Tuesday, September 18, 2012

Lyani, Kau Memang Pantang Menyerah

Aku, mulai menandai setiap garis pada kayu dari langitku. Garis-garis itu terlihat begitu terang. Semakin ke depan, garisnya semakin memancarkan cahaya yang nan mencolok. Entah apa tandanya, akhirnya kuberikan noktah pada jarak setiap warna mulai berubah. Garis pertama di saat aku memulai dengan basmallah. Mungkin aku memilih mengikuti garis takdir yang mengharuskan bekerja di usia muda. Sejak kecil, harus bertungkus lumus mencari beasiswa ke sana-sini, bahkan sejak 18 tahun, sudah harus berusaha sendiri memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan kuliah. Hingga menjadi sarjana, aku hanya ingin melihat bapak dan ibu tersenyum. Tapi, lebih dari itu... aku terlalu memaksakan diri untuk memberikan seluruh tenaga dan pikiranku untuk adik-adik asuhku yang lebih dhuafa. Ya, mereka juga ingin sekolah. Sama seperti aku. Tapi, aku tak mampu memberikan mereka uang. Aku hanya bisa memotivasi dan mengajarkan arti hidup kepada mereka. Agar tak papa lagi, agar menjadikan proyek mengamen dan menyemir sepatu mereka adalah sampingan saja sembari sekolah. Bisa dibilang, aku hanya seonggok daging yang berambisi merubah bangsa ini, dari anak jalanan menjadi anak sukses. Walaupun aku masih hidup di bawah tudung rumah, tak seperti mereka. Aku ternyata lebih beruntung.
Sudah tepat pukul. 06.04 WIB, fajar pertama menuju sebuah kesuksesan. Tak ada yang pantas untuk dikatakan selain semangatilah diri dengan sejuta harapan dari ayah dan bunda. Jadikan sahabat dan teman sebagai katalis super untuk menggapainya juga. Tak akan pernah ada kata takut kehilangan, karena mereka akan selalu ada. Begitu juga Allah SWT, Yang Maha Tahu segalanya. Aku akan sangat bahagia dan ikhlas, karena pada akhirnya akan kutemukan mereka di ujung pintu surga.



Tanjungpinang, 22 Maret, sudah Pukul 22.38 WIB.

Ini sudah bulan Maret. Aku hampir sebulan di rumah. Aku sudah tidak betah. Ibu masuk ke dalam kamarku dan duduk di sampingku. Aku lantas bingung memulai pembicaraan. Ah, iya. Aku lupa mengatakan hal yang sangat sensitif ini. Sebelum aku membiarakan mengenai keinginanku untuk berjuang di tanah orang.
“Bu... aku sudah siap menikah”
“Kamu yakin, Dek?”
Dengan tegas aku mengatakan,”Ya... Bu. Sudah saatnya aku memulai kehidupan baru bersama jodohku”. Lantas aku terdiam, sejenak menatap ke langit-langit di malam itu.
“Siapa yang akan meminangmu?”, ibuku menatap dengan penuh tanda tanya. Aku hanya terdiam. Menundukkan kepala. Sejenak ibu keluar dari kamarku, tak lama ia kembali dan membawakan sepucuk amplop merah hati. Aku hanya menerka-nerka, mungkin itu surat atau selembar kertas berisi do’a.  Aku tak berani menanyakannya. Hanya diam.
Ibu lantas mengatakan,”Ambil ini, ini peninggalan almarhumah nenekmu. Semoga bisa bermanfaat untukmu, Nak”. Sebentar hening. Ibu meninggalkan aku di depan amplop merah hati itu.
Aku tak pernah bisa mengatakan hal itu sebelumnya. Tapi, hari ini aku tak bisa lagi membendung kalimat kesiapan itu. Mungkin, Ibu juga tak pernah berpikir aku akan mengatakan hal seperti itu. Ibu sangat tau, aku adalah perempuan yang tak pernah berpikir sekalipun untuk berpacaran. Kalau dulu “hal” itu pernah aku alami, itu hanya sekedar cerita cinta monyet anak sekolahan, yang suka bersurat-suratan dengan penggemarnya atau sekedar senyum-senyum dan saling menyapa dengan anak laki-laki yang mungkin bisa dikategorikan “idola” di sekolah. Ah, masa-masa itu. Membayangkan seperti apa bentuknya memiliki hubungan dengan seorang pria pun tak aku lakoni. Apalagi tiba-tiba sampai  mengatakan siap menikah. Hm, kupalingkan wajahku kembali ke amplop merah hati.
Aku masih bertanya-tanya, apa yang ada di dalam amplop itu. Kuserahkan semua jawaban pada Allah. Pelan-pelan kubuka dan ternyata isinya adalah sebuah surat yang tertujukan untuk seorang pria. Bacanya nanti saja. Aku kembali melempar tatapanku ke arah langit-langit. Sunyi. Aku terdiam dan menggigit jari telunjukku. Lamunanku kembali melesat seketika.
            Aku kembali berpikir, kenapa aku berani mengatakan hal itu ya? Apakah keberanian ini muncul selintas saat ada sosok seperti dia? Lantas, kalau aku jatuh cinta? Saat waktunya tepat, aku harus menunaikan kewajiban untuk memenuhi syari’at itu. Dan mungkin kali ini aku sudah mulai memutuskan untuk segera menikah karena itu.
            Aku mencoba berpikir kembali, ini sudah final? Ya. Jawaban itu muncul di pertiga malam kemarin. Saat aku tersadarkan oleh sesuatu yang sunyi tetapi menenangkan. Dan ternyata kulihat ada sebuah pesan singkat di layar handphone, dari sosok itu. Dia yang mungkin rindu saat-saat diskusi jarak jauh kami tentang masa depan. Dia yang mungkin tak mau mengungkapkan kerinduannya karena belum yakin dengan hatinya sendiri. Dia yang juga masih memulai kehidupan barunya untuk menatap masa depan. Subhanallah, mungkin itu jawabanMu ya Rabb. Atas semua kegalauanku. Mungkin dia yang menjadi jawabannya sehingga meyakinkan aku untuk siap menikah. Sosok itu.
            Allah Azza Wajalla...Maha Suci Engkau yang menyadarkan aku, tatkala aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupku. Engkau memberikan arti bahwa aku harus segera menyelesaikan cerita kegalauan ini. Meskipun, pada akhirnya dia belum berani meminangku, aku menyadari bahwa aku mulai merasa nyaman bersamanya. Aku mulai menginginkan kebersamaan dengannya, untuk selalu berdiskusi tentang bagaimana menyempurnakan diri kami dalam mencapai ridhoMu. Jika kali ini aku jatuh cinta, aku sadar bahwa aku mencintainya karena-Mu. Lillahita’ala. Dan aku akan katakan bahwa aku siap menunggunya. Aku akan mempersiapkan kematangan dan kedewasaan ini, serta bathin ini selama menunggunya.
            Dan, seketika pandanganku segera menuju sepucuk surat dari amplop merah hati tadi. Aku tak mampu melukiskan betapa aku ingin menangis setelah membaca surat itu. Ini, kisah nenekku dulu, surat yang dikirimkan kepada seseorang. Mungkin sosok yang ia yakini sebagai cintanya. Aku memang agak kesulitan membacanya, karena selain surat itu sudah sangat lusuh dan rapuh, nenek menggunakan tulisan tegak bersambung yang dipadukan dengan steno. Aku sedikit menguasai steno, jadi kuterjemahkan kira-kira artinya seperti ini.

Cianjur, 12 Maret 1951
Kepada,
Engkau yang kukasihi dengan tulus

Atas nama Tuhan,
Aku ingin menyampaikan berita bahwa aku akan menikah. Aku tak pernah berpikir cerita kita akan berakhir seperti ini. Aku sangat menyayangimu dan ingin sekali menjadi istrimu, menjadi ibu dari anak-anakmu, dan menyelesaikan novel tentang kita, yang kutulis hingga hari tua nanti. Namun, sayang akhirnya aku harus memutuskan untuk menjadi milik orang lain. Kau tidak mengenalnya, karena dia adalah temanku di sekolah rakyat. Kami dulu terpisah selama 6 tahun, dia bersekolah di Belanda dan meninggalkan kampung kami. Saat ini, dia kembali dan langsung datang kepada orangtuaku. Dia meminangku dan aku tak sanggup mengiyakan atau menidakkan. Karena orangtuaku sangat dekat dengan orantuanya, maka aku tak bisa menolak jodohku itu. Dia tak pernah sekalipun mengatakan suka kepadaku, tapi dia langsung melamarku. Dia tak mau menunggu lama, karena dia yakin aku adalah jodohnya yang dititipkan oleh Tuhan YME.
Sayangku, aku tak mencintainya. Aku hanya mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku. Aku selalu bermimpi menuai kebahagiaan atas nama Tuhan jika dapat berumahtangga denganmu. Tapi, mungkin ini yang harus kupilih, karena Ridho orangtuaku akhirnya mengalahkan setiap keinginan kuatku. Kau tau kan, aku bercita-cita ingin ikut bersamamu ke Jepang setelah kita menikah. Tapi, kau terlalu lama membiarkanku.
Alasanmu kau belum yakin dengan hatimu sendiri. Aku, aku memahaminya. Aku sangat paham dengan prinsipmu. Kau memang pernah bilang bahwa ada sosok lain yang lebih mengerti dirimu daripada aku. Itu yang membuat aku semakin yakin untuk menikah dengan orang lain. Mungkin, kau akan lebih memilih dia. Tapi, tau kah kau bahwa sesungguhnya, aku sangat ingin mengenalmu lebih dekat dan ingin memahami setiap seluk-beluk kehidupanmu.
Aku yakin bisa belajar banyak tentangmu, keluargamu, teman-temanmu, dan hidupmu. Dalam susah dan senang. Tapi, mungkin kau tak memberikan kesempatan itu padaku. Dan akhirnya, aku harus memilih jalan ini. Karena aku sudah lama sekali menanti. Aku yakin, jodohmu juga akan datang sendiri nanti. Kau sendiri yang bilang mencari jodoh itu gampang. Tapi, mungkin tidak buatku. Karena aku mungkin tak mudah mencari orang yang sesuai denganku dan keluargaku. Aku rasa dengan menikahinya, setidaknya aku bisa membuat orangtuaku tersenyum, meskipun aku harus menangis di dalam hati.
Sayang, sampai kapanpun aku selalu menyayangimu. Maaf aku harus memutuskan.

_Kenanga_

Aku sadar akan satu hal. Ini adalah saat-saat di mana nenek memutuskan untuk menikah. Ia merelakan kebebasannya untuk memilih karena hanya ingin ridho dari orangtua. Ya. Itu dia ridho orangtua. Sebenarnya, yang kutangkap dari surat itu, nenek hanya akan menikahi pria yang disayanginya itu. Tetapi, mungkin ia tidak pernah mendapat kejelasan dari sosok itu, sehingga memutuskan untuk yang pasti-pasti saja. Maksudku, mungkin kejelasan tentang mau dibawa ke mana hubungan mereka. Itu memang karakter perempuan secara umum. Aku yakin, pria itu bukan pacarnya. Ia adalah orang yang membuatnya nyaman dan tenang dalam menjalani masa-masa remajanya.  Mungkin bisa dikatakan ia adalah teman. Teman yang setia. Kau tau, arti kata teman dalam bahasa India. Artinya, selalu menjaga kasih sayang.  Di amplop merah hati itu, ternyata ada sebuah kalimat... Kau adalah teman setiaku. Mungkin, ia adalah pria yang bisa menjadi “teman” nenek, yang selalu menjaga kepercayaan dan kasih sayang nenek.
Lantas, apa maksud Ibu memberikan surat ini padaku? Aku ingin sedikit melihat kisah nenek dulu. Kata ibu, nenek adalah tipe perempuan yang merdeka dan sangat mandiri. Nenek itu anak pertama dari 5 bersaudara. Keempat beradik adalah perempuan dan adik bungsunya adalah laki-laki. Nenek memutuskan menikah karena memang ingin meringankan beban orangtua dan karena memang sudah waktunya, 16 tahun. Dulu memang usia menikah muda itu sangat dianjurkan. Lha, sekarang aku sudah 23 tahun, tapi belum menikah. Apa kata dunia (saat jaman dulu ya)? Hehe, nenekku itu katanya kembang desa. Banyak kumbang yang datang tapi akhirnya kalah mental gara-gara kakek buyutku galak. Lucu.
Nenek menikah di usia 16 tahun dengan seseorang yang “asing”, tanpa cinta, untuk mengharapkan ridho orang tua. Mungkin itu yang ibu maksudkan. Hm, boleh menikah muda asalkan niatnya lurus dan diridhoi oleh orangtua. Karena pada akhirnya, nenek berhasil bertahan di pernikahannya hingga ibu berusia 12 tahun. Kakek ternyata meninggal dunia karena sakit. Jadi, ibuku itu anak pertama dari 2 bersaudara. Nenek dipaksa menikah lagi (setelah 5 tahun menjanda) oleh nini buyut. Jadilah ibu memiliki 3 adik tiri. Tapi, pertanyaanku seandainya nenek menikah lagi, tetapi dengan “mantan teman” nya itu bagaimana ya? Mungkin perjalanan cinta nenek akan lebih indah. Tapi, itu hanya pengandaian. Bisa jadi bahan novelku, perhaps.
Nah, saatnya aku mulai berpikir dua kali. Keputusanku sudah bulat? Ya. Tapi, sepertinya bersyarat. Aku mengalami hal yang serupa dengan nenekku. Bedanya aku itu anak bungsu. Dan belum ada yang meminangku, mungkin. Masihkah aku harus menunggunya? Jawabannya ada di pertiga malam itu. Ya. Memang aku harus menunggunya, meskipun tanpa kejelasan sedikitpun. Sampai ia mengatakan “aku yakin” atau “maaf, aku memilih dia”. Keputusanku seperti itu. Aku tak mau lagi menggalau kalau memang itu urusan cinta. Hanya cintaNya yang sejati. Allah telah membuat skenario hidup menjadi lebih indah di saat dan dengan orang yang tepat. Aku harus segera tidur. Besok harus menyiapkan naskah novelku kembali. Satu hal yang perlu aku catat hari ini: Aku sudah bisa memutuskan. Langit-langitpun kembali hening.
**
Lyani, aku ingat sekali notes yang kau tag ini ke akun facebook ku. Aku menanyakan ini apakah cerita nyata dari dirimu? Dan kau hanya menjawab no comment. Siapa pria itu? Siapa pria yang beruntung itu? Apakah benar yang kau maksud adalah aku? Ah, aku tak berani berspekulasi. Tapi, jika benar itu iya. Maka akulah orang yang paling berbahagia di dunia ini. Karena aku juga mencintaimu karena Allah. Aku belum berani memberimu kepastian karena aku memang belum yakin dengan diriku sendiri, aku takut mengecewakanmu sayang. Kau tau saat itu aku benar-benar berharap kau bilang dia itu adalah aku. Kenapa baru sekarang aku mengetahuinya? Aku menyesal kenapa aku tak langsung meyakinkan diriku untuk memberikan kepastian tentang kita. Aku yakin kisah kita akan lebih indah jika aku tau dari awal bahwa orang itu adalah aku.
***

Tanjungpinang, 24 Maret

Di bawah temaram senja, menuju puncak purnama hari ini. Aku terus menatap bintang-bintang di balik terangnya langit kelam. Aku ditemani sebuah mimpi sunyi dalam sadarku. Entah kenapa, kali ini aku terusik oleh sebuah fatamorgana kehidupan. Sayup-sayup terdengar langkah kaki dari kejauhan. Dia adalah bayanganku.
“Kau, sedang apa duduk di dipan ini”
“Aku sedang merajut setiap kata menjadi sebuah puisi”
“Ah, kau bukan seorang penyair, untuk apa kau lakukan itu”
“Aku memang bukan penyair, tapi dari puisi ini aku bisa mencurahkan semua pikiranku”
“Sudahlah, bukan waktunya lagi kau berbicara tentang pikiran. Saatnya bertindak. Lakukan sesuatu. Jika kau memang ingin hidupmu berarti untuk orang banyak!”
“Ahm... Kau benar. Lantas aku harus memulainya darimana?”
“Kau tak perlu bertanya seperti itu. Kau lihat catatan-catatan kebaikan yang kau punya. Sadarkan dirimu akan hal itu. Temui seseorang yang bisa kau percaya. Lakukan. Temukan jalan setapak dan sebatang kayu. Ambil kayu itu dan ukirlah!”
“Aku sungguh tak mengerti, aku tak mengerti”
“Kau adalah perempuan cerdas. Temukan jawabannya sebelum  ajalmu datang!”
Seketika bayanganku itu hilang. Aku tak mengerti maksud kalimat terakhir itu. Aku harus menemukan jawabannya sebelum ajalku datang? Ah, siapa dia. Cuma Allah Ta’ala yang tau kapan aku harus meninggalkan bumi ini. Berani-beraninya dia berkata seperti itu.
***
Aku pikir, sudah saatnya aku menyadari bahwa aku bukanlah yang terbaik untuknya. Kembali kubuka amplop merah hati itu. Berkali-kali kubaca surat nenek. Berkali-kali juga aku menangis dan mengira bahwa itu bukan sekedar sebuah keputusan. Ah, aku terlalu melankolis kali ini. Aku tidak boleh lagi terlalu banyak berpikir. Aku harus terus berlari. Mengejar harapan dan impianku di depan. Namun, aku harus menerima realitas bahwa aku tak sesempurna dulu. Aku saat ini adalah orang sakit. Sakit. Aku ingin menginginkan sebuah perubahan besar dalam diri dan keluarga ini. Tapi, aku tak mungkin mampu membangkitkan kembali tubuhku sebagai seorang perempuan yang sehat dan tangguh seperti dulu.
Cukup sudah peristiwa kemarin mengingatkanku tentang ragaku sendiri. Aku tak pernah menyadari itu, hingga saat ini. Benar kata Mba Uci, dia motivatorku yang benar. Aku tak pernah menyadari kemampuan fisikku. Aku ini sakit. Tapi, tetap saja aku banyak bermimpi tentang masa depan. Tak salah jika aku diajak berkelahi dengan bayanganku sendiri. Aku ini cuma perempuan sakit-sakitan yang terlalu banyak berpikir.
Siapa yang mau melihatku sekarang? Siapa aku sekarang? Siapa. Aku mulai ragu dengan segala hidup ini. Aku mulai kehilangan motivasi yang besar dalam hidupku. Sejak penyakit itu datang, sejak aku tau bahwa aku menderita Osteoarthritis akut yang sebentar lagi mengalami metastasis menuju kanker tulang yang sempurna. Cuma ada dua peluang bagiku, jika tak mematikan, penyakit itu akan terus menggerogotiku hingga tubuhku lumpuh. Aku. Aku. Aku. Waktuku cuma sepuluh tahun. Sepuluh tahun yang berarti untuk menemukan semua jawaban hidup. Dan aku harus memulainya darimana? Akankah semua keputusanku menjadi jawaban dari semua ini?  Aku ini sakit.
**
            Kau sakit? Kenapa tak memberitahuku dari awal. Kau sembunyikan ini selama bertahun-tahun? Bahkan saat kita masih berjauhan dulu hingga kita menikah lima tahun lamanya? Aku memang bodoh, aku memang tak pernah mau tau urusanmu. Saat itu, aku cuma memikirkan masa depan karierku hingga saat ini. Aku sama sekali tak mengingatmu saat itu. Padahal kau selalu mencoba menyemangatiku dengan berbagai tulisan-tulisan dan mimpi yang kau katakan saat kita diskusi di dunia maya. Lyani, kau sungguh keterlaluan. Ah, tidak. Aku yang keterlaluan. Bahkan setelah kita menikah, setelah kita kehilangan calon bayi kita?
***
            Aku... aku tiba-tiba merasa dingin teramat sangat, seolah tubuh ini bersuhu 20 derajat Celcius. Dinginnya sangat menusuk tulang belulangku. Tulang belakangku seolah tak mampu menopang tubuh ini. Tungkai-tungkai mulai terasa lemas dan sendi-sendiku terasa melepaskan tulang yang menempel. Mataku seketika kuyu dan sayu, mengaburkan semua pandangan di depan. Darahku melesir cepat bagai badai yang menghempas pantai. Sel-sel darah terasa saling bertabrakan. Dinginnya kini menusuk sampai ke saraf. Aku tak mampu lagi menahannya. Malam ini aku serahkan saja pada Allah, apa yang akan terjadi.
            Dalam dingin, aku terus dipanggil-panggil oleh bayanganku itu. Ia mengajakku berlari dan menggapai semua benda yang ada di langit. Aku ingin bangun tapi ragaku tak sanggup. Aku kini lemah dan memucat. Nafasku tak lagi normal, ia lebih cepat dan paru-paruku terasa semakin sempit. Allah... Allah.. Allah.. kabarkan aku apa yang sedang terjadi. Dingin ini... dingin ini... dingin ini...
Aku tak tau apa yang terjadi. Saat ini aku terbangun dalam kondisi tak biasa. Aku tak lagi di kamar. Aku ingin berdiri dan melihat ke jendela sana, ada apa di luar sana. Tapi, aku tak sanggup menggerakkan tubuhku. Bahkan tangan dan kaki ini terasa kelu.  Aku seperti kura-kura lumpuh yang tak bisa berbuat apa-apa. Ruangan ini terasa begitu hangat. Ada sebuah tirai yang melingkupi tempatku berbaring. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata tanganku dibalut selang infus. Ada beberapa kantong glukosa yang tergantung di tripod. Di hidungku terpaut sebuah selang oksigen. Tabungnya kulihat tak jauh dari kakiku. Aku di rumah sakit, itu tebakanku yang paling tepat saat ini.
            Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya diam. Aku bersyukur masih mengenakan niqab di kepalaku. Pasti Ibu yang memakaikannya. Di tempat seperti ini aku harus benar-benar menjaganya. Ah, Ibu. Ibu. Aku sedikit memejamkan mata dan bertutur lemah. Tirainya sedikit tersingkap, Ibu muncul dengan membawakanku mushaf dan sarapanku pagi ini. Ibu terima kasih banyak. Ujarku dalam hati. Ibuku adalah pelita hati. Beliau yang selalu mengerti aku, meskipun aku tak pernah berbicara apapun tentang hidupku. Kini, dalam sakitkupun Ibu terus mendampingi dan menyiapkan segala sesuatunya. Aku malu. Aku malu dengan kondisiku saat ini, bukankah ibu yang harus aku jaga dan perhatikan seperti ini? Rabb, dalam hati ini aku tak mau lagi bermimpi tentang apa yang ada dalam hidupku. Aku ingin pasrah dengan segala keputusanMu. Aku tak mampu lagi.
***
“Bu, aku ingin kembali bekerja, sudah dua bulan ini aku istirahat di rumah, sudah cukup sepertinya”, kali ini aku mencoba mengajak ibu diskusi.
“Apapun yang terbaik menurutmu, silakan dilanjutkan Nak”, kursor terus bergerak.
“Ibu meridhoi perjalananku?”, sambil kumasukkan username dan password.
“Ibu tak bisa melarang, sampai akhirnya kau benar-benar bisa menemukan apa yang kau cari”, feedsnya sudah terbuka. Aku akan menuliskan sesuatu. Lalu aku berpikir.
“Lantas aku harus bagaimana bu?”, tanganku terus mengetikkan satu paragraf lagi.
“Ibu hanya berpesan, jaga ibadahmu dan kesehatanmu”, ibuku lantas meninggalkanku dari dipan ini. Ibu sepertinya tak mampu menahan harunya. Aku hanya bisa diam. Rabb, jika keputusan ini benar, untuk mencari di mana hidupku, maka luruskanlah niatku. Kunci kehidupan ini aku yang pegang, akan kujaga sampai akhir hayatku. Sekalipun suatu saat dia kembali, mungkin juga tidak, aku akan melanjutkan hidupku. Hidup yang tersisa. Aku masih percaya bahwa jalan Allah itu indah.
            Hari ini aku lantas berkemas-kemas untuk kembali ke Jakarta. Aku sudah hampir empat bulan di sini. Rasanya sudah cukup aku beristirahat, aku juga tak mampu menemukan jiwaku di sini. Aku hilang bentuk dan remuk. Aku tak mau membiarkan diriku menjadi jasad hidup yang mati. Aku akan menjadi yang terbaik untuk diriku sendiri. Aku akan bilang kepada semua orang bahwa aku ini kuat. Kuat menjalani hidup. Hm, emailnya tinggal dikirim saja.

Cc :
Subject : Aku berangkat ya

Teman, aku akan kembali ke Jakarta. Kamu apa kabar? Do’akan ya semoga aku bisa mengejar mimpiku. Jangan kira aku akan menyerah, aku bisa jadi seperti wonder woman. Hehe. Sukses buat masternya. Barakallah.

When you're gone:
I always needed time on my own
I never thought I’d need you there when I cry
And the days feel like years when I’m alone
And the bed where you lie is made up on your side
When you walk away I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now
When you’re gone
The pieces of my heart are missing you
When you’re gone
The face I came to know is missing too
When you’re gone
The words I need to hear to always get me through the day and make it ok
I miss you
            By the way, ingat kan lagu ini? Kamu yang mengingatkan aku tentang lagu ini kembali. Saat percakapan itu berlangsung. Aku senang bisa mengenalmu. Aku tadinya berpikir akan kehilanganmu sesaat setelah kamu pergi ke Jepang. Tapi, syukurlah kau ternyata menunda keberangkatanmu tahun depan. Hehe, setidaknya aku akan ditemani selama setahun ini sambil aku mempersiapkan segalanya sampai aku lolos ke Jepang. Aku ingin menjadi temanmu di sana. Seperti yang kamu bilang, mencari teman di sana. Mudah-mudahan kamu bisa membantuku menemukan orang yang bisa menjagaku di sana. Tetap silaturahmi yaa ^,^. Aku mulai rindu dengan diskusi-diskusi dan candaanmu di YM #eaaaaa.

Regards,

Lyani

***
Ada satu lagu lagi, tapi lagu yang ini tak kuingatkan ke dia. Ini adalah sebuah lagu yang pantas kusimpan di dalam hati saja.

What I can do, The Corrs

I haven't slept at all in days
It's been so long since we've talked
And I have been here many times
I just don't know what I'm doing wrong
What can I do to make you love me
What can I do to make you care
What can I say to make you feel this
What can I do to get you there
There's only so much I can take
And I just got to let it go
And who knows I might feel better
If I don't try and I don't hope
**
Ini kan, lagu yang kutuliskan di YM itu. Lyani, kau menuliskan lagu ini di kisahmu? Aku bergumam pelan.
***

Jum’at, 6 Juli. Pkl. 15.30 WIB
Saatnya menyadarkan diri kembali. Aku tak boleh terus-terusan terkungkung di dalam stagnansi dan harapan demi harapan. Kau tau, sudah hampir dua bulan ini, aku menggantungkan segala keinginanku dan tak menemukan arah yang tepat untuk jalan hidupku. Bahkan, teman setiakupun, hilang dan lenyap entah ke mana. Aku menaruh harapan dan semangat yang besar padanya. Tapi, mungkin sejak percakapan terakhir kami hari itu. Ia bilang ingin fokus dengan persiapan masternya. Kalau boleh jujur, aku merindukan saat-saat chatting bersama mengenai hal dunia sampai gurauan yang tak penting. Dia bisa mengembalikan senyumku, kala aku butuh motivasi. Selain cerdas, dia juga humoris. Itu yang membuat aku kagum padanya, dan jujur mencintainya. Ya, aku jatuh cinta. Belakangan aku tau, bahwa dia sudah memiliki janji untuk setia dengan perempuan beruntung lain. Intinya, aku tak mau merusak kebahagiaan teman setiaku itu, cukuplah ceritanya sampai di sini saja.
Sekarang, aku sedang bersiap-siap menuju Jakarta. Aku membawa harapan baru untuk hidupku ke depan. Meskipun belum tau arah yang jelas, tapi aku yakin dapat kembali berdiri tegak dan sembuh dari sakit fisik maupun mentalku. Ibuku, ayahku, keduanya yang menyemangati aku untuk menjadi lebih berani mengambil keputusan. Mereka tak mau mengekang kemauanku, sekalipun itu urusan pasangan hidup. Biarlah, aku mencari sendiri jalan hidup dengan keringat dan tenaga sendiri. Semua peralatan perangku sudah siap. Pakaian seadanya sudah kususun rapi di dalam tas. Perlengkapan perang lainnya sudah cukup. Amunisi dan laras panjang juga sudah ada di benak. Tinggal keberanian untuk melangkah dan berkata lantang. Aku harus semangat!
Tepat pukul 7 pagi, aku sudah tiba di pelabuhan laut Kijang, Bintan. Sebuah pulau di perbatasan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Pelabuhan ini adalah lintas laut terbesar di daerah tiga negara ini. Seperti biasa, jika aku ada waktu lebih, aku selalu menggunakan kapal motor PELNI untuk berangkat ke Jakarta. Meskipun harus menempuh 1 hari dan 2 malam, tapi aku menikmatinya. Selain harganya murah, hanya 270 ribu untuk kelas ekonomi, aku juga bisa bertafakur selama perjalanan. Sholat di Musholla kapal di lantai paling atas, yang ketika keluar aku melihat bintang-bintang di kala malam atau lumba-lumba di kala siang. Aku juga bisa menatap lautan yang sangat luas, serta mencari inspirasi yang sangat luar biasa untuk setiap tulisanku.
Kali ini, aku berangkat dengan KM. Sirimau tujuan Tanjung-Priok Jakarta. Sebenarnya, kapal ini keliling Indonesia, sampai ke daerah timur sana. Hanya singgah ke Jakarta juga. Aku memilih satu tempat di barak ekonomi yang telah tersedia. Tepat di dek 4, pada lambung sebelah kanan kapal. Dekat dengan kamar mandi dan pintu keluar. Ada sebuah kasur yang bisa kupakai dengan gratis. Sekarang, kasur ini menjadi sebuah fasilitas cuma-cuma dan memang harusnya begitu. Karena, beberapa kali naik kapal penumpang ini, dengan nama kapal yang berbeda tentunya, kasur itu harus disewa dengan harga 5 ribu rupiah. Biasalah, di saat-saat yang seperti ini, selalu ada yang mengambil objekan.
Seharian aku hanya membaca buku di barak, jika bosan aku naik ke pelataran lantai atas. Aku bisa menghabiskan berjam-jam di tepi pelataran. Aku ditemani angin dan hamparan laut biru yang luas. Sembari menunggu magrib dan berbuka puasa, sejenak aku juga memandang senja dari atas kapal. Kebetulan aku berada di sisi kapal yang menghadap ke barat. Oh iya, tadi juga aku melihat lumba-lumba berbaris melompat. Jika tak salah, mereka berwarna hitam sedikit ada siluet berwarna putih di bagian sampingnya. Tanpa terasa sudah adzan Maghrib dan aku menyegerakan diri bergegas menuju Musholla. Sebuah pinta kuhaturkan kepada pemilik diri ini, Allah... hari ini begitu indah, esok malam aku pasti akan tiba kembali di Jakarta. Hanya dengan izinMu aku akan meraih mimpi di sana, kembali.
Tak terasa hampir tiba di pelabuhan Tanjungpriok. Tadi, kapal juga sempat bersandar untuk menurunkan penumpang di pelabuhan Blinyu, Kepulauan Bangka-Belitong. Aku merindukan hari-hari penuh kesibukan nan sesak di ibukota. Entah kenapa, aku lebih merasa hidup di sana. Mungkin, empat tahun kurang aku di sana cukup merasakan asam garam ibukota. Kau tau, aku selalu punya cara menghilangkan kesedihanku jika mengingat kondisi keluarga dan keadaan diriku. Itu jika aku ada di ibukota. Berbeda ketika aku di rumah ataupun di tempat yang santai dan sepi. Aku selalu ingin keramaian dan kesibukan. Aku ingin bertemu dengan banyak tipe orang dan segala kesusahan di sana. Itu membuat aku lebih bersyukur dan tegar menghadapi hidup. Ah, kenapa menjadi melankolis seperti ini. Tanda merapat sudah berbunyi, artinya aku sudah tiba di Tanjungpriok. Alhamdulillah, perjalanan kali ini sungguh penuh makna. Aku bisa punya banyak waktu untuk merenung dan bersyukur dengan apa yang aku miliki sampai saat ini. Bahkan, dengan penyakitku sekalipun. Jalan Allah itu pasti indah.
Akhirnya, pintu keluarpun dibuka. Aku segera mengangkat bagasiku dan menuju antrean untuk keluar. Seperti biasa, banyak sekali orang dan barang. Belum lagi para porter pelabuhan yang cerewet dan sangar. Aku sedikit takut, tapi aku terbiasa dengan kondisi ini. Kusegerakan mengangkat koper dan meraih tangga turun. Dengan penuh keyakinan segera mencari tukang ojek. Seperti biasa, menuju terminal dengan ojek, dengan jarak yang dekat harus membayar sepuluh ribu rupiah. Sesampainya di terminal, aku segera meliukkan pandangan ke arah PATAS AC 80 Priok-Depok. Kali ini, belum beruntung, jadi harus menunggu kurang lebih 3 jam. Akhirnya, bis pun datang dan aku langsung mengambil posisi favorit, tempat duduk paling depan. Selain aku bisa mendapatkan pemandangan lebih luas, aku juga sedikit tenang berada di dekat pintu keluar.
Welcome to Jakarta, yeaaaaaaaaahhh. Alhamdulillah, perjalanan menuju Depok telah melewati tol dan hampir masuk ke Lenteng Agung. Tanpa sadar aku tertidur selama beberapa menit, dan kulihat hari ini cukup cerah dan ramai. Seorang pengamen naik ke atas bis. Tampaknya, dia masih begitu muda, sekitar 15 tahun. Suaranya cukup bagus dan wajahnya adalah wajah optimis, optimis penumpang akan menghargai suara emasnya meskipun hanya dengan recehan 100 rupiah. Setidaknya, aku bersyukur, dengan hidup sesulit ini, aku tak lantas mengamen seperti dia. Harusnya, dia masih sekolah di bangku SMP atau SMA, tapi tergerus oleh kesempatan. Lantunan lagu yang dibawakan, ingat sekali lagu itu adalah lagu kenangan masa kuliah dulu. I’m Yours... kemudian dilanjutkan dengan tembang lawas, ”Jangan ada dusta di antara kita”.  Lagu ini membuat aku semakin galau. Untungnya, aku akan segera tiba di jalan utama Margonda. Segera kuangkat koperku dan kuletakkan sebuah koin di dalam kantong pengamen itu. Abang sopirpun memberhentikan bis nya tepat di depan Margonda Residence. Aku segera turun dari bis dan melangkah dengan basmallah.
Kau pikir, aku tinggal di situ? Hehe, hanya lewat saja. Kontrakan ada di belakangnya, jalan sedikit melewati gang Madrasah. Aku bisa dibilang, memang anak gang. Setiap pindah kontrakan selalu masuk ke dalam pelosok gang. Pasalnya, hanya itu yang bisa dijangkau dengan harga yang mampu kubayar. Biasanya, semakin dekat dengan jalan raya, maka makin mahal. Sesampainya di kontrakan, aku baru ingat ternyata teman-teman sekontrakan sedang liburan jadi sepi. Tinggal seorang saja, akhirnya kami berdua di rumah.
Waktu itu, malam segera tiba dan akupun bergegas merapikan file-file untuk melanjutkan perjuanganku di sana. Kali ini, harapanku adalah mendapatkan pekerjaan, yang benar-benar aku sukai. Aku juga ingin mengejar beasiswa S2 ke luar negeri. Sudah sekali aku mencoba, tapi gagal. Kegagalan itu harus kubayar dengan perjuangan kembali. Aku akhirnya sampai pada satu titik jenuh, dan kali ini ingin mencari sesuatu yang lebih berarti dalam hidup. Memang, berpetualang pasca kuliah ini adalah hal yang paling menantang. Pasalnya, aku perempuan dan tidak ada seorangpun yang menjagaku di sini. Cukup sulit membujuk kedua orang tua untuk ini. Tapi, aku yakin bisa mengulang tekadku dulu, sama seperti optimisme ketika aku pertama kali ke Jakarta untuk kuliah.
Beberapa hari sudah lewat, dan kini aku cukup senang. Aku bisa menghabiskan waktu di kampus lamaku untuk menjadi asisten dosen. Akupun bisa sambil penelitian dan mengerjakan kerja sampingan lain seperti mengajar. Setiap sore hingga malam, aku bekerja sebagai freelance pengajar privat. Seminggu bisa 5 kali aku mengajar privat dan setiap akhir pekan, aku pergi ke rumah singgah untuk mengajar anak-anak dhuafa di sana. Mereka butuh tambahan ilmu karena mereka tak mampu masuk bimbingan belajar. Mereka butuh akses teknologi dan bahasa Inggris. Jadilah aku di sana mengajarkan calistung untuk anak-anak usia playgrup dan TK, serta SD. Mereka tak bisa mengecap edukasi formal sebelum usia SD, itupun bisa masuk SD jika ada beasiswa dari orang-orang dermawan. Dua kali dalam sebulan aku mengajarkan bahasa Inggris dan nonton film edukasi bersama. Anak-anak itupun tersenyum dan senyum mereka membuat aku semakin termotivasi untuk maju. Aku sudah cukup lama menjadi relawan di sini, di perkampungan yang isinya adalah para buruh dan pemulung ini. Bahkan, aku ingin sekali membantu lebih jika suatu saat aku sukses nanti.
Tak terasa, Ramadhan hampir tiba. Kali ini aku harus menjalani ibadahku di perantauan kembali. Tapi, aku tak pernah kesepian, sekali dalam seminggu aku mengikuti acara amal yang dibuat oleh komunitasku. Kami mengumpulkan buku-buku bekas, buku bekas itu adalah tiket masuk untuk menonton acara musikal dan teater. Setiap malam aku mengusahakan bisa sholat sunnah di Masjid dekat kampus. Aku bahagia menjalani hidup seperti ini, membuat aku semakin dekat dengan Allah. Hingga sakitku, kesedihanku, dan kegalauanku semua hilang dari pikiran.
Hingga suatu hari, aku mendapat kesempatan untuk melihat surat penerimaan beasiswaku. Setelah mengikuti training di salah satu lembaga penelitian, aku ditawarkan untuk melanjutkan S2 di Jepang. Dan aku ingin sekali itu, aku memantapkan hati untuk menerima tawaran itu dan kini aku sedang bergegas menyelesaikan dokumen untuk menuju ke sana. Aku tak tau lagi, harus mengucapkan apa, hanya sebuah rasa syukur. Aku mengabari kepada kedua orang tuaku, dan akhirnya aku diizinkan untuk melaksanakan itu. Kau tau, saat aku menulis ini, hatiku senang bercampur sedih. Aku sedih karena ternyata aku akan menyusul dia ke sana. Artinya, aku akan mengenang segala kesedihanku di sana. Ah, kenapa harus seperti itu. Harapanku adalah aku tidak mau bertemu dengannya di sana. Dua tahun itu harus penuh makna tanpa cinta, kecuali cintaNya.

No comments: