Tuesday, September 18, 2012

Lyani, Kuputuskan untuk Menutup Rapat Hati ini


Hari ini, tepat lima tahun usia pernikahan kami. Aku bahagia, akhirnya bisa menikah dengan pangeranku. Orang yang kerap kali datang menghampiri setiap mimpiku dan malam-malam sepiku. Yusuf, aku bahagia bisa menjadi istri yang kau harapkan. Aku percaya keyakinanmu suatu saat akan sosok pendampingmu itu akan datang padaku. Dan aku ingin menjalani dengan ikhlas, rasa cinta ini. Apa adanya hanya untukmu. Allah punya rahasia untuk kita, lima tahun yang lalu... tak kusangka tiba-tiba kau akan datang melamarku. Padahal sekian tahun kau meninggalkanku tanpa pesan, yang kusangka kau telah memilih perempuan lain yang lebih layak untukmu. Kemudian, kau membawaku ke istana pernikahan kita. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa selain bersyukur.
Aku tak pernah menyesal meninggalkan karierku di Indonesia, hanya untuk menjagamu di luar sana. Aku tak pernah mau menyusahkan kau mencari nafkah hingga semua kebutuhanmu terlupakan. Aku bahagia bisa menjadi makmum bagimu. Aku bahagia bisa membuatkan sarapan untukmu. Aku bahagia bisa mencuci dan menyeterika pakaianmu. Aku bahagia bisa mendengarkan tausiyahmu setiap Subuh. Aku bahagia bisa mengurusi rumah tangga kita, kau bilang akulah manajer di rumah. Aku bahagia bisa mengandung anakmu, meskipun akhirnya kita harus kehilangannya karena penyakitku ini. Sejujurnya, ini yang paling aku sesali dalam hidup. Allah begitu menyayangiku sehingga aku diberikan sakit seperti ini. Dan besok, aku harus menjalani kemoterapi ke sekian kali. Selama bertahun-tahun, aku tak pernah bisa jujur denganmu karena menderita sakit ini. Apalagi ini sangat tak terlihat, bahkan ketika peristiwa keguguran itu, dokter sama sekali tak melihat diagnosa kankerku itu. Sampai akhirnya, aku memutuskan aku harus mulai menjauh darimu sayang. Maafkan aku, karena aku tak mau menyusahkan hatimu. Tak ada yang boleh tau aku menderita penyakit ini, kecuali ibuku dan ibu mertuaku, ibumu Yusuf. Ibulah yang selalu menyemangatiku, menuntun aku hidup lebih baik. Dia sengaja ingin aku berkarier di sini, agar aku dapat melupakan apa yang sedang aku alami saat ini. Aku ingin lebih jauh darimu, agar kau tenang dan selalu ikhlas menjagaku dengan do’amu dari sana. Bagiku, kini ibuku dan ibumu yang lebih pantas untuk menjagaku, sementara aku mempersiapkan diri menuju singgahsana yang paling indah di sisi Allah SWT. Kenapa harus mereka berdua?
Kau tahu tidak, aku senang mengamati wajah ibuku di saat ia tertidur. Ia layaknya seorang puteri yang tercantik di alam ini. Begitu juga di saat ibumu tertidur. Wajah-wajah mereka tampak begitu bercahaya di kala tidur. Begitu tenang dan aku bisa melihat seisi dunia takluk dengan kehebatan mereka. Dunia ada di bawah telapak kaki mereka, apalagi surga. Bahkan, aku takut untuk mencium kening mereka. Karena mereka terlalu cantik, aku takut kecantikan mereka justru rusak karena sentuhanku. Bahkan, mungkin aku lebih mencintai kecantikan mereka, bukan cinta mereka. Ibuku dan ibumu memang berbeda, tapi mereka berdua sama-sama bidadari tercantik, yang pernah aku jumpai di jagad raya. Mungkin, tanpa memintapun mereka akan dengan tulus mencintai dan menjagaku. Meski dalam sakitku. Sisa waktuku, sepenuhnya untuk mengabdi. Pada Allah, pemilik sejati raga dan jiwa ini. Melalui kau, ibuku, dan ibumu.
Sayang, selama hidup denganmu aku tak pernah bercerita tentang masa laluku. Dan mungkin kau juga tak pernah mau tahu, mungkin juga tak butuh tahu. Tapi, kali ini izinkan aku menyampaikan sedikit cerita. Agar hatiku bisa tenang menghadapi sisa-sisa kejujuran dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Aku harus memulai dari mana ya? Kau pasti tahu, betapa aku seorang introvert yang menyenangkan. Dan kali ini, aku mencoba menceritakan semuanya. Dan kau pasti akan menceritakan pada anak-anak, cucu-cucu, keponakan-keponakan, dan juga orang lain, saudara kita seagama, sebangsa, dan setanah air. Aku mau ceritaku bisa membuat orang lain lebih bersyukur atas anugerah dalam hidup mereka. Begitu juga kau, bahkan saat aku tak di sampingmu nanti. Kalau kau setuju, dengarkan ceritaku ya. Masa-masa sulit yang akhirnya membuat aku merdeka. Merdeka dengan rasa syukur karena Allah selalu menemani dan memudahkan setiap jalanku. Catatan ini kubuat saat aku milad ke-23 tahun. Saat itu, kau belum menjadi pendampingku bukan? Dan kau tak pernah menanyakan apa yang telah kutuangkan di dalamnya. Saatnya aku ingin mnyampaikan rahasia kecil ini padamu.
Masih di sudut ruang baca, 24 Oktober. Rabb, yang aku inginkan adalah membuat mereka tersenyum. Kadang aku bingung dengan segala realitas hidup. Aku tak pernah sekalipun terpikirkan untuk membelakangi garis takdir ini. Tapi kadang juga aku takut dengan realitas hidup, yang meyakinkan bahwa aku tak pernah sanggup memangku lagi semua rasa yang ada di hati ini. Kadang aku juga tak bisa membedakan yang mana kasih sayang dan yang mana kebencian. Semua terlihat berbeda tipis. Hanya tinggal sebuah tanya yang akan terus kusisipkan tanpa ada yang memahami. Dialah sebuah pencarian, yang akan kutekuni hingga mati. Mungkin orang-orang akan selalu bertanya hingga aku membongkar semua rahasia yang terpendam. Tapi, aku pastikan folder itu akan selalu terkunci dengan aman. Biarkan aku saja yang tahu apa isinya. Akan kuubah dunia dengan isi folder itu. Folder yang selama ini terkunci, hingga aku mati.
Secuplik harapan yang tersimpan, kini terasa akan semakin jauh. Betapa aku akan menghadapi hujanan airmata, yang bertubi-tubi di saat ini. Ada sebuah rahasia yang harus kutukarkan dengan harga diri. Ah, tapi apa artinya harga diri ketika perjuangan yang kutempuh tak lagi dianggap sebuah arti. Akhirnya, tiba di ujung perjuangan kala aku tak mampu lagi menatap ke depan seorang sendiri dan berjuang seperti dulu.
Sebuah realitas hidup. Aku sang bungsu yang hidup di antara kerumitan persaudaraan. Kisah kedua orang tua yang melankolis sejak dulu. Aku bahkan tak pernah melihat senyum di bibir mereka. Ayahku, seorang kuli yang hidup hanya untuk sesuap nasi. Penghasilan ayah tak lebih dari 20 ribu sehari, dengan pendamping nya, ibu yang seorang pejuang rumah tangga sekaligus seorang binatu. Ibu melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka dengan mempertaruhkan nyawa. Harganya sebuah perjuangan tak pernah dibayar, hingga mereka tua renta. Mereka tak lelah mengkais rezeki, daripada hidup berkalung pasrah dan mengemis dengan mimik memelas yang lebih hina.
“Rabb… berikan aku hidup lebih lama,
Sampai hati tak berkalang noda dan perih
Sampai nyawa tak bertabur dusta dan hina
Karna matipun aku segan, bercermin diri yang penuh dosa
Rabb... biarkan aku bersanding di samping-Mu nanti saat waktunya tepat”
Dan aku, hanya anak manusia yang kala itu lahir di sore hari. Bertepatan 10 Dzulhijjah dan azan Ashar. Aku tak tahu makna hikmah ini, yang kutahu adalah aku lahir atas ketetapanNya. Dari ayah seorang buruh bangunan, yang sudah dibuang keluarganya dan dari seorang ibu yang tangguh dan tegar karna hidup di atas derita ayah dan ibu tirinya. Aku tak pernah berpikir bahwa aku dilahirkan sia-sia dan untuk ditelantarkan, seperti kata mereka—saudara sekandungku—yang tak lagi melihat kebaikan dari sisi ayah dan ibu. Aku tak tahu apa makna jalan ini, yang kutahu aku hidup karna Rabb menginginkanku memperbaiki nasib ayah dan ibu.
Saat ini, hampir 23 tahun aku hidup. Bak mimpi di pagi hari, aku bangun dari ketidakmungkinan. Aku sudah sebesar ini. Tumbuh menjadi wanita tegar, penuh kerelaan dan perjuangan. Aku ini ibarat kartini kecil yang dulu memperjuangkan emansipasi, bedanya kali ini aku memperjuangkan keadilan atas hidup kedua orang tuaku yang kini didustai oleh anak-anak mereka, yang kini dijajah oleh kenistaan anak-anak mereka, yang kini tak mngenal arti tersenyum dan ibadah karena anak-anak mereka, dan yang kini berharap penuh bahwa aku akan pulang membawa kebahagiaan untuk mereka. Aku percaya Rabb punya jalan lain untuk mereka, mungkin melalui aku. Tapi, aku tak sanggup melihat duka dan airmata selalu tersimpan dalam setiap peluh, tatapan, dan hembusan napas lelah, yang tersengal-sengal ketika ayah pulang dari menarik ojek atau memikul batu dan tanah. Aku tak tahan melihat goresan lelah dan sedih di balik keriput wajah ibu karena mencuci dan menyeterika di rumah orang. Aku tak bisa melihat dunia seperti ini, aku harus berlari, dan berlari menemukan cahaya yang dititipkan itu, menemukan jalan pulang yang baik untuk ayah dan ibu, menemukan gudang keberkahan yang pantas dan layak untuk ayah dan ibu, dan menemukan semangat hidup yang hampir hilang untuk ayah dan ibu.
Sebuah realitas hidup, aku sang bungsu yang sejak kecil hanya bisa terbata-bata mengeja semua gejala kehidupan sendiri. Sejak kecil aku merasakan di perantauan, ditinggal ayah dan ibu, yang bekerja sebagai TKI saat di negeri jiran. Saban hari, kulepaskan kerinduan dengan bermain bersama teman lelaki-lelaki kecil. Aku bahagia memanjat pohon dan tebing, bersepeda, memancing, dan bertukar seragam senyuman dengan hari yang terik. Aku hanya tahu bahwa hidup itu adalah kekosongan yang harus kuisi dengan ceria dan senyuman. Aku hanya berteman dengan seekor kucing kecil, yang bisa membuat aku lupa bahwa hari itu aku tak bisa makan apa-apa. Ketika saat teman-teman pergi ke bangku sekolah, aku hanya bisa mengikuti dari belakang. Dan, kukayuh sepeda kencang-kencang sambil mengendap ke mana mereka pergi. Ternyata, ke sebuah sekolah kebangsaan. Ya... mereka belajar mengeja dan menulis, bermain, dan ceria. Sedangkan aku, hanya bisa mengintip di balik jendela yang tinggi. Sesaat, sang cikgu menoleh, aku ketakutan dan membalikkan badan, kemudian berlari sekencang mungkin, bersepeda, dan berusaha mencapai jalan menuju rumah. Degup kencang rasa bersalah, aku telah merusak pemandangan sekolah kebangsaan hari itu. Ah, betapa kecilnya diri ini.
Aku harusnya sadar bahwa aku bukanlah orang yang tepat untuk berada di sana. Aku tak pernah akan mampu untuk duduk di kursi pendidikan seperti itu. Akhirnya, aku memasuki rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Entah ke mana sepeda yang kupakai tadi. Segera kulempar badanku ke arah pembaringan di dapur rumah. Kemudian memeluk kakiku rapat-rapat. Aku menangis dan menangis.
Aku tak pernah berpikir, sampai kapan aku harus menanggung semua perih, yang kupikir hanya mengembalikan senyum merekah di wajah mereka. Tanpa bicara, aku melangkah setapak demi setapak, mencari ilmu di balik gunung yang megah. Tanpa bekal, uang, apalagi kemewahan. Akhirnya aku bisa sekolah saat pulang ke Indonesia. Tapi, aku cuma bisa belajar dari buku-buku usang yang kupinjam dari perpustakaan. Setiap hari tanpa jajan dan tanpa makan enak. Makanku cuma sekali sehari di kala lapar, makanan yang tersisa, itupun kalau aku berani. Karena pada saat itu aku tinggal bersama kakakku, yang cukup makan hanya untuk keluarganya saja. Itu terus berjalan hingga akhirnya aku menempuh ujian akhir sekolah dasar. Tanpa sadar sudah 6 tahun di sekolah dasar, aku berjuang mendapatkan keadilan. Saat lulus, aku menjadi lulusan terbaik dan berprestasi di sekolah itu. Ayah dan ibu tersenyum sambil menangis, aku tak dapat melanjutkan sekolah.
Aku tak boleh menyerah, kurogoh sakuku yang kusam dan kulihat sekeping uang lima ratusan, lalu kulayangkan ke udara dan akhirnya kudapatkan genggamanku melihat garuda yang mengepakkan sayap. Ya, aku mendapatkan beasiswa itu, saat masuk SMP, dengan semangat aku berlari membawa map merah berisi ijazah dan formulir, hujan, dan dingin seakan tak terasa. Akhirnya kudapatkan seragam biru-putih itu. Tak putus sampai di situ, ujianku di akhir tahun mendapat penghargaan yang cukup bagus, hingga aku lupa bahwa tak ada lagi kesempatan berlena-lena dengan waktu. Aku tumbuh menjadi belia yang tak tahu pergaulan karena setiap hari berjibaku dengan buku dan kompetisi. Cukup tahu bahwa aku hidup di kota kecil yang tenang, tapi aku tak tahu bahwa teman-temanku punya segudang teman bergaul, sedangkan aku? Setiap detik berkutat dengan ilmu dan membantu ibu. Tapi, tak apa… hidupku masih panjang, tak perlu berleha-leha kalau aku punya sejuta impian. Akhirnya, kujejakkan kaki di SMA. Dengan modal pas-pasan, pinjaman baju, dan uang pendaftaran, aku nekad memasuki sebuah sekolah terkenal dan hebat. Kemudian, aku tumbuh besar dan dewasa dengan segala kemandirian. Aku pantang membayar sekolah, karena senang berburu beasiswa dengan potensi yang aku punya. Setiap ada kesempatan, aku selalu mengikuti lomba untuk mendapatkan uang. Dan uang itu yang kupakai untuk sekolahku. Karena cukuplah ayah dan ibu hanya menanggung makanku saja di rumah. 
Sebuah relitas hidup, aku sang bungsu yang dikatakan sangat beruntung hidup sebagai anak terkahir, disebut-sebut menjadi kesayangan orang tua, tak pernah takut untuk sengsara dan bertungkus lumus memamah berjuta asam-garam hidup. Seperti yang dirasakan mereka, kakak-kakakku. Ya, mereka yang katanya tak mampu dibiayai sekolah sejak dini, mereka yang hanya bisa menjadi kuli, supir, tukang kebun, TKW, dan pedagang pecel yang kerap kali menjadi pengangguran lantaran tak berijazah sekolah formal. Hingga suatu ketika kehidupan baru menjemput mereka, bersama suami dan istri mereka, pergi meninggalkan rentanya orang tua, beralasan bahwa "sudah tak saatnya lagi membantu orang tua, telah cukup sudah!". Faktanya, aku mandiri. Aku mampu menyelesaikan sekolah dengan kemauan dan tekadku yang keras. Ayah dan ibu hanya bermodal gratisan, yaitu do’a. Sudah cukup buatku do’a mereka sebagai motivasi terbesar untuk sukses.
Sampai akhirnya, aku berhasil menembus perguruan tinggi negeri ternama sebagai mahasiswa undangan. Dengan jerih payahku mengumpulkan prestasi meski terbatas secara ekonomi. Kini, aku satu-satunya sarjana di keluargaku. Akulah yang memikul tanggungjawab besar untuk perubahan nasib keluarga ini. Karena aku yakin, Allah Maha Adil dan akan memberikan kemudahan bagi hambanya yang mau merubah diri menjadi lebih baik. Dengan butiran airmata yang tercucur saat mengantar hidupku, hanya ada satu kalimat yang aku ingat dan aku tanam dalam-dalam hingga tubuh ini tak mampu lagi menghadapi dunia. Aku akan menghadap Rabb dengan berujar harapan bahwa manusia yang diutusNya itu akan selalu ada dan diiringi do’a orangtua, untuk bahagia di dunia maupun akhir nanti. “Semoga tercapai cita-citamu, lulus dengan nilai terbaik, dan bisa sukses di masa depan nak!”.
Saat aku menulis untaian kalimat ini, aku tak mampu menahan rasa haru yang membiru karena restu orangtuakulah yang membawa aku ke jalan ini, jalan Allah. Tak hanya di jiwa tapi juga di setiap lintasan sinyal, yang melewati saraf hingga jauh membentang di sekujur tubuh. Aku mengaku bahwa aku bukan apa-apa tanpa do’a dan airmata mereka. Entah yang ke-berapa kali, tapi kalimat ini tak pernah dan tak akan pernah membosankan untuk kudengar dan kuresapi dalam hati. Lantas, sejenak aku menangis sembari memeluk erat hati dan jiwa ini, meluluhlantakkan semua kenakalan, yang dari dulu pernah aku perlihatkan pada mereka. Aku tak pantas melihat mata mereka yang tulus, aku juga tak perlu merias wajah mereka. Wajah yang kusam dan keriput dimakan usia untuk mengayomiku. Aku bahkan tak tahu betapa deritanya menusuk tulang ketika aku pernah membentak mereka. Aku tak pernah sadar betapa inginnya mereka melihatku menggapai bintang. Meskipun saat itu masih menjadi mimpi di kala aku ada dalam kehangatan pelukan mereka.
Aku juga tak pernah berpikir bahwa dunia mereka tak seindah yang kualami saat ini. Mungkin kini aku bisa tertawa karena Allah SWT memberiku kesempatan untuk itu, tapi ketika aku bertanya kepada ayah dan ibu. Mereka tak pernah lepaskan genggaman tangannya di sarung. Sarung yang dikenakan saat bertutur sembari menghadapkan wajahnya jauh beberapa radius kilometer di depan sana. Cerita yang kudengar tak mampu menahan airmata dan hati yang meringis karena terlalu sulit untuk aku membayangkan hidup seperti itu.
Ibuku, sejak kecil aku selalu di sampingnya, tapi dia tak pernah merasakan hangatnya cinta dari orang yang melahirkannya. Ketika aku berangkat ke sekolah dengan seragam kebanggaan, dia mengantarkanku ke depan pintu, berharap tak turun hujan yang dapat membasahi lantas membuatku sakit karenanya. Tapi, aku melihat ke dalam matanya betapa inginnya dia memakai seragam kebanggaan ini untuk meraih masa depannya dulu. Hanya saja, keberuntungan tak berpihak padanya karena tak ada pembimbing yang jelas untuk mengantarkannya ke dunia pendidikan. Saban hari dia hanya berjibaku dengan tangisan kelima adiknya.
Akhhhh….aku tak sanggup melanjutkan ini, betapa perih kurasakan ketika aku menulis tiap penderitaannya, meski di secarik kertas mahal sekalipun. Aku hanya pengecut yang tak tahu makna kehidupan. Aku terlalu cengeng, lemah, dan haus akan iba dari orang lain. Sementara dia, dia tak pernah mau mengharap iba dari siapapun meski deritanya adalah derita orang-orang yang mencintainya. Yang dia tahu, Allah Maha Pengasih dan Penyayang dan ia selalu ingat akan Innallahama’asshoobiriin. Apa rasanya dunia tanpanya, dan kuyakini diri sejak ini bahwa aku akan menanamkan sebuah ungkapan cinta dan do’a untukmu Ibu.
Kala itu, pernah suatu hari di awal perkuliahan. Sudah jam 7, aku segera bangkit dan membenahi diri untuk rapat pagi itu. Ibu, do'amu adalah kemudahan perjalanan bagiku. Subhanallah... ketika aku keluar dari asrama, kutemui langit yang masih memerah dengan cahaya yang indah. Wajahku yang tadi dibasahi peluh karena menuruni tangga dari lantai empat, kini hilang termakan angin sepoi yang bertiup. Lantas kujejakkan kaki di bis kuning dan bis itupun melaju... melaju sederas darahku yang harus semangat untuk menghadapi hari ini, esok dan seterusnya. Ibu... hari itu sebenarnya aku tak sanggup lagi menyimpan segala perih yang selama ini kusembunyikan. Aku lupa kapan terakhir kali aku menangis. Aku cuma ingat hari itu adalah hari tanpa kata-kata yang akan kusuguhkan untuk dunia hari ini! Pasalnya, kemarin... aku berangkat ke kampus perjuangan dengan penuh semangat, berharap hari itu tak ada hujan. Alhamdulillah bu, hujan tidak ada, yang ada hanya hujan harapan.

Aku tiba dengan pikiran kosong tanpa jadwal yang jelas di hari itu. Dengan terengah-engah sehabis mencuci tadi pagi, aku turun dari bis dan sampai di lantai dasar dengan keadaan perut kosong. Hm.. ternyata aku berpacu dengan waktu, dan akhirnya menang. Itu hal pertama yang membuat aku menangis.
Lalu, kutekan beberapa kali keypad handpone lamaku untuk mengirim pesan singkat. Kutitipkan beberapa file yang diwariskan untuk adik asuhku. Dan kala aku memberinya, kudapati cahaya mata yang berterima kasih kepadaku. Tapi, itu tak pernah kuanggap lebih, karena memang tugasku sebagai khalifah yang harus tahu hutang dan budi. Adik kelasku itu berterima kasih bu, UTS-nya akan lebih semangat minggu depan.
Lalu, aku berpesan layaknya hari akan terus hilang dan usia akan terus melayang. Dan.. tiba saat itu, aku pergi menuju ruangan yang sarat formalin karena awetan hewan-hewan percobaan. Miris, tapi aku senang berada di ruangan itu, aku bertanya kepada asisten laboratorium, aku berdiskusi tentang spesimen yang indah nan ajaib itu. Dan aku sekali lagi bersyukur, bahwa Allah memberikan kehidupan untukku menatap hewan-hewan unik yang beranekaragam. Sekali lagi, hatiku menangis. Ya Rabb, akankah hidupku selalu indah seperti ini? Dan ketika aku keluar dari ruangan, aku mendapati senyum dan sapaan dari penjuru teman. Kabar besok adalah UTS, tapi tak apa... aku masih punya semangat! Ibu, kau tahu, ketika siang itu aku bingung ada asistensi, tapi aku harus mengajar adik-adik di bimbel. Mereka sudah mau ujian nasional beberapa bulan lagi. Aku harus mencerahkan hari-hari belajar mereka. Lantas, kuputuskan meninggalkan kampus untuk mengajar pada hari itu.
Ibu, kau tahu, aku hampir terhempas bis ketika menyebrang jalan. Sekali lagi, Rabb membantu mencari kehati-hatian untukku meraba dan merangkak di tengah keganasan jalan raya di kota Jakarta. Tak pantang menyerah, kulanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan kota yang panas, berdesakan, penuh peluh, lelah, dan rasa mengantuk membaur. Ibarat gado-gado hidup yang akan segera disantap oleh segala keganasan kota yang asing ini. Ibu, aku ingin menangis hari itu, karena semua berhasil kulewati dan sampai di tempatku mengajar dengan letih tapi masih ada sebuah semangat.  Hingga pukul 10 malam, aku baru sampai di kamarku, kemudian tertidur dan lelah. Ibu, aku lelah, lelah, dan ingin menangis melihat perjalananku hari ini. Dan itu terus berjalan di hari-hari berikutnya. Karena aku harus membiayai hidup selama kuliah.
Hingga hari ini kembali, aku ingin menangisi hidupku yang entah untuk keberapa kali merasa kesunyian, lalu kusibukkan dengan beragam aktivitas. Tapi, aku kering, hampa, dan tak mampu menahan airmata. Ibu, aku ingin menangis atas kesendirianku, hidupku, perjuanganku di sini, hanya ikhlas untuk membantumu tersenyum. Aku akan sangat menangis, ketika ku tahu dalam segala lelah dan sepiku, ternyata buah perjuanganku yang dulu tidak pernah disadari oleh kakak-kakaku. Aku serasa tak berharga di mata dunia, kali ini, semangatku tersisa hanya untukmu, Ibu. Begitu juga ayah, biarkan aku menangis sebentar hari ini saja.

Aku juga pada akhirnya, tak mampu berkata bahwa aku sedang sakit, yang kurasakan hanya tulang-belulang yang sengal-sengal dan rapuh, setiap urat kaki dan tanganku kaku, tak mampu bergerak. Terasa nyeri di bagian rusuk dan tulang belakang. Aku tak pernah berani memeriksanya ke dokter, aku masih takut menghadapi kenyataan bahwa aku tak lagi bisa beraktivitas seperti saat ini.
Dan sekali lagi aku berbohong atas segala kondisiku kepada ayah dan ibu. Rabb, salahkah ini.
"Ya... sehat-sehat aja kan sayang, tetap diminum ya obatnya. Maaf ibugak bisa ngasih apa-apa selain do'a, semoga sukses ya nak... uang makan gimana? Masih dapat kan beasiswanya?", tanya ibu penuh harap.
"Iya Bu... Insyaallah... lumayan masih dapat 800 ribu per bulan. Mudah-mudahan masih berlanjut sampai selesai kuliah. Ibu dan ayah jangan mikirin adek ya, Alhamdulillah adek juga udah ngajar di bimbel, lumayan buat nambah uang makan dan beli buku".
"Alhamdulillah... berusaha ya Nak, Ibu dan Bapak minta maaf, gak bisa ngasih yang terbaik buat kamu. Do'a dan kerelaan kami yang bisa diberikan untukmu, semoga kamu berhasil ya Nak".
Aku terisak saat itu, dan dengan suara lirih sambil menahan sakit ini, aku bersyukur dan mengucapkan terima kasih banyak untukmu Ayah dan Ibu. Relakan anakmu berbakti pada-Nya, pada bangsa dan negara ini. Kali ini, aku tak peduli ada penyakit apa di badanku, yang kusadari hanyalah aku ingin membuat orangtuaku tetap terseyum. Aku ingin mengembalikan senyuman indah orang tuaku yang selama ini dibungkam oleh keputusasaan karena ketidakberdayaan.
Rabb, aku cuma bisa memberikan pengabdian, hanya Kau yang bisa mengabulkan. Aku terenyuh dengan kata-kata ibuku dan ingin rasanya aku segera wisuda, bekerja, dan membangun rumah impian untuk Ayah dan Ibu. Rumah yang berisi kenyamanan dan kaharmonisan. Rumah yang akan indah dengan ayat-ayat Allah SWT. Rumah yang penuh berkah karena akan ada malaikat di sekelilingnya. Rabb, saat ini, aku hanya bisa menahan segala sakit, sedih, perih dan lirih sendiri. Aku ingin keikhlasan ini membuat semua orang yang ada di sekitarku tersenyum.
Dan, sang bungsu kini mulai letih. Sampai akhirnya menyelesaikan kuliah S1 dengan segala bentuk perjuangan besar. Semua karena tangan-tangan Allah. Tinggal meraih mimpi di depan, yaitu mengabdi, seperti pesan Ayah dan Ibu. Aku mengayuh secerca harapan yang dulu mereka bina. Sejak kecil, sebuah semangat sejak mendaftar di bangku sekolah dasar, dengan bermodal beasiswa 60 ribu rupiah sebagai motivasi, aku harus bisa sukses menjadi apa yang aku inginkan, dengan peluh dan darahku sendiri. Hingga, aku harus membanting segenap raga, demi mengenyam pendidikan dalam sgala keterbatasan garis takdir ini. Kata Allah, aku harus bisa meluahkan semangat hanya untuk satu tujuan: bisa mengembalikan senyum di kedua bibir Ayah dan ibuku.***
Rabb, hamba tau bahwa kondisi manusia itu memang rumit. Rumit untuk dipahami, di bawah nalar dan rasional sekalipun. Manusia, aku yang hina dina hanya sebatang kayu, kemudian menyatu dengan kayu lainnya kemudian menghasilkan api, dan api itu akan menyala... itulah kehidupanku. Tetapi, nyala itu hanya sementara lalu mati. Begitupun, kasih sayangku. Jika memang aku intan, maka hanya Kau yang berhak memberikanku intan. Agar kelak nyala api itu dapat membawaku dan dirinya bersama ke surga. Biarkan aku menjaga hati, entah sampai kapan menutupnya rapat-rapat hanya untuk zaujihku, suamiku, yang hanya mencintaiku karena-Mu. Itulah yang menunjukkan arah menuju kekekalanMu. Hingga pada akhirnya kau datang suamiku. Kaulah suamiku, pendamping yang kuharapkan di dunia dan akhirat.
Masih banyak cita-cita yang belum aku tunaikan di dunia ini. Tak kusangka waktuku ternyata lebih dari sepuluh tahun. Dan kau tau, itu karena semangat dirimu yang kerap kali mendorongku untuk hidup lebih baik. Kau memang utusan Allah yang dapat menjagaku. Teman setiaku. Namun, masih banyak cita-cita yang belum aku tunaikan untuk negara ini. Bahkan melanjutkan generasimu dari rahimku pun aku tak sanggup. Aku bukan perempuan yang sempurna. Semoga umurku bisa panjang dan selalu mendampingimu. Dan kau tak menolak itu.
**
Aku tak bisa mengatakan apa-apa Lyani. Lidahku teramat kelu dan dingin. Sebentar lagi aku landing, Ah... apa artinya semua kesuksesan ini tanpamu Lyani. Aku tak mau dikenal sebagai Yusuf yang keji karena tidak memahami kehidupan pendampingku sendiri. Aku terlalu jahat Lyani, jahat. Aku cuma bisa meminta maaf sebesar-besarnya sayang. Setelah konferensi ini selesai, aku akan langsung pulang ke Indonesia. Tujuan pertamaku adalah membawakan bunga ke pusaramu, sayang.
Aku kagum dengan dirimu, hatimu, jiwamu, dan seluruh yang kau punya. Kau benar-benar tegar, berjiwa kebangsaan, mandiri, dan satu hal yang aku sangat bangga padamu, yaitu kau selalu bersyukur atas apa yang kau punya. Itu yang membuat wajahmu sangat cantik. Bukan hanya cantik secara fisik, tapi juga rohanimu. Kau memang terlihat sangat cantik, apalagi di kala tidur. Benar, kau juga seperti ibuku dan ibumu. Kalian terlihat cantik di kala tidur, dengan seluruh ketulusan dan kesucian yang tampak dari dalam jiwa. Aku memang melihat dunia di bawah telapak kakimu. Aku bahkan tak sanggup untuk menatap wajahmu cepat-cepat. Aku ingin terus menatap wajahmu tanpa henti. Tapi, itu tinggal sebuah harapan semu di dunia ini. Aku harap, Allah mengizinkanku, nanti suatu saat berada di sampingmu di surga. Karena kaulah bidadari dengan kayu dari langitmu.
Lyani kau tahu, diary ini layak kuabadikan sebagai sebuah buku kenangan paling indah yang pernah kumiliki. Dan aku berjanji akan menerbitkannya hingga semua orang bisa tau tentang duniamu, semangatmu, cita-citamu, dan cerita kita. Lyani, aku juga sangat menyayangimu. Kau adalah intan bagiku. Hari ini, aku putuskan untuk menutup rapat-rapat hati ini, karena aku menghargai dirimu yang selalu ikhlas menungguku dan mencintaiku apa adanya. Lyani, aku sangat menyayangimu, aku akan melanjutkan perjuanganmu sayang. Aku akan meneruskan cita-citamu untuk memperbaiki bangsa ini hingga akhir nafasku.

No comments: