakaku. Aku serasa tak berharga di mata dunia, kali ini, semangatku
tersisa hanya untukmu, Ibu. Begitu juga ayah, biarkan aku menangis sebentar
hari ini saja.
Aku juga pada akhirnya, tak mampu berkata bahwa aku sedang sakit, yang
kurasakan hanya tulang-belulang yang sengal-sengal dan rapuh, setiap urat kaki
dan tanganku kaku, tak mampu bergerak. Terasa nyeri di bagian rusuk dan tulang
belakang. Aku tak pernah berani memeriksanya ke dokter, aku masih takut
menghadapi kenyataan bahwa aku tak lagi bisa beraktivitas seperti saat ini.
Dan sekali lagi aku berbohong atas segala kondisiku kepada ayah dan ibu. Rabb,
salahkah ini.
"Ya... sehat-sehat aja kan sayang, tetap diminum ya obatnya. Maaf
ibugak bisa ngasih apa-apa selain do'a, semoga sukses ya nak... uang makan
gimana? Masih dapat kan beasiswanya?", tanya ibu penuh harap.
"Iya Bu... Insyaallah... lumayan masih dapat 800 ribu per bulan.
Mudah-mudahan masih berlanjut sampai selesai kuliah. Ibu dan ayah jangan
mikirin adek ya, Alhamdulillah adek juga udah ngajar di bimbel, lumayan buat
nambah uang makan dan beli buku".
"Alhamdulillah... berusaha ya Nak, Ibu dan Bapak minta maaf, gak bisa
ngasih yang terbaik buat kamu. Do'a dan kerelaan kami yang bisa diberikan untukmu,
semoga kamu berhasil ya Nak".
Aku terisak saat itu, dan dengan suara lirih sambil menahan sakit ini, aku
bersyukur dan mengucapkan terima kasih banyak untukmu Ayah dan Ibu. Relakan
anakmu berbakti pada-Nya, pada bangsa dan negara ini. Kali ini, aku tak peduli
ada penyakit apa di badanku, yang kusadari hanyalah aku ingin membuat
orangtuaku tetap terseyum. Aku ingin mengembalikan senyuman indah orang tuaku
yang selama ini dibungkam oleh keputusasaan karena ketidakberdayaan.
Rabb, aku cuma bisa memberikan pengabdian, hanya Kau yang bisa mengabulkan.
Aku terenyuh dengan kata-kata ibuku dan ingin rasanya aku segera wisuda,
bekerja, dan membangun rumah impian untuk Ayah dan Ibu. Rumah yang berisi
kenyamanan dan kaharmonisan. Rumah yang akan indah dengan ayat-ayat Allah SWT.
Rumah yang penuh berkah karena akan ada malaikat di sekelilingnya. Rabb, saat
ini, aku hanya bisa menahan segala sakit, sedih, perih dan lirih sendiri. Aku
ingin keikhlasan ini membuat semua orang yang ada di sekitarku tersenyum.
Dan, sang bungsu kini mulai letih. Sampai akhirnya menyelesaikan kuliah S1
dengan segala bentuk perjuangan besar. Semua karena tangan-tangan Allah. Tinggal
meraih mimpi di depan, yaitu mengabdi, seperti pesan Ayah dan Ibu. Aku mengayuh
secerca harapan yang dulu mereka bina. Sejak kecil, sebuah semangat sejak
mendaftar di bangku sekolah dasar, dengan bermodal beasiswa 60 ribu rupiah
sebagai motivasi, aku harus bisa sukses menjadi apa yang aku inginkan, dengan
peluh dan darahku sendiri. Hingga, aku harus membanting segenap raga, demi
mengenyam pendidikan dalam sgala keterbatasan garis takdir ini. Kata Allah, aku
harus bisa meluahkan semangat hanya untuk satu tujuan: bisa mengembalikan
senyum di kedua bibir Ayah dan ibuku.***
Rabb, hamba tau bahwa kondisi manusia
itu memang rumit. Rumit untuk
dipahami, di bawah nalar dan rasional sekalipun. Manusia, aku yang hina dina
hanya sebatang kayu, kemudian menyatu dengan kayu lainnya kemudian menghasilkan
api, dan api itu akan menyala... itulah kehidupanku. Tetapi, nyala itu hanya
sementara lalu mati. Begitupun, kasih sayangku. Jika memang aku intan, maka hanya Kau yang berhak
memberikanku intan. Agar kelak nyala api itu dapat membawaku dan dirinya
bersama ke surga. Biarkan aku menjaga hati, entah sampai kapan menutupnya
rapat-rapat hanya untuk zaujihku, suamiku, yang hanya mencintaiku karena-Mu.
Itulah yang menunjukkan arah menuju kekekalanMu. Hingga pada akhirnya kau
datang suamiku. Kaulah suamiku, pendamping yang kuharapkan di dunia dan
akhirat.
Masih banyak cita-cita yang
belum aku tunaikan di dunia ini. Tak kusangka waktuku ternyata lebih dari
sepuluh tahun. Dan kau tau, itu karena semangat dirimu yang kerap kali
mendorongku untuk hidup lebih baik. Kau memang utusan Allah yang dapat
menjagaku. Teman setiaku. Namun, masih banyak cita-cita yang belum aku tunaikan
untuk negara ini. Bahkan melanjutkan generasimu dari rahimku pun aku tak
sanggup. Aku bukan perempuan yang sempurna. Semoga umurku bisa panjang dan
selalu mendampingimu. Dan kau tak menolak itu.
**
Aku tak bisa mengatakan
apa-apa Lyani. Lidahku teramat kelu dan dingin. Sebentar lagi aku landing, Ah... apa artinya semua kesuksesan ini tanpamu Lyani. Aku tak mau dikenal sebagai Yusuf yang
keji karena tidak memahami kehidupan pendampingku sendiri. Aku terlalu jahat
Lyani, jahat. Aku cuma bisa meminta maaf sebesar-besarnya sayang. Setelah
konferensi ini selesai, aku akan langsung pulang ke Indonesia. Tujuan pertamaku
adalah membawakan bunga ke pusaramu, sayang.
Aku kagum dengan dirimu,
hatimu, jiwamu, dan seluruh yang kau punya. Kau benar-benar tegar, berjiwa
kebangsaan, mandiri, dan satu hal yang aku sangat bangga padamu, yaitu kau
selalu bersyukur atas apa yang kau punya. Itu yang membuat wajahmu sangat
cantik. Bukan hanya cantik secara fisik, tapi juga rohanimu. Kau memang
terlihat sangat cantik, apalagi di kala tidur. Benar, kau juga seperti ibuku
dan ibumu. Kalian terlihat cantik di kala tidur, dengan seluruh ketulusan dan
kesucian yang tampak dari dalam jiwa. Aku memang melihat dunia di bawah telapak
kakimu. Aku bahkan tak sanggup untuk menatap wajahmu cepat-cepat. Aku ingin
terus menatap wajahmu tanpa henti. Tapi, itu tinggal sebuah harapan semu di
dunia ini. Aku harap, Allah mengizinkanku, nanti suatu saat berada di sampingmu
di surga. Karena kaulah bidadari dengan kayu dari langitmu.
Lyani kau tahu, diary ini
layak kuabadikan sebagai sebuah buku kenangan paling indah yang pernah
kumiliki. Dan aku berjanji akan menerbitkannya hingga semua orang bisa tau tentang duniamu, semangatmu,
cita-citamu, dan cerita kita. Lyani, aku juga sangat menyayangimu. Kau adalah
intan bagiku. Hari ini, aku putuskan untuk menutup rapat-rapat hati ini, karena
aku menghargai dirimu yang selalu ikhlas menungguku dan mencintaiku apa adanya.
Lyani, aku sangat menyayangimu, aku akan melanjutkan perjuanganmu sayang. Aku
akan meneruskan cita-citamu untuk memperbaiki bangsa ini hingga akhir nafasku.
No comments:
Post a Comment