Aku, mulai menandai setiap
garis pada kayu dari langitku. Garis-garis itu terlihat begitu terang. Semakin
ke depan, garisnya semakin memancarkan cahaya yang nan mencolok. Entah apa tandanya, akhirnya kuberikan
noktah pada jarak setiap warna mulai berubah. Garis pertama di saat aku memulai dengan basmallah.
Mungkin aku memilih mengikuti
garis takdir yang mengharuskan bekerja di usia muda. Sejak kecil, harus
bertungkus lumus mencari beasiswa ke sana-sini, bahkan sejak 18 tahun, sudah
harus berusaha sendiri memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan kuliah. Hingga
menjadi sarjana, aku hanya ingin melihat bapak dan ibu tersenyum. Tapi, lebih
dari itu... aku terlalu memaksakan diri untuk memberikan seluruh tenaga dan
pikiranku untuk adik-adik asuhku yang lebih dhuafa. Ya, mereka juga ingin
sekolah. Sama seperti aku. Tapi, aku tak mampu memberikan mereka uang. Aku
hanya bisa memotivasi dan mengajarkan arti hidup kepada mereka. Agar tak papa
lagi, agar menjadikan proyek mengamen dan menyemir sepatu mereka adalah sampingan
saja sembari sekolah. Bisa dibilang, aku hanya seonggok daging yang berambisi
merubah bangsa ini, dari anak jalanan menjadi anak sukses. Walaupun aku masih
hidup di bawah tudung rumah, tak seperti mereka. Aku ternyata lebih beruntung.
Sudah tepat pukul. 06.04 WIB, fajar pertama menuju sebuah kesuksesan. Tak
ada yang pantas untuk dikatakan selain semangatilah diri dengan sejuta harapan
dari ayah dan bunda. Jadikan sahabat
dan teman sebagai katalis super untuk menggapainya juga. Tak akan pernah ada kata takut kehilangan, karena
mereka akan selalu ada. Begitu juga Allah SWT, Yang Maha Tahu segalanya. Aku
akan sangat bahagia dan ikhlas, karena pada akhirnya akan kutemukan mereka di
ujung pintu surga.
Tanjungpinang, 22 Maret, sudah Pukul 22.38
WIB.
Ini sudah bulan
Maret. Aku hampir sebulan di rumah. Aku sudah tidak betah. Ibu masuk ke dalam
kamarku dan duduk di sampingku. Aku lantas bingung memulai pembicaraan. Ah, iya. Aku lupa mengatakan hal yang
sangat sensitif ini. Sebelum aku membiarakan mengenai keinginanku untuk
berjuang di tanah orang.
“Bu... aku sudah siap menikah”
“Kamu yakin, Dek?”
Dengan tegas aku
mengatakan,”Ya... Bu. Sudah saatnya aku memulai kehidupan baru bersama
jodohku”. Lantas aku terdiam, sejenak menatap ke langit-langit di malam itu.
“Siapa yang akan meminangmu?”,
ibuku menatap dengan penuh tanda tanya. Aku hanya terdiam. Menundukkan kepala. Sejenak
ibu keluar dari kamarku, tak lama ia kembali dan membawakan sepucuk amplop
merah hati. Aku hanya menerka-nerka, mungkin itu surat atau selembar kertas
berisi do’a. Aku tak berani
menanyakannya. Hanya diam.
Ibu lantas mengatakan,”Ambil
ini, ini peninggalan almarhumah nenekmu. Semoga bisa bermanfaat untukmu, Nak”. Sebentar hening. Ibu meninggalkan
aku di depan amplop merah hati itu.
Aku tak pernah bisa mengatakan
hal itu sebelumnya. Tapi, hari ini aku tak bisa lagi membendung kalimat
kesiapan itu. Mungkin, Ibu juga tak pernah berpikir aku akan mengatakan hal
seperti itu. Ibu sangat tau, aku adalah perempuan yang tak pernah berpikir
sekalipun untuk berpacaran. Kalau dulu “hal” itu pernah aku alami, itu hanya
sekedar cerita cinta monyet anak sekolahan, yang suka bersurat-suratan dengan
penggemarnya atau sekedar senyum-senyum dan saling menyapa dengan anak
laki-laki yang mungkin bisa dikategorikan “idola” di sekolah. Ah, masa-masa itu. Membayangkan seperti
apa bentuknya memiliki hubungan dengan seorang pria pun tak aku lakoni. Apalagi
tiba-tiba sampai mengatakan siap
menikah. Hm, kupalingkan wajahku
kembali ke amplop merah hati.
Aku masih bertanya-tanya, apa
yang ada di dalam amplop itu. Kuserahkan semua jawaban pada Allah. Pelan-pelan
kubuka dan ternyata isinya adalah sebuah surat yang tertujukan untuk seorang
pria. Bacanya nanti saja. Aku kembali melempar tatapanku ke arah langit-langit.
Sunyi. Aku terdiam dan menggigit jari telunjukku. Lamunanku kembali melesat
seketika.
Aku
kembali berpikir, kenapa aku berani mengatakan hal itu ya? Apakah keberanian
ini muncul selintas saat ada sosok seperti dia? Lantas, kalau aku jatuh cinta?
Saat waktunya tepat, aku harus menunaikan kewajiban untuk memenuhi syari’at
itu. Dan mungkin kali ini aku sudah mulai memutuskan untuk segera menikah
karena itu.
Aku
mencoba berpikir kembali, ini sudah final? Ya. Jawaban itu muncul di pertiga malam
kemarin. Saat aku tersadarkan oleh sesuatu yang sunyi tetapi menenangkan. Dan
ternyata kulihat ada sebuah pesan singkat di layar handphone, dari sosok itu.
Dia yang mungkin rindu saat-saat diskusi jarak jauh kami tentang masa depan.
Dia yang mungkin tak mau mengungkapkan kerinduannya karena belum yakin dengan
hatinya sendiri. Dia yang juga masih memulai kehidupan barunya untuk menatap
masa depan. Subhanallah, mungkin itu jawabanMu ya Rabb. Atas semua kegalauanku.
Mungkin dia yang menjadi jawabannya sehingga meyakinkan aku untuk siap menikah.
Sosok itu.
Allah
Azza Wajalla...Maha Suci Engkau yang menyadarkan aku, tatkala aku merasa ada
sesuatu yang kurang dalam hidupku. Engkau memberikan arti bahwa aku harus
segera menyelesaikan cerita kegalauan ini. Meskipun, pada akhirnya dia belum
berani meminangku, aku menyadari bahwa aku mulai merasa nyaman bersamanya. Aku
mulai menginginkan kebersamaan dengannya, untuk selalu berdiskusi tentang
bagaimana menyempurnakan diri kami dalam mencapai ridhoMu. Jika kali ini aku
jatuh cinta, aku sadar bahwa aku mencintainya karena-Mu. Lillahita’ala. Dan aku
akan katakan bahwa aku siap menunggunya. Aku akan mempersiapkan kematangan dan
kedewasaan ini, serta bathin ini selama menunggunya.
Dan,
seketika pandanganku segera menuju sepucuk surat dari amplop merah hati tadi.
Aku tak mampu melukiskan betapa aku ingin menangis setelah membaca surat itu.
Ini, kisah nenekku dulu, surat yang dikirimkan kepada seseorang. Mungkin sosok
yang ia yakini sebagai cintanya. Aku memang agak kesulitan membacanya, karena
selain surat itu sudah sangat lusuh dan rapuh, nenek menggunakan tulisan tegak
bersambung yang dipadukan dengan steno. Aku sedikit menguasai steno, jadi
kuterjemahkan kira-kira artinya seperti ini.
Cianjur,
12 Maret 1951
Kepada,
Engkau
yang kukasihi dengan tulus
Atas
nama Tuhan,
Aku
ingin menyampaikan berita bahwa aku akan menikah. Aku tak pernah berpikir
cerita kita akan berakhir seperti ini. Aku sangat menyayangimu dan ingin sekali
menjadi istrimu, menjadi ibu dari anak-anakmu, dan menyelesaikan novel tentang
kita, yang kutulis hingga hari tua nanti. Namun, sayang akhirnya aku harus
memutuskan untuk menjadi milik orang lain. Kau tidak mengenalnya, karena dia
adalah temanku di sekolah rakyat. Kami dulu terpisah selama 6 tahun, dia
bersekolah di Belanda dan meninggalkan kampung kami. Saat ini, dia kembali dan
langsung datang kepada orangtuaku. Dia meminangku dan aku tak sanggup
mengiyakan atau menidakkan. Karena orangtuaku sangat dekat dengan orantuanya,
maka aku tak bisa menolak jodohku itu. Dia tak pernah sekalipun mengatakan suka
kepadaku, tapi dia langsung melamarku. Dia tak mau menunggu lama, karena dia
yakin aku adalah jodohnya yang dititipkan oleh Tuhan YME.
Sayangku,
aku tak mencintainya. Aku hanya mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku. Aku
selalu bermimpi menuai kebahagiaan atas nama Tuhan jika dapat berumahtangga
denganmu. Tapi, mungkin ini yang harus kupilih, karena Ridho orangtuaku
akhirnya mengalahkan setiap keinginan kuatku. Kau tau kan, aku bercita-cita
ingin ikut bersamamu ke Jepang setelah kita menikah. Tapi, kau terlalu lama
membiarkanku.
Alasanmu
kau belum yakin dengan hatimu sendiri. Aku, aku memahaminya. Aku sangat paham
dengan prinsipmu. Kau memang pernah bilang bahwa ada sosok lain yang lebih
mengerti dirimu daripada aku. Itu yang membuat aku semakin yakin untuk menikah
dengan orang lain. Mungkin, kau akan lebih memilih dia. Tapi, tau kah kau bahwa
sesungguhnya, aku sangat ingin mengenalmu lebih dekat dan ingin memahami setiap
seluk-beluk kehidupanmu.
Aku yakin bisa belajar banyak tentangmu, keluargamu, teman-temanmu, dan
hidupmu. Dalam susah dan senang. Tapi, mungkin kau tak memberikan kesempatan
itu padaku. Dan akhirnya, aku harus memilih jalan ini. Karena aku sudah lama
sekali menanti. Aku yakin, jodohmu juga akan datang sendiri nanti. Kau sendiri
yang bilang mencari jodoh itu gampang. Tapi, mungkin tidak buatku. Karena aku
mungkin tak mudah mencari orang yang sesuai denganku dan keluargaku. Aku rasa
dengan menikahinya, setidaknya aku bisa membuat orangtuaku tersenyum, meskipun
aku harus menangis di dalam hati.
Sayang,
sampai kapanpun aku selalu menyayangimu. Maaf aku harus memutuskan.
_Kenanga_
Aku sadar akan satu hal. Ini
adalah saat-saat di mana nenek memutuskan untuk menikah. Ia merelakan
kebebasannya untuk memilih karena hanya ingin ridho dari orangtua. Ya. Itu dia
ridho orangtua. Sebenarnya, yang kutangkap dari surat itu, nenek hanya akan
menikahi pria yang disayanginya itu. Tetapi, mungkin ia tidak pernah mendapat
kejelasan dari sosok itu, sehingga memutuskan untuk yang pasti-pasti saja.
Maksudku, mungkin kejelasan tentang mau dibawa ke mana hubungan mereka. Itu
memang karakter perempuan secara umum. Aku yakin, pria itu bukan pacarnya. Ia
adalah orang yang membuatnya nyaman dan tenang dalam menjalani masa-masa
remajanya. Mungkin bisa dikatakan ia
adalah teman. Teman yang setia. Kau tau, arti kata teman dalam bahasa India.
Artinya, selalu menjaga kasih sayang. Di
amplop merah hati itu, ternyata ada sebuah kalimat... Kau adalah teman setiaku.
Mungkin, ia adalah pria yang bisa menjadi “teman” nenek, yang selalu menjaga
kepercayaan dan kasih sayang nenek.
Lantas, apa maksud Ibu
memberikan surat ini padaku? Aku ingin sedikit melihat kisah nenek dulu. Kata
ibu, nenek adalah tipe perempuan yang merdeka dan sangat mandiri. Nenek itu
anak pertama dari 5 bersaudara. Keempat beradik adalah perempuan dan adik
bungsunya adalah laki-laki. Nenek memutuskan menikah karena memang ingin
meringankan beban orangtua dan karena memang sudah waktunya, 16 tahun. Dulu
memang usia menikah muda itu sangat dianjurkan. Lha, sekarang aku sudah 23 tahun, tapi belum menikah. Apa kata
dunia (saat jaman dulu ya)? Hehe,
nenekku itu katanya kembang desa. Banyak kumbang yang datang tapi akhirnya
kalah mental gara-gara kakek buyutku galak. Lucu.
Nenek menikah di usia 16 tahun
dengan seseorang yang “asing”, tanpa cinta, untuk mengharapkan ridho orang tua.
Mungkin itu yang ibu maksudkan. Hm,
boleh menikah muda asalkan niatnya lurus dan diridhoi oleh orangtua. Karena
pada akhirnya, nenek berhasil bertahan di pernikahannya hingga ibu berusia 12
tahun. Kakek ternyata meninggal dunia karena sakit. Jadi, ibuku itu anak
pertama dari 2 bersaudara. Nenek dipaksa menikah lagi (setelah 5 tahun
menjanda) oleh nini buyut. Jadilah ibu memiliki 3 adik tiri. Tapi, pertanyaanku
seandainya nenek menikah lagi, tetapi dengan “mantan teman” nya itu bagaimana
ya? Mungkin perjalanan cinta nenek akan lebih indah. Tapi, itu hanya
pengandaian. Bisa jadi bahan novelku, perhaps.
Nah, saatnya aku mulai
berpikir dua kali. Keputusanku sudah bulat? Ya. Tapi, sepertinya bersyarat. Aku
mengalami hal yang serupa dengan nenekku. Bedanya aku itu anak bungsu. Dan
belum ada yang meminangku, mungkin. Masihkah aku harus menunggunya? Jawabannya
ada di pertiga malam itu. Ya. Memang aku harus menunggunya, meskipun tanpa
kejelasan sedikitpun. Sampai ia mengatakan “aku yakin” atau “maaf, aku memilih
dia”. Keputusanku seperti itu. Aku tak mau lagi menggalau kalau memang itu
urusan cinta. Hanya cintaNya yang sejati. Allah telah membuat skenario hidup
menjadi lebih indah di saat dan dengan orang yang tepat. Aku harus segera
tidur. Besok harus menyiapkan naskah novelku kembali. Satu hal yang perlu aku
catat hari ini: Aku sudah bisa memutuskan. Langit-langitpun kembali hening.
**
Lyani, aku ingat sekali notes
yang kau tag ini ke akun facebook ku. Aku menanyakan ini apakah cerita nyata
dari dirimu? Dan kau hanya menjawab no
comment. Siapa pria itu? Siapa pria yang beruntung itu? Apakah benar yang
kau maksud adalah aku? Ah, aku tak
berani berspekulasi. Tapi, jika benar itu iya. Maka akulah orang yang paling
berbahagia di dunia ini. Karena aku juga mencintaimu karena Allah. Aku belum
berani memberimu kepastian karena aku memang belum yakin dengan diriku sendiri,
aku takut mengecewakanmu sayang. Kau tau saat itu aku benar-benar berharap kau
bilang dia itu adalah aku. Kenapa baru sekarang aku mengetahuinya? Aku menyesal
kenapa aku tak langsung meyakinkan diriku untuk memberikan kepastian tentang
kita. Aku yakin kisah kita akan lebih indah jika aku tau dari awal bahwa orang
itu adalah aku.
***
Tanjungpinang, 24 Maret
Di bawah temaram senja, menuju
puncak purnama hari ini. Aku terus menatap bintang-bintang di balik terangnya
langit kelam. Aku ditemani sebuah mimpi sunyi dalam sadarku. Entah kenapa, kali
ini aku terusik oleh sebuah fatamorgana kehidupan. Sayup-sayup terdengar
langkah kaki dari kejauhan. Dia adalah bayanganku.
“Kau, sedang apa duduk di dipan ini”
“Aku sedang merajut setiap kata menjadi sebuah
puisi”
“Ah, kau bukan seorang penyair, untuk apa kau
lakukan itu”
“Aku memang bukan penyair, tapi dari puisi ini aku
bisa mencurahkan semua pikiranku”
“Sudahlah, bukan waktunya lagi kau berbicara
tentang pikiran. Saatnya bertindak. Lakukan sesuatu. Jika kau memang ingin
hidupmu berarti untuk orang banyak!”
“Ahm... Kau benar. Lantas aku harus memulainya
darimana?”
“Kau tak perlu bertanya seperti itu. Kau lihat
catatan-catatan kebaikan yang kau punya. Sadarkan dirimu akan hal itu. Temui
seseorang yang bisa kau percaya. Lakukan. Temukan jalan setapak dan sebatang
kayu. Ambil kayu itu dan ukirlah!”
“Aku sungguh tak mengerti, aku tak mengerti”
“Kau adalah perempuan cerdas. Temukan jawabannya
sebelum ajalmu datang!”
Seketika bayanganku itu hilang. Aku tak mengerti
maksud kalimat terakhir itu. Aku harus menemukan jawabannya sebelum ajalku
datang? Ah, siapa dia. Cuma Allah Ta’ala yang tau kapan aku harus meninggalkan
bumi ini. Berani-beraninya dia berkata seperti itu.
***
Aku pikir, sudah saatnya aku
menyadari bahwa aku bukanlah yang terbaik untuknya. Kembali kubuka amplop merah
hati itu. Berkali-kali kubaca surat nenek. Berkali-kali juga aku menangis dan
mengira bahwa itu bukan sekedar sebuah keputusan. Ah, aku terlalu melankolis kali ini. Aku tidak boleh lagi terlalu
banyak berpikir. Aku harus terus berlari. Mengejar harapan dan impianku di
depan. Namun, aku harus menerima realitas bahwa aku tak sesempurna dulu. Aku
saat ini adalah orang sakit. Sakit. Aku ingin menginginkan sebuah perubahan
besar dalam diri dan keluarga ini. Tapi, aku tak mungkin mampu membangkitkan kembali
tubuhku sebagai seorang perempuan yang sehat dan tangguh seperti dulu.
Cukup sudah peristiwa kemarin
mengingatkanku tentang ragaku sendiri. Aku tak pernah menyadari itu, hingga
saat ini. Benar kata Mba Uci, dia motivatorku yang benar. Aku tak pernah
menyadari kemampuan fisikku. Aku ini sakit. Tapi, tetap saja aku banyak
bermimpi tentang masa depan. Tak salah jika aku diajak berkelahi dengan
bayanganku sendiri. Aku ini cuma perempuan sakit-sakitan yang terlalu banyak
berpikir.
Siapa yang mau melihatku
sekarang? Siapa aku sekarang? Siapa. Aku mulai ragu dengan segala hidup ini.
Aku mulai kehilangan motivasi yang besar dalam hidupku. Sejak penyakit itu
datang, sejak aku tau bahwa aku menderita Osteoarthritis akut yang sebentar
lagi mengalami metastasis menuju kanker tulang yang sempurna. Cuma ada dua
peluang bagiku, jika tak mematikan, penyakit itu akan terus menggerogotiku
hingga tubuhku lumpuh. Aku. Aku. Aku. Waktuku cuma sepuluh tahun. Sepuluh tahun
yang berarti untuk menemukan semua jawaban hidup. Dan aku harus memulainya
darimana? Akankah semua keputusanku menjadi jawaban dari semua ini? Aku ini sakit.
**
Kau
sakit? Kenapa tak memberitahuku dari awal. Kau sembunyikan ini selama
bertahun-tahun? Bahkan saat kita masih berjauhan dulu hingga kita menikah lima
tahun lamanya? Aku memang bodoh, aku memang tak pernah mau tau urusanmu. Saat
itu, aku cuma memikirkan masa depan karierku hingga saat ini. Aku sama sekali
tak mengingatmu saat itu. Padahal kau selalu mencoba menyemangatiku dengan
berbagai tulisan-tulisan dan mimpi yang kau katakan saat kita diskusi di dunia
maya. Lyani, kau sungguh keterlaluan. Ah, tidak. Aku yang keterlaluan. Bahkan
setelah kita menikah, setelah kita kehilangan calon bayi kita?
***
Aku...
aku tiba-tiba merasa dingin teramat sangat, seolah tubuh ini bersuhu 20 derajat
Celcius. Dinginnya sangat menusuk tulang belulangku. Tulang belakangku seolah
tak mampu menopang tubuh ini. Tungkai-tungkai mulai terasa lemas dan
sendi-sendiku terasa melepaskan tulang yang menempel. Mataku seketika kuyu dan
sayu, mengaburkan semua pandangan di depan. Darahku melesir cepat bagai badai
yang menghempas pantai. Sel-sel darah terasa saling bertabrakan. Dinginnya kini
menusuk sampai ke saraf. Aku tak mampu lagi menahannya. Malam ini aku serahkan
saja pada Allah, apa yang akan terjadi.
Dalam
dingin, aku terus dipanggil-panggil oleh bayanganku itu. Ia mengajakku berlari
dan menggapai semua benda yang ada di langit. Aku ingin bangun tapi ragaku tak
sanggup. Aku kini lemah dan memucat. Nafasku tak lagi normal, ia lebih cepat
dan paru-paruku terasa semakin sempit. Allah... Allah.. Allah.. kabarkan aku
apa yang sedang terjadi. Dingin ini... dingin ini... dingin ini...
Aku tak tau apa yang terjadi.
Saat ini aku terbangun dalam kondisi tak biasa. Aku tak lagi di kamar. Aku
ingin berdiri dan melihat ke jendela sana, ada apa di luar sana. Tapi, aku tak
sanggup menggerakkan tubuhku. Bahkan tangan dan kaki ini terasa kelu. Aku seperti kura-kura lumpuh yang tak bisa
berbuat apa-apa. Ruangan ini terasa begitu hangat. Ada sebuah tirai yang
melingkupi tempatku berbaring. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata tanganku
dibalut selang infus. Ada beberapa kantong glukosa yang tergantung di tripod.
Di hidungku terpaut sebuah selang oksigen. Tabungnya kulihat tak jauh dari kakiku.
Aku di rumah sakit, itu tebakanku yang paling tepat saat ini.
Aku
tak bisa berbuat apa-apa, hanya diam. Aku bersyukur masih mengenakan niqab di
kepalaku. Pasti Ibu yang memakaikannya. Di tempat seperti ini aku harus
benar-benar menjaganya. Ah, Ibu. Ibu. Aku sedikit memejamkan mata dan bertutur
lemah. Tirainya sedikit tersingkap, Ibu muncul dengan membawakanku mushaf dan
sarapanku pagi ini. Ibu terima kasih banyak. Ujarku dalam hati. Ibuku adalah
pelita hati. Beliau yang selalu mengerti aku, meskipun aku tak pernah berbicara
apapun tentang hidupku. Kini, dalam sakitkupun Ibu terus mendampingi dan
menyiapkan segala sesuatunya. Aku malu. Aku malu dengan kondisiku saat ini,
bukankah ibu yang harus aku jaga dan perhatikan seperti ini? Rabb, dalam hati
ini aku tak mau lagi bermimpi tentang apa yang ada dalam hidupku. Aku ingin
pasrah dengan segala keputusanMu. Aku tak mampu lagi.
***
“Bu, aku ingin kembali bekerja, sudah dua bulan
ini aku istirahat di rumah, sudah cukup sepertinya”, kali ini aku mencoba
mengajak ibu diskusi.
“Apapun yang terbaik menurutmu, silakan
dilanjutkan Nak”, kursor terus bergerak.
“Ibu meridhoi perjalananku?”, sambil kumasukkan
username dan password.
“Ibu tak bisa melarang, sampai akhirnya kau
benar-benar bisa menemukan apa yang kau cari”, feedsnya sudah terbuka. Aku akan
menuliskan sesuatu. Lalu aku berpikir.
“Lantas aku harus bagaimana bu?”, tanganku terus
mengetikkan satu paragraf lagi.
“Ibu hanya berpesan, jaga ibadahmu dan
kesehatanmu”, ibuku lantas meninggalkanku dari dipan ini. Ibu sepertinya tak
mampu menahan harunya. Aku hanya bisa diam. Rabb, jika keputusan ini benar,
untuk mencari di mana hidupku, maka luruskanlah niatku. Kunci kehidupan ini aku
yang pegang, akan kujaga sampai akhir hayatku. Sekalipun suatu saat dia
kembali, mungkin juga tidak, aku akan melanjutkan hidupku. Hidup yang tersisa.
Aku masih percaya bahwa jalan Allah itu indah.
Hari
ini aku lantas berkemas-kemas untuk kembali ke Jakarta. Aku sudah hampir empat bulan
di sini. Rasanya sudah cukup aku beristirahat, aku juga tak mampu menemukan
jiwaku di sini. Aku hilang bentuk dan remuk. Aku tak mau membiarkan diriku
menjadi jasad hidup yang mati. Aku akan menjadi yang terbaik untuk diriku
sendiri. Aku akan bilang kepada semua orang bahwa aku ini kuat. Kuat menjalani
hidup. Hm, emailnya tinggal dikirim
saja.
Cc :
Subject : Aku berangkat ya
Teman, aku akan kembali ke
Jakarta. Kamu apa kabar? Do’akan ya semoga aku bisa mengejar mimpiku. Jangan
kira aku akan menyerah, aku bisa jadi seperti wonder woman. Hehe.
Sukses buat masternya. Barakallah.
When you're gone:
I always needed time on my own
I never thought I’d need you there when I
cry
And the days feel like years when I’m alone
And the bed where you lie is made up on your
side
When you walk away I count the steps that
you take
Do you see how much I need you right now
When you’re gone
The pieces of my heart are missing you
When you’re gone
The face I came to know is missing too
When you’re gone
The words I need to hear to always get me
through the day and make it ok
I miss you
By
the way, ingat kan lagu ini? Kamu yang mengingatkan aku tentang lagu ini
kembali. Saat percakapan itu berlangsung. Aku senang bisa mengenalmu. Aku
tadinya berpikir akan kehilanganmu sesaat setelah kamu pergi ke Jepang. Tapi,
syukurlah kau ternyata menunda keberangkatanmu tahun depan. Hehe, setidaknya aku akan ditemani selama setahun ini sambil aku
mempersiapkan segalanya sampai aku lolos ke Jepang. Aku ingin menjadi temanmu di
sana. Seperti yang kamu bilang, mencari teman di sana. Mudah-mudahan kamu bisa
membantuku menemukan orang yang bisa menjagaku di sana. Tetap silaturahmi yaa
^,^. Aku mulai rindu dengan diskusi-diskusi dan candaanmu di YM #eaaaaa.
Regards,
Lyani
***
Ada satu lagu lagi, tapi lagu yang ini tak kuingatkan ke dia. Ini adalah sebuah lagu yang pantas
kusimpan di dalam hati saja.
What I can do, The Corrs
I haven't slept
at all in days
It's been so
long since we've talked
And I have been
here many times
I just don't
know what I'm doing wrong
What can I do to
make you love me
What can I do to
make you care
What can I say
to make you feel this
What can I do to
get you there
There's only so
much I can take
And I just got
to let it go
And who knows I
might feel better
If I don't try
and I don't hope
**
Ini kan, lagu yang kutuliskan
di YM itu. Lyani, kau
menuliskan lagu ini di kisahmu? Aku bergumam pelan.
***
Jum’at, 6 Juli. Pkl. 15.30 WIB
Saatnya menyadarkan diri
kembali. Aku tak boleh terus-terusan terkungkung di dalam stagnansi dan harapan
demi harapan. Kau tau, sudah hampir dua bulan ini, aku menggantungkan segala
keinginanku dan tak menemukan arah yang tepat untuk jalan hidupku. Bahkan,
teman setiakupun, hilang dan lenyap entah ke mana. Aku menaruh harapan dan
semangat yang besar padanya. Tapi, mungkin sejak percakapan terakhir kami hari
itu. Ia bilang ingin fokus dengan persiapan masternya. Kalau boleh jujur, aku
merindukan saat-saat chatting bersama mengenai hal dunia sampai gurauan yang
tak penting. Dia bisa mengembalikan senyumku, kala aku butuh motivasi. Selain
cerdas, dia juga humoris. Itu yang membuat aku kagum padanya, dan jujur
mencintainya. Ya, aku jatuh cinta. Belakangan aku tau, bahwa dia sudah memiliki
janji untuk setia dengan perempuan beruntung lain. Intinya, aku tak mau merusak
kebahagiaan teman setiaku itu, cukuplah ceritanya sampai di sini saja.
Sekarang, aku sedang
bersiap-siap menuju Jakarta. Aku membawa harapan baru untuk hidupku ke depan.
Meskipun belum tau arah yang jelas, tapi aku yakin dapat kembali berdiri tegak
dan sembuh dari sakit fisik maupun mentalku. Ibuku, ayahku, keduanya yang
menyemangati aku untuk menjadi lebih berani mengambil keputusan. Mereka tak mau mengekang kemauanku,
sekalipun itu urusan pasangan hidup. Biarlah, aku mencari sendiri jalan hidup
dengan keringat dan tenaga sendiri. Semua peralatan perangku sudah siap.
Pakaian seadanya sudah kususun rapi di dalam tas. Perlengkapan perang lainnya
sudah cukup. Amunisi dan laras panjang juga sudah ada di benak. Tinggal keberanian
untuk melangkah dan berkata lantang. Aku harus semangat!
Tepat pukul 7 pagi, aku sudah
tiba di pelabuhan laut Kijang, Bintan. Sebuah pulau di perbatasan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Pelabuhan
ini adalah lintas laut terbesar di daerah tiga negara ini. Seperti biasa, jika
aku ada waktu lebih, aku selalu menggunakan kapal motor PELNI untuk berangkat
ke Jakarta. Meskipun harus menempuh 1 hari dan 2 malam, tapi aku menikmatinya.
Selain harganya murah, hanya 270 ribu untuk kelas ekonomi, aku juga bisa
bertafakur selama perjalanan. Sholat di Musholla kapal di lantai paling atas,
yang ketika keluar aku melihat bintang-bintang di kala malam atau lumba-lumba
di kala siang. Aku juga bisa menatap lautan yang sangat luas, serta mencari
inspirasi yang sangat luar biasa untuk setiap tulisanku.
Kali ini, aku berangkat dengan
KM. Sirimau tujuan
Tanjung-Priok Jakarta. Sebenarnya, kapal ini keliling Indonesia, sampai ke
daerah timur sana. Hanya singgah ke Jakarta juga. Aku memilih satu tempat di
barak ekonomi yang telah tersedia. Tepat di dek 4, pada lambung sebelah kanan
kapal. Dekat dengan kamar mandi dan pintu keluar. Ada sebuah kasur yang bisa
kupakai dengan gratis. Sekarang, kasur ini menjadi sebuah fasilitas cuma-cuma
dan memang harusnya begitu. Karena, beberapa kali naik kapal penumpang ini,
dengan nama kapal yang berbeda tentunya, kasur itu harus disewa dengan harga 5
ribu rupiah. Biasalah, di saat-saat yang seperti ini, selalu ada yang mengambil
objekan.
Seharian aku hanya membaca
buku di barak, jika bosan aku naik ke pelataran lantai atas. Aku bisa
menghabiskan berjam-jam di tepi pelataran. Aku ditemani angin dan hamparan laut
biru yang luas. Sembari menunggu magrib dan berbuka puasa, sejenak aku juga
memandang senja dari atas kapal. Kebetulan aku berada di sisi kapal yang
menghadap ke barat. Oh iya, tadi juga
aku melihat lumba-lumba berbaris melompat. Jika tak salah, mereka berwarna
hitam sedikit ada siluet berwarna putih di bagian sampingnya. Tanpa terasa
sudah adzan Maghrib dan aku menyegerakan diri bergegas menuju Musholla. Sebuah
pinta kuhaturkan kepada pemilik diri ini, Allah... hari ini begitu indah, esok
malam aku pasti akan tiba kembali di Jakarta. Hanya dengan izinMu aku akan
meraih mimpi di sana, kembali.
Tak terasa hampir tiba di pelabuhan Tanjungpriok. Tadi, kapal
juga sempat bersandar untuk menurunkan penumpang di pelabuhan Blinyu, Kepulauan
Bangka-Belitong. Aku merindukan hari-hari penuh kesibukan nan sesak di ibukota.
Entah kenapa, aku lebih merasa hidup di sana. Mungkin, empat tahun kurang aku
di sana cukup merasakan asam garam ibukota. Kau tau, aku selalu punya cara
menghilangkan kesedihanku jika mengingat kondisi keluarga dan keadaan diriku.
Itu jika aku ada di ibukota. Berbeda ketika aku di rumah ataupun di tempat yang
santai dan sepi. Aku selalu ingin keramaian dan kesibukan. Aku ingin bertemu
dengan banyak tipe orang dan segala kesusahan di sana. Itu membuat aku lebih
bersyukur dan tegar menghadapi hidup. Ah,
kenapa menjadi melankolis seperti ini. Tanda merapat sudah berbunyi, artinya aku
sudah tiba di Tanjungpriok. Alhamdulillah, perjalanan kali ini sungguh penuh
makna. Aku bisa punya banyak waktu untuk merenung dan bersyukur dengan apa yang
aku miliki sampai saat ini. Bahkan, dengan penyakitku sekalipun. Jalan Allah
itu pasti indah.
Akhirnya, pintu keluarpun
dibuka. Aku segera mengangkat bagasiku dan menuju antrean untuk keluar. Seperti
biasa, banyak sekali orang dan barang. Belum lagi para porter pelabuhan yang
cerewet dan sangar. Aku sedikit takut, tapi aku terbiasa dengan kondisi ini.
Kusegerakan mengangkat koper dan meraih tangga turun. Dengan penuh keyakinan
segera mencari tukang ojek. Seperti biasa, menuju terminal dengan ojek, dengan
jarak yang dekat harus membayar sepuluh ribu rupiah. Sesampainya di terminal,
aku segera meliukkan pandangan ke arah PATAS AC 80 Priok-Depok. Kali ini, belum
beruntung, jadi harus menunggu kurang lebih 3 jam. Akhirnya, bis pun datang dan
aku langsung mengambil posisi favorit, tempat duduk paling depan. Selain aku
bisa mendapatkan pemandangan lebih luas, aku juga sedikit tenang berada di
dekat pintu keluar.
Welcome to Jakarta, yeaaaaaaaaahhh. Alhamdulillah, perjalanan menuju Depok telah
melewati tol dan hampir masuk ke Lenteng Agung. Tanpa sadar aku tertidur selama
beberapa menit, dan kulihat hari ini cukup cerah dan ramai. Seorang pengamen
naik ke atas bis. Tampaknya, dia masih begitu muda, sekitar 15 tahun. Suaranya
cukup bagus dan wajahnya adalah wajah optimis, optimis penumpang akan
menghargai suara emasnya meskipun hanya dengan recehan 100 rupiah. Setidaknya,
aku bersyukur, dengan hidup sesulit ini, aku tak lantas mengamen seperti dia.
Harusnya, dia masih sekolah di bangku SMP atau SMA, tapi tergerus oleh
kesempatan. Lantunan lagu yang dibawakan, ingat sekali lagu itu adalah lagu
kenangan masa kuliah dulu. I’m Yours...
kemudian dilanjutkan dengan tembang lawas, ”Jangan
ada dusta di antara kita”. Lagu ini
membuat aku semakin galau. Untungnya, aku akan segera tiba di jalan utama
Margonda. Segera kuangkat koperku dan kuletakkan sebuah koin di dalam kantong
pengamen itu. Abang sopirpun memberhentikan bis nya tepat di depan Margonda
Residence. Aku segera turun dari bis dan melangkah dengan basmallah.
Kau pikir, aku tinggal di
situ? Hehe, hanya lewat saja.
Kontrakan ada di belakangnya, jalan sedikit melewati gang Madrasah. Aku bisa
dibilang, memang anak gang. Setiap pindah kontrakan selalu masuk ke dalam
pelosok gang. Pasalnya, hanya itu yang bisa dijangkau dengan harga yang mampu
kubayar. Biasanya, semakin
dekat dengan jalan raya, maka makin mahal. Sesampainya di kontrakan, aku baru
ingat ternyata teman-teman sekontrakan sedang liburan jadi sepi. Tinggal
seorang saja, akhirnya kami berdua di rumah.
Waktu itu, malam segera tiba
dan akupun bergegas merapikan file-file untuk melanjutkan perjuanganku di sana.
Kali ini, harapanku adalah mendapatkan pekerjaan, yang benar-benar aku sukai.
Aku juga ingin mengejar beasiswa S2 ke luar negeri. Sudah sekali aku mencoba,
tapi gagal. Kegagalan itu harus kubayar dengan perjuangan kembali. Aku akhirnya
sampai pada satu titik jenuh, dan kali ini ingin mencari sesuatu yang lebih
berarti dalam hidup. Memang, berpetualang pasca kuliah ini adalah hal yang
paling menantang. Pasalnya, aku perempuan dan tidak ada seorangpun yang
menjagaku di sini. Cukup sulit membujuk kedua orang tua untuk ini. Tapi, aku
yakin bisa mengulang tekadku dulu, sama seperti optimisme ketika aku pertama
kali ke Jakarta untuk kuliah.
Beberapa hari sudah lewat, dan
kini aku cukup senang. Aku bisa menghabiskan waktu di kampus lamaku untuk
menjadi asisten dosen. Akupun bisa sambil penelitian dan mengerjakan kerja
sampingan lain seperti mengajar. Setiap sore hingga malam, aku bekerja sebagai freelance pengajar privat. Seminggu bisa
5 kali aku mengajar privat dan setiap akhir pekan, aku pergi ke rumah singgah
untuk mengajar anak-anak dhuafa di sana. Mereka butuh tambahan ilmu karena
mereka tak mampu masuk bimbingan belajar. Mereka butuh akses teknologi dan
bahasa Inggris. Jadilah aku
di sana mengajarkan calistung untuk anak-anak usia playgrup dan TK, serta SD. Mereka
tak bisa mengecap edukasi formal sebelum usia SD, itupun bisa masuk SD jika ada
beasiswa dari orang-orang dermawan. Dua kali dalam sebulan aku mengajarkan bahasa Inggris dan nonton film
edukasi bersama. Anak-anak itupun tersenyum dan senyum mereka membuat aku
semakin termotivasi untuk maju. Aku sudah cukup lama menjadi relawan di sini,
di perkampungan yang isinya adalah para buruh dan pemulung ini. Bahkan, aku
ingin sekali membantu lebih jika suatu saat aku sukses nanti.
Tak terasa, Ramadhan hampir
tiba. Kali ini aku harus
menjalani ibadahku di perantauan kembali. Tapi, aku tak pernah kesepian, sekali
dalam seminggu aku mengikuti acara amal yang dibuat oleh komunitasku. Kami
mengumpulkan buku-buku bekas, buku bekas itu adalah tiket masuk untuk menonton
acara musikal dan teater. Setiap malam aku mengusahakan bisa sholat sunnah di Masjid
dekat kampus. Aku bahagia menjalani hidup seperti ini, membuat aku semakin
dekat dengan Allah. Hingga sakitku, kesedihanku, dan kegalauanku semua hilang
dari pikiran.
Hingga suatu hari, aku
mendapat kesempatan untuk melihat surat penerimaan beasiswaku. Setelah
mengikuti training di salah satu lembaga penelitian, aku ditawarkan untuk
melanjutkan S2 di Jepang. Dan aku ingin sekali itu, aku memantapkan hati untuk
menerima tawaran itu dan kini aku sedang bergegas menyelesaikan dokumen untuk
menuju ke sana. Aku tak tau lagi, harus mengucapkan apa, hanya sebuah rasa
syukur. Aku mengabari kepada kedua orang tuaku, dan akhirnya aku diizinkan
untuk melaksanakan itu. Kau tau, saat aku menulis ini, hatiku senang bercampur
sedih. Aku sedih karena ternyata aku akan menyusul dia ke sana. Artinya, aku
akan mengenang segala kesedihanku di sana. Ah,
kenapa harus seperti itu. Harapanku adalah aku tidak mau bertemu dengannya di
sana. Dua tahun itu harus penuh makna tanpa cinta, kecuali cintaNya.
No comments:
Post a Comment